Mohon tunggu...
Sanita Carolina
Sanita Carolina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak rumahan pecinta buku

Saya jatuh cinta pada keindahan dari sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Beauty Privilege: Mempermudah Hidup is Good Looking

2 Januari 2022   10:46 Diperbarui: 17 Januari 2022   17:47 2146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Isu tentang “hidup orang good looking lebih gampang” menjadi isu yang ramai dibicarakan belakangan ini. Beauty privilege merupakan julukan untuk hak istimewa yang dimiliki seseorang yang berparas menarik. Dimasyarakat sering kita temui bahwa ada standar-standar tertentu yang dicipitakan oleh masyarakat itu sendiri. Standar-standar ini mencipatkan adanya dua golongan, yakni golongan yang diuntungkan dan golongan yang dirugikan. Hal ini erat kaitannya dengan beauty privilege, seseorang yang lebih menarik (attractive) cenderung mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan orang yang kurang menarik (less-attractive).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Biddle dan Hamermesh (2011) menemukan bahwa penampilan menarik seseorang dianggap mampu untuk meningkatkan kepercayaan diri orang tersebut, sehingga hal ini dapat meningkatkan rasa bahagianya juga. Biddle dan Hamermesh (1994) juga menemukan bahwa pekerja yang berpenampilan menarik berpeluang medapatkan penghasilan hingga 5%-15% lebih  tinggi dibandingkan dengan pendapatan rata-rata.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 18 orang (mahasiswa dan pekerja) dengan rentang usia 17-25 tahun, 8 dari 18 orang yang diwawancarai setuju bahwa mereka merasa dirugikan dengan beauty privilege yang tidak mereka dapatkan, sedangkan 7 lainnya merasa diuntungkan dengan beauty privilege, dan 3 lainnya merasa memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri yang membuat mereka merasa layak mendapatkan perhatian lebih. Mereka yang merasa diuntungkan berpendapat bahwa penampilan menarik yang mereka miliki menjadikan mereka lebih percaya diri karena menjadi pusat perhatian orang disekitarnya, namun hal ini dirasa lain oleh yang merasa dirugikan, mereka berpendapat bahwa adanya standar-standar kecantikan dimasyarakat memunculkan adanya diskriminasi yang merugikan pihak yang dianggap tidak menarik. Sedangkan yang lainnya, merasa bahwa beauty privilege yang terjadi dimasyarakat tidak telalu mempengaruhi mereka, mereka berpendapat bahwa kemampuan dan keterampilan seseoranglah yang akan menentukan seberapa pantas mereka mendapatkan perhatian itu.

Selain itu, ditemukan juga bahwa media menjadi salah satu faktor yang memiliki pengaruh cukup besar dalam mempengaruhi dan menciptakan pola pikir masyarakat dalam menentukan standar kecantikan itu sendiri. Gaya bahasa dan teknik persuasive yang dikonstruksikan media dengan menampilkan visualisasi sempurna menjadi tolak ukur dari sebuah kecantikan. Lavine & Harrison (2004) menjelaskan bahwa media menciptakan sebuah konstruksi dari standar kecantikan dan seksualitas yang menampilkan wujud sempurna dan sangat indah, namun dalam kenyataannya hal itu tidak mungkin untuk dicapai. Dalam jurnal yang berjudul “The Impact of Media Images of Super-Slender Women’s Self-Esteem: Identification, Social Comparison, and Self Perception” milik Wilcox & Laird (2000) ditemukan bahwa terpaan media merupakan salah satu faktor yang menjadi perantara atas penerimaan nilai-nilai seseorang terhadap standar dan konsep kecantikan ideal.

Harus diakui bahwa seseorang yang berpenampilan menarik memang akan menjadi pusat perhatian, hal ini membuat orang disekitarnya menaruh ekspetasi yang tinggi terhadap si good looking, karena orang yang berpenampilan menarik umunya dianggap lebih kompeten dan lebih mampu dalam melakukan suatu pekerjaan. Namun beauty privilege sendiri tidak selalu membawa keuntungan bagi orang-orang yang berparas menarik, karena ekspetasi tinggi yang ditetapkan orang disekitarnya menjadikan ia harus selalu mampu untuk menampilkan sesuai ekpspetasi yang ditetapkan padanya, sehingga apabilia si good looking tidak mampu memenuhi ekspetasi tersebut, dia akan dianggap hanya mengandalkan parasnya saja. Hal ini mendorong timbulnya stereotip di masyarakat bahwa “orang cakep biasanya otak kosong”.  

Beauty privilege umumnya terjadi pada kaum wanita, namun kaum pria juga menghadapi isu yang sama. Kaum pria juga memiliki standar-standar ketampanan tertentu yang juga diciptakan masyarakat itu sendiri. Standar kecantikan berbeda-beda di setiap wilayahnya, hal yang mendasari terciptanya standar-standar itu dapat berasal dari berbagai latar belakang.  Isu  tentang beauty privilege memang benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Sudah menjadi naluri alamiah manusia menyukai sesuatu yang indah, hal ini yang menjadi alasan mengapa seseorang yang berpenampilan menarik dan rupawan akan menjadi pusat perhatian. Namun, di dunia ini, tidak ada standar kecantikan yang benar-benar nyata. Makna kecantikan berbeda bagi setiap orang, karena itulah ada julukan “cantik itu relatif”. Cara terbaik untuk menyikapi isu ini adalah dengan mensyukuri apa yang kita miliki disertai dengan usaha untuk terus meningkatkan kualitas diri, baik secara fisik, kepribadian, kemampuan, dan kecerdasan.

Daftar Pustaka
Hamermesh, D. S., & Biddle, J. (1993). Beauty and The Labor Market. Chicago Journals, 84(5), 1174—1194
HIMIESPA FEB UGM. (2020). “The Other Side of Beauty Privilege: Why It Affects Labor Income? “ www.kompasiana.com.
https://www.kompasiana.com/himiespa/5f2a0816d541df6166731862/the-other-side-of-beauty-privilege-why-it-affects-labor-income?page=4&page_images=1

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun