Perdebatan sengit mengenai penggunaan istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang kini telah dihapus dan diganti dalam diskursus hukum dan pemberantasan korupsi menjadi "Kegiatan Penangkapan". Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan bahwa pihaknya akan mengganti istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi 'kegiatan penangkapan' dengan alasan bahwa istilah 'kegiatan penangkapan' lebih tepat karena mencakup proses penyelidikan yang sudah dilakukan sebelum penangkapan.Â
Namun hal ini memunculkan sejumlah pertanyaan mendalam. Ada yang berpendapat bahwa perdebatan ini hanyalah soal perubahan terminologi, sementara yang lain menganggapnya sebagai refleksi dari mentalitas para petinggi negara yang seolah menghindari tanggung jawab atas efektivitas penegakan hukum itu sendiri. Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi di balik perdebatan ini? Apakah perubahan istilah benar-benar akan mengubah lanskap korupsi di Indonesia?
Bukan Sekadar Perubahan Terminologi: Mengapa Istilah OTT Diperdebatkan? Â
Istilah OTT, yang merujuk pada operasi yang langsung menangkap pelaku korupsi dengan tangan basah, telah menjadi senjata utama bagi KPK dalam memberantas praktik korupsi di Indonesia. Operasi ini dianggap efektif karena memungkinkan penangkapan para pejabat yang terjerat korupsi saat masih melakukan tindak pidana, memberikan efek jera. Namun, sejumlah pejabat tinggi, mulai dari Menteri Luhut Binsar Pandjaitan  yang menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap praktik OTT. Luhut berpendapat bahwa OTT menciptakan citra negatif terhadap Indonesia, seolah negara ini tak mampu memberantas korupsi secara sistematis. Luhut menyarankan agar pemerintah daerah fokus pada digitalisasi untuk mencegah korupsi, alih-alih terus mengandalkan OTT yang dinilai hanya sebagai tindakan sementara.
Johanis Tanak, calon pimpinan KPK, juga mengusulkan penghapusan OTT. Ia berpendapat bahwa OTT tidak sesuai dengan KUHAP, dan jika terpilih menjadi ketua KPK, ia akan menutup tradisi tersebut. Tidak hanya itu, Anggota Komisi III DPR, Hasbiallah Ilyas, juga mendukung wacana penghapusan OTT. Ia menyebut OTT sebagai cara yang "kampungan" dan merugikan negara. Menurutnya, proses OTT yang memakan waktu hingga setahun justru memboroskan anggaran negara. Ia juga menilai OTT tidak efisien karena sering kali uang negara hilang sebelum pelaku tertangkap.Â
Mengapa istilah ini begitu diperdebatkan? Salah satunya adalah argumen bahwa operasi semacam ini terkesan lebih bersifat reactive, atau reaktif, alih-alih proaktif dalam mencegah korupsi. Namun, apakah perubahan istilah ini benar-benar memberikan solusi yang substansial bagi pemberantasan korupsi? Bukankah yang lebih penting adalah penegakan hukum yang tegas dan konsisten, bukan sekadar pergantian kata yang tampaknya lebih kosmetik?Â
Pada perdebatan ini Mahfud MD sempat menilai bahwa hingga saat ini, OTT tetap diperlukan. Menurut Mahfud, jika kita belum bisa mencegah korupsi dengan sempurna, maka OTT adalah cara yang sah untuk menegakkan hukum.Â
Dampak Perubahan Istilah: Apakah Ini Mengubah Mentalitas Korupsi?
Pertanyaannya, apakah perubahan istilah OTT akan membawa dampak pada mentalitas korupsi di Indonesia? Faktanya, istilah mungkin memang berubah, tetapi mentalitas masih tetap. Korupsi di Indonesia bukan hanya masalah istilah, melainkan penegakan hukum yang lemah. Jika hukum tidak memberikan efek jera, maka praktik korupsi akan terus berlangsung, tak peduli istilah apa yang digunakan.
Misalnya, meskipun OTT dilakukan untuk menjerat pejabat yang terlibat korupsi, sering kali hukumannya tidak cukup berat untuk memberi efek jera. Banyak pihak yang menganggap penegakan hukum di Indonesia tidak konsisten dan terkadang terlihat "selektif." Apakah dengan mengganti istilah OTT menjadi istilah yang lebih positif, seperti Tindak Pidana Korupsi (TPK) Digital atau Kegiatan Penangkapan akan membawa perubahan yang signifikan? Belum tentu.