Mohon tunggu...
Sanjivani Bulandari Radji
Sanjivani Bulandari Radji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Remaja berusia 18 tahun yang berjalan seiring mimpi dan kemauan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Untuk Para Orang Kecil di Negeriku yang Besar

26 Oktober 2011   13:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:28 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku seperti remaja kebanyakan, sangat suka bersenang-senang dan banyak menghabiskan waktu dengan hal-hal yang kurang bermanfaat. Aku suka melancong kesana kemari, menghabiskan uang untuk membeli sesuatu yang “cepat habis”, dll. Pernah sekali aku menghabiskan uang lebih dari Rp 100.000,- dalam sehari, yaitu untuk bermain jetski di pantai yang terletak di kota tetangga,  sekali main bertarif Rp 80.000,-. Itu berlangsung pada  libur semester saat aku masih SMP. Bersenang-senang dengan teman memang sangat asyik, sebagian besar waktu ku lalui seperti itu. Hingga pada suatu ketika  terjadi peristiwa, yang saat aku berusaha  memikirkannya  seakan terjadi pergulatan di otak, dan dobrakan keras dalam hatiku.
Entah itu tanggal dan bulan berapa aku sudah tidak ingat lagi. Aku baru saja pulang dari berlibur ke Bali. Aku menaiki bus,  saat masih di Bali tidak ada pengamen. Namun ketika memasuki kota Banyuwangi (tempat tinggalku) tiba-tiba ada seorang anak kecil, kira-kira masih berumur 9 tahun,  menaiki bus yang sedang aku tumpangi. Seorang anak kecil berpenampilan dekil dengan membawa bekas botol air mineral diisi dengan kerikil, sehingga dapat di bunyikan. Pada waktu itu suasana dalam bus sedang hening karena banyak penumpang yang tidur. Aku yang semenjak  di Pulau Bali menikmati tidur nyenyak, tentu sekarang sudah tidak mengantuk lagi. Aku mulai mengamati sosok mungil yang berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Tanpa banyak kata, dia mulai menggerak-gerakkan tangannya yang memegang bekas botol berisi kerikil, sambil menepuk-nepukkan ke sisi tangan yang lain. Suaranya mulai terdengar mengiringi setiap tepukan ”alat musik botol” di tangannya tersebut. Suara yang sedang melantunkan sebuah lagu.
Aku terkesiap, bukan karena terpesona oleh  merdu suaranya. Karena aku sangat yakin suara yang saat itu kudengar tidak lebih indah dari teriakan cempreng adikku. Ya, suara seorang anak berumur 9 tahun yang saat itu kudengar bagai jeritan batinnya sendiri. Seolah jeritan itu berusaha menggelayuti hatiku agar bersedia mengasihani dia. Aku hanya bisa menguatkan hati, dan  mengalihkan pandanganku untuk mencari pemandangan  yang lebih manusiawi. Sudah jelas kulihat, betapa kerasnya kehidupan yang dia jalani. Seharusnya anak seusianya pada jam-jam seperti waktu itu adalah waktu untuk bersekolah, atau menikmati rileksnya tidur di rumah ditemani sang ibu, dan segelas susu. Tapi lain dengan pria kecil dihadapanku, siang hari seperti itu dia menaiki bus demi bus untuk mencari sebuah berkah yang akan dinikmati oleh dia sendiri.. dan mungkin  juga keluarganya.
Lagu yang dibawakan telah usai, aku mulai merogoh dompet,  mengeluarkan beberapa isinya dan kuberikan semua untuknya.Waktu itu dia memakai bungkus permen untuk tempat menyimpan uang hasil ngamen.  Raut wajahnya berubah, jika dapat kusimpulkan detik itu ia amat senang. Dengan wajah berbinar dia berlalu dari hadapanku dan menghampiri penumpang yang lain. Aku tersenyum kecil, mungkin hanya itu yang bisa ku lakukan untuk saat ini. Sekadar mengubah raut wajah, dan membantunya menarik kedua sisi bibirnya untuk dapat tersenyum.
Mengingat di negeri ini masih banyak sekali yang senasib seperti bocah itu.Tentu ini merupakan tanggung jawab yang berat, jika mereka dapat menentukan pilihan, mereka tidak akan memilih hidup seperti itu. Begitu pula dengan kita, jika posisi berbalik belum tentu kita mampu segigih mereka. Demi ratusan rupiah, mereka rela mengeluarkan ribuan keringat. Demi mengisi kantong kresek lusuh yang selalu di bawa, mereka rela menyusuri sudut kota yang justru menyengsarakan tiap langkah kaki mereka.
Teman, inilah kisah yang menjadi beban di hatiku hingga saat ini. Sebuah kisah yang memugar kehidupanku, hingga aku berusaha sekeras mungkin untuk meninggikan derajatku, sebelum meninggikan derajat orang banyak. Sejak kejadian itu setiap kali aku membeli sesuatu kecuali buku, aku benar-benar membuat skala prioritas. Aku juga sudah tidak suka berfoya-foya lagi, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk merenungi hal-hal yang perlu di evaluasi dalam tiap kejadian hidupku.
Ini hanya satu contoh kepiluan dari sekian banyak pahlawan jalanan yang ada di negeri kita. Hendaknya lewat kisah ini kita mampu meresapi hal-hal yang selalu terlewat untuk dikaji dan dimakmurkan. Mungkin karena sangat sedikit lapangan kerja di Indonesia ini yang membuka peluang bagi orang-orang putus sekolah. Padahal kita diciptakan dengan talenta yang berbeda satu dengan yang lain. Justru itulah letak perbedaanya, bukan antara yang sarjana dan non sarjana. Apakah dengan lebih mengutamakan para sarjana ekosistem dunia akan seimbang? Lebih baik mana antara hanya memprioritaskan sarjana, atau prioritas untuk semua elemen masyarakat untuk bersama-sama membangun negeri kita ini? Masihkah kita ragu dengan ciptaan-Nya seolah kita masih saja mengkotak-kotak orang antara berpendidikan tinggi dengan yang tidak? Semoga perenungan kita dapat merealisasikan hal-hal yang lebih produktif untuk kepentingan orang banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun