Komunikasi politik di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Dulu, opini publik banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh tertentu seperti pemimpin agama, akademisi, atau media massa. Tokoh-tokoh ini sering disebut sebagai opinion leaders yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi politik masyarakat. Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, terutama media sosial, dominasi opinion leader tradisional mulai bergeser, dan fenomena endorsement politik semakin mencuat, menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat.Â
Komunikasi Politik Tradisional: Peran Opinion Leader
Di masa lalu, komunikasi politik lebih dipengaruhi oleh opinion leader---tokoh-tokoh yang memiliki kredibilitas dan pengaruh tinggi di masyarakat. Mereka dapat berasal dari berbagai lapisan, seperti tokoh agama yang memimpin komunitasnya, akademisi yang memberikan perspektif berbasis riset, hingga media yang membentuk opini publik melalui pemberitaan mereka. Fungsi mereka sangat penting dalam menyaring informasi politik dan memberikan interpretasi yang memandu masyarakat dalam mengambil keputusan.
Namun, seiring berjalannya waktu, teknologi, khususnya media sosial, mulai mengubah lanskap ini. Banyak orang kini bisa mendapatkan informasi langsung dari berbagai sumber, tanpa bergantung pada otoritas tradisional. Opinion leader mulai tergeser oleh kemunculan influencer digital dan buzzer yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik.
Pergeseran ke Endorsement Politik
Fenomena endorsement politik telah menjadi hal yang sangat penting dalam komunikasi politik modern. Endorsement politik adalah dukungan yang diberikan oleh figur publik atau tokoh politik terhadap kandidat atau calon tertentu. Fenomena ini tidak hanya melibatkan pernyataan dukungan, tetapi juga menjadi alat strategis dalam mempengaruhi pemilih.
Pada Pilpres 2024, kita melihat bagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan jelas mendukung 'cawe-cawe' pasangan Prabowo-Gibran dan berhasil memenangkan kontestasi politik sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia ke-8, dan saat ini Presiden Prabowo Subianto juga melakukan hal yang sama mana kala ia mendukung sejumlah kandidat di Pilkada 2024. Salah satu yang mencuri perhatian adalah dukungannya terhadap pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin di Jawa Tengah, yang menjadi contoh nyata bagaimana endorsement dari tokoh besar dapat memengaruhi hasil politik lokal. Endorsement seperti ini menggantikan pola komunikasi lama yang hanya mengandalkan kunjungan fisik ke tokoh-tokoh tertentu, seperti yang masih diterapkan oleh calon-calon seperti Airin-Ade di Pilkada Banten yang mesti menelan pil pahit akan kekalahannya melawan Andra Soni. Walaupun kekalahan Airin-Ade memang menjadi satu proses yang kompleks, selain gaya komunikasi mesin partai juga memengaruhinya.Â
Meski demikian, endorsement Prabowo dan Jokowi terhadap pasangan Ridwan Kamil-Suswono tidak berdampak signifikan pada Pilkada Jakarta 2024. Dalam survei yang dilakukan SMRC, sebanyak 50 persen masyarakat mengetahui adanya dukungan Prabowo terhadap Ridwan Kamil-Suswono di Pilkada Jakarta. Sebanyak 57 persen responden menilai orang nomor satu di Indonesia itu tidak pantas terlibat dalam mendukung pasangan calon tertentu.Â
 Dampak Polarisasi terhadap Komunikasi PublikÂ
Namun, endorsement politik juga membawa dampak negatif, salah satunya adalah polarisasi yang semakin tajam antara pendukung dan penentang. Ketika seorang tokoh besar seperti Jokowi atau Prabowo memberikan dukungan publik terhadap calon tertentu, hal ini sering kali menciptakan pembagian yang jelas dalam masyarakat, menguatkan garis pemisah antara pihak-pihak yang pro dan kontra. Hal ini dapat memperburuk atmosfer politik, mengurangi ruang untuk dialog konstruktif, dan mempersulit masyarakat untuk mengakses informasi yang objektif.
Endorsement sering kali menggantikan argumentasi berbasis kebijakan dengan dukungan emosional atau pragmatis. Banyak pemilih kini lebih dipengaruhi oleh siapa yang mendukung suatu kandidat, bukan oleh ide atau program politik yang ditawarkan. Ini menciptakan pemilih yang lebih terpolarisasi dan cenderung memilih calon berdasarkan afiliasi pribadi atau partisan, alih-alih evaluasi rasional terhadap kebijakan.
Perubahan dalam Penggunaan Media Sosial dan Peran Influencer
Salah satu aspek yang tidak bisa diabaikan dalam perubahan komunikasi politik adalah peran media sosial dan influencer. Di era digital ini, media sosial telah menjadi arena utama untuk berkomunikasi dan mempengaruhi publik. Influencer, dengan pengikut mereka yang sangat besar, kini memiliki pengaruh yang lebih besar daripada opinion leader tradisional. Mereka tidak hanya mengubah cara berkomunikasi, tetapi juga menciptakan narasi politik yang lebih personal dan terkadang dramatis, yang mampu memperburuk polarisasi.
Sebagai contoh, influencer sering menggunakan gaya komunikasi yang lebih terbuka dan mudah diterima masyarakat, menjadikan mereka lebih efektif dalam memobilisasi dukungan. Namun, cara ini juga sering kali mengarah pada penyebaran informasi yang lebih emosional dan partisan, yang dapat memperburuk polarisasi politik.
Â
Dengan semua perubahan yang terjadi, pertanyaan yang muncul adalah apakah endorsement politik akan terus menguasai komunikasi politik di Indonesia, ataukah akan ada ruang bagi opinion leader tradisional untuk kembali memainkan peran penting? Polarisasi yang semakin tajam tentu saja mengkhawatirkan, karena dapat memperburuk kualitas demokrasi dan mengurangi partisipasi publik yang lebih inklusif.
Untuk itu, mungkin sudah saatnya kita merenung dan mencari cara agar komunikasi politik dapat lebih sehat, dengan lebih mengutamakan kebijakan dan nilai yang mendalam, bukan hanya sekedar siapa yang mendukung siapa. Jika polarisasi terus berlanjut, maka tantangan besar menanti dalam membangun demokrasi yang lebih matang dan partisipasi publik yang lebih bermakna di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H