Mohon tunggu...
Adi Toha
Adi Toha Mohon Tunggu... lainnya -

Pembaca dan Tukang Cerita. Penerjemah dan Editor. Suka bersepeda juga. www.sanibisme.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andrealupus Hippopotamus

13 Maret 2013   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:50 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi buta telepon genggamku berbunyi. Dengan enggan dan mata yang masih terpejam, telepon yang selalu kuletakkan dalam jangkauan tangan selagi tertidur itu aku raih. Di layar tertulis nama seorang kawan yang sudah lama tidak saling kontak. Aneh betul. Ada apa pagi-pagi sekali dia menghubungiku, aku membatin. Barang kali ada sesuatu yang penting yang perlu dia bicarakan denganku, seperti, semalam dia baru saja ribut dengan suaminya, aku menerka. Atau barangkali nomorku tidak sengaja kepencet, mengingat namaku berawalan huruf A sehingga berada di urutan atas buku telepon, seperti yang sering kali terjadi. Namun, begitu ingat bahwa aku pernah melihat di buku teleponnya dia tidak menulis nama asliku, aku yakin itu bukan salah pencet.

Ternyata betul. Dia memang sengaja menelepon, mengajakku ketemuan petang nanti di tempat biasa, di kafe dekat toko buku di pusat kota. Entah ada urusan apa, dia tidak mengatakannya. Nanti saja aku beri tahu, aku cuma ingin bertemu, jawabnya. Ohya, bawakan aku satu buku koleksimu untuk aku pinjam, dia meminta. Atau bawakan aku buku terjemahanmu yang baru terbit, dia meminta. Dengan mata yang masih terpejam aku mengiyakan, menutup telepon, lalu kembali berusaha menggenapi tidurku yang kurang karena semalam lembur menyelesaikan tenggat terjemahan novel yang sedang aku kerjakan.

Namun, meskipun mataku terpejam, pikiranku tidak mau diajak kompromi. Butuh belasan menit sebelum aku tahu alasannya. Ya, temanku tadi. Bukan sepenuhnya teman. Dia pernah menjadi kekasihku. Aku pun bangkit dan menyeduh kopi.

***

Beberapa tahun belakangan, sejak meledaknya novel Semangkuk Pelangi karangan seorang penulis pendatang baru—waktu itu tentu saja, kini dia sudah menjadi salah satu penulis terkenal nasional, dan setelah novel perdananya, dia menerbitkan beberapa novel lanjutan—di kotaku banyak bermunculan kafe-kafe kecil yang memampang nama pelangi—Kafe Segenggam Pelangi, Kafe Sepiring Pelangi, Kafe Sambal Pelangi, Roti Lapis Pelangi, Pelangi Seafood, Sahabat Pelangi, Pelangi Putih Kafe & Resto (meski agak aneh juga kedengarannya, menggabungkan pelangi dengan putih, tetapi barangkali pemiliknya memang melabrak logika, hanya demi menambahkan kata pelangi dalam nama kafenya), dan sekian banyak yang lainnya. Pelangi yang tadinya menjadi kata milik banyak orang, kini seolah-olah menjadi kata yang berasal dari novel itu, seolah-olah baru diciptakan oleh pengarangnya. Untunglah, kafe tempatku janji ketemu dengan teman lamaku itu adalah satu dari sedikit tempat yang tidak mencantumkan kata pelangi, meskipun tentu saja, karena letaknya yang dekat dengan toko buku besar di kota, maka bisa dipastikan sang pemilik, para pramusaji, dan para pengunjung di sana mau tidak mau membaca kata pelangi yang tertempel pada poster dan banner di depan toko buku itu, beserta foto seukuran nyata sang pengarang, yang tersenyum lebar tepat menatap bagian depan kafe bernama Roempoet itu.

Yah, aku akui novel itu memang cukup menarik. Sekadar cukup. Bahkan, kurang beberapa kadar untuk dikatakan cukup. Bahkan, tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai novel, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai memoar. Berkisah tentang perjalanan hidup seorang usahawan muda pemilik restoran terkenal bernama Andrealupus Hippopotamus, yang sekaligus nama pengarangnya, buku itu tampaknya berhasil menginspirasi banyak orang untuk merintis usaha kafe ataupun restoran. Dikisahkan bahwa Andrealupus kecil lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga miskin di sebuah desa pedalaman. Dia mendapatkan namanya—yang terdengar asing dan janggal bagi nama seorang anak desa pedalaman—dari seorang ilmuwan Eropa yang sekali waktu pernah meneliti populasi kera liar di kawasan hutan dekat desanya. Diceritakan dalam buku itu ilmuwan Eropa tersebut sempat menginap satu malam di rumah ayahnya. Sang ilmuwan bercerita—tentu saja dengan pengetahuan bahasa Indonesia yang terbatas—tentang penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, yakni penelitian tentang kuda nil di Afrika, juga tentang spesies srigala di Siberia. Tentu saja sang ilmuwan tanpa sengaja menyebutkan nama ilmiah dari spesies yang ditelitinya, Hippopotamus amphibius, Canis lupus, dan beberapa spesies lainnya. Nama yang kedengarannya keren dan unik bagi telinga sang ayah. Maka beberapa tahun setelah itu, ketika ibunya melahirkan dirinya, sang ayah memberinya nama Andrealupus Hippopotamus. Buas seperti seperti srigala, kuat seperti kuda nil, harapan sang ayah.

Kemudian diceritakan, Andrealupus kecil ternyata pintar memasak. Mungkin karena sering diajari oleh ibunya—ini dugaanku saja, karena dibukunya tidak disebutkan demikian, hanya disebutkan bahwa tiba-tiba, seolah mendapat ilham dari langit, atau dari roh-roh penunggu hutan, dia pintar memasak, menggunakan bahan-bahan alami yang dia dapatkan dari hutan dan tumbuhan-tumbuhan di sekitar desa. Apa yang tampaknya tidak dapat dimakan, di tangan Andrealupus bisa menjadi masakan yang lezat menggiurkan. Maka dari itu, karena kepintarannya inilah, ketika ada kegiatan jambore pramuka di kotanya, dia menjadi salah satu perwakilan dari sekolahnya. Kisah berlanjut dalam alur yang linear dan penuh dengan kejutan dan kebetulan yang dipaksakan demi menunjukkan sang tokoh seolah-olah menjadi orang yang terpilih dan ditakdirkan untuk menuai kesuksesan. Di jambore itu masakannya digemari oleh para peserta dari sekolah lain, bahkan para pembina pramuka dari kota lain, bahkan seorang pejabat Jakarta yang kebetulan meninjau lokasi perkemahan. Sewaktu ditanya apa nama masakan yang dia buat, dia dengan tiba-tiba menjawab, “Sup Saripati Pelangi”, hanya karena mendadak matanya melihat sebias pelangi di atas langit bumi perkemahan. Dari situlah judul itu berasal.

Kemudian kelanjutannya bisa ditebak, berbekal keahliannya memasak, dia memberanikan diri ikut lomba memasak—yang seharusnya diperuntukkan untuk ibu-ibu PKK—di tingkat kecamatan, lalu kabupaten, lalu provinsi, kemudian nasional, hingga akhirnya ikut audisi chef di salah satu stasiun televisi nasional. Cerita berakhir dengan suksesnya Andrealupus Hippopotamus menjadi chef ternama dan telah membuka restoran-restoran di kota-kota besar. Tentu saja, restoran itu bernama pelangi, dan menu istimewanya tentu saja sup saripati pelangi. Dan rupa-rupanya, banyak pembaca yang merasa terinspirasi setelah membaca buku itu.

***

Sewaktu aku membelokkan motorku ke halaman Roempoet, aku menyaksikan beberapa karyawan toko buku tengah memasang spanduk promosi baru dan melepas spanduk promosi yang lama. Tak mau repot-repot mengetahui apa isinya, begitu menghentikan motor, mematikan mesin, aku langsung menuju ke dalam kafe, memindai satu per satu pengunjung yang ada di sana dan mengenali salah satunya. Rambut panjangnya dikuncir ekor kuda, dengan sehelai syal warna ungu melingkar di lehernya. Dia melambaikan tangan dan menebarkan senyum yang sudah aku kenal.

“Sudah lama nunggu?” tanyaku basa-basi.

“Baru sebentar kok. Mana bukunya?” ucapnya tanpa basa-basi.

Begitu mendaratkan pantatku di atas kursi di depannya, aku langsung membuka tas dan mengeluarkan satu novel terjemahanku yang baru terbit belum ada sebulan yang lalu dan menyerahkan kepadanya.

The History of Her Stories, Sabina O’Farrel. Sepertinya menarik. Penulis dari mana?”

“Irlandia, tapi tentu saja aku menerjemahkannya dari bahasa Inggris.”

“‘New York Times Bestseller,’” Dia mulai membaca blurb di belakang buku. “‘Anna, gadis lima belas tahu itu tidak pernah menduga, buku harian mendiang ibunya yang dia temukan di rumah musim semi mereka di pulau kecil St. Sabine akan membawanya pada banyak hal dan petualangan yang menarik, menantang, mengharukan, sekaligus membahayakan. Melalui buku harian itu, sang ibu yang merelakan hidupnya demi membuat putrinya terlahir tersebut juga mengisahkan banyak dongeng yang sedianya akan diceritakan sendiri kepada putrinya. Anehnya, keajaiban demi keajaiban terjadi di St. Sabine begitu Anna membaca satu per satu dongeng di dalam buku harian tersebut.

‘Termasuk kemunculan Dave, teman masa kanak Anna si St. Sabine selama beberapa waktu sebelum dia berpindah ke New York bersama ayahnya. Juga, seorang pria berbaju hijam mirip ayahnya yang seolah-seolah selalu muncul dari mana saja untuk merebut buku harian itu darinya.

“‘Dan, siapa pula Mr. Seamus, pria tua pemilik toko buku antik yang disebut-sebut ibunya dalam buku harian itu bahwa dia menyimpan bagian lain dari dari buku harian sang ibu yang ada di tangannya? Sabina O’Farrel akan menawan Anda dengan novel yang memadukan realitas, dongeng, dan rahasia gelap sebuah keluarga ini.’ Hmm. Bikin penasaran. Aku pinjam ya?”

“Tak usah. Itu buatmu. Hadiah pertemuan kita sekarang. Ohya, bagaimana kabar suamimu?” Aku bertanya, pertanyaan yang mendadak aku sesali begitu melihat perubahan ekspresi wajahnya.

Fine. Dia sedang tugas kantor ke luar kota dalam beberapa hari ini. Please, jangan tanya apa-apa lagi. Aku hanya ingin bertemu denganmu untuk bicara tentang … hal lain,” balasnya.

Aku terdiam. Mengedarkan pandangan ke arah depan kafe, mau tak mau aku membaca spanduk baru yang dipasang di toko buku depan. Dia mengikuti arah pandanganku.

“Andrealupus Hippopotamus, pertama dan satu-satunya penulis nasional dalam 100 tahun terakhir yang karyanya mendunia menjadi best seller Internasional dan mendapatkan penghargaan sastra terbaik di Italia. Dapatkan buku-bukunya di sini.”

Bukan sesuatu yang mengejutkan, aku sudah membaca kabar tentang itu beberapa hari lalu di Internet. Sempat terjadi polemik juga mengenai hal itu.

“Hebat ya dia,” ujarnya.

“Lebih tepatnya, beruntung, dan arogan.”

“Kok?” Dia menunggu penjelasanku. Meski tadinya aku tidak tahu topik apa yang akan aku bicarakan dengannya, mengingat, rupa-rupanya masih ada sedikit bagian di dalam diriku yang tidak menerima bahwa akhirnya kami putus dan tak berapa lama kemudian dia menikah dengan pria lain, pembicaraan tentang buku selalu menarik bagi kami berdua. Kami sering mendiskusikan buku-buku apa yang pernah, sedang, dan ingin kami baca. Pertanyaan darinya membuka jalan untuk mendiskusikan tentang Andrealupus Hippopotamus dan karyanya.

“Yah, tulisan di spanduk itu adalah pernyataan dia di media kemarin. Kupikir itu pernyataan yang arogan dan ahistoris, menihilkan sejarah sastra nasional dan prestasi para sastrawan yang lebih dulu mendunia sebelum dia, meskipun buku-buku mereka tidak selaris buku Andrea. Secara kualitas sastra, novelnya juga biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, mungkin karena didukung publikasi, momentum, dan pembacaan yang tidak kritis. Fakta bahwa sebelum dirinya, sudah banyak sastrawan kita yang mendunia, itu tidak dia sebutkan. Sama halnya, dia tidak mengakui sejarah sastra kontemporer kita. Yah, semuanya semata-mata demi penjualan. Klaim sana klaim sini,” jelasku. “Dan kupikir, novel dia tergolong novel populer, sejenis novel inspirasi yang dangkal. Kau sudah baca novelnya, kan?”

Selagi aku berbicara, dia mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai membuka browser, mencoba mengonfirmasi apa yang baru saja aku sampaikan. “Sudah lama. Menurutku juga begitu, novelnya biasa saja, tidak ada yang istimewa. Banyak pengarang nasional dulu dan kini yang jauh lebih baik daripada Andrealupus,” balasnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar tablet. “Wow. Dengar deh, aku bacakan ya. ‘Penghargaan yang diterima oleh Andrealupus Hippopotamus bukanlah penghargaan untuk kategori sastra, melainkan penghargaan untuk buku-buku resep masakan, atau yang mengandung resep masakan sebagai unsur pembangun cerita. Buku Andrealupus Hippopotamus mendapatkan penghargaan karena menawarkan resep-resep masakan eksotis, yang menggunakan bahan-bahan alami, dan mampu meramunya menjadi masakan kelas hotel berbintang. Di tengah gempuran masakan-masakan instan dan artifisial yang mahal dan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang, buku Semangkuk Pelangi menawarkan sesuatu yang membumi, alami, eksotis, inspiratif, sekaligus murah sehingga mampu membuat pembaca kembali menengok apa yang telah disediakan alam untuk kita. Di tengah gencarnya industrialisme dan pemanasan global, buku tersebut signifikan sebagai sebuah panggilan untuk kembali memahami kearifan lokal.’

“Jelas bukan penghargaan sastra, tetapi kemarin dia mengklaim bahwa penghargaan yang diterimanya adalah penghargaan sastra. Dan dengar pernyataan dia tentang seratus tahun sejarah sastra nasional? Apa itu tidak melukai perasaan mereka yang benar-benar bergelut di dunia sastra?” Aku menanggapi.

“Tapi dia memang beruntung, dan dapat dikatakan berhasil; tidak banyak novel-novel kita yang berhasil diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing. Dan best seller,” balasnya.

Aku langsung menyambung, “Tapi, itupun kriteria yang masih dapat diperdebatkan, kukira. Kita tidak punya data apakah buku itu memang benar-benar best seller atau hanya klaim sepihak demi strategi pemasaran. Pengarang dan penerbit pun tidak membuka data mereka. Dan sayangnya, ketika ada seorang pembaca yang menuliskan kritik panjang lebar tentang itu, Andrealupus malah membalas kritikan itu dengan berniat mengajukannya ke meja hijau atas tuduhan pencemaran nama baik. Ironis, kan? Seseorang yang mengaku penulis hebat, penulis laris, membalas tulisan dengan tuntutan pengadilan. Apakah dia tidak mampu menjawab kritikan itu dengan tulisan? Lantas, di mana integritas dia sebagai penulis?”

“Ohya? Aku belum tahu soal itu.”

Aku mengangguk, lalu meneruskan. “Dan dengan dalih mempertanyakan kapasitas si pengkritik sebagai kritikus, dia memberikan pernyataan bahwa negara kita sangat memerlukan kritikus sastra yang kompeten. Absurd, kan? Mungkin menurutnya kritikus sastra yang kompeten itu adalah kritikus yang memuji-muji dan mengagung-agungkan karya dia, di luar itu, bukan kritikus yang kompeten.

Mungkin telinganya sudah tipis oleh pujian-pujian itu, sehingga mendengar kritik sedikit saja langsung panas,” dia menanggapi, menopangkan dagunya di atas kedua tangannya dan menatapku. "Aku suka saat kau berbicara begitu semangat tentang sastra dan buku,” lanjutnya.

Aku hanya tersenyum. “Kalau ada waktu dan ingin tahu lebih banyak, cari saja di Internet.” Pramusaji kafe datang menghampiri meja kami membawakan daftar menu makanan. Aku memesan kopi alang-alang dengan sedikit gula, kentang goreng, dan roti bakar, juga sebungkus rokok, sisa rokok yang kubeli semalam untuk menemani lembur ketinggalan di rumah.”

“Kamu merokok lagi?” dia bertanya.

Aku menjawabnya dengan anggukan.

“Sejak kapan?”

“Sejak hari pernikahanmu,” jawabku singkat, “berapa… ehm,” aku menghitung dengan jari tangan, “sebelas bulan, hampir satu tahun.”

Dia menanggapinya dengan tersenyum, sejenis senyuman yang menutup satu topik pembicaraan dan berusaha beralih ke topik pembicaraan yang lain, lalu memandang ke luar kafe, menyeberang jalan, menembus poster-poster promosi buku, menembus tumpukan buku, dan entah menembus apa lagi, sampai terlihat ketidakberhinggaan di matanya.

“Tadi kau bilang, kau ingin membicarakan suatu hal. Aku ingin mendengarnya.” Pertanyaanku mengembalikan pandangan matanya dari ketakberhinggaan menjadi bayangan wajahku yang menciut di lensa matanya.

Dia kembali tersenyum, dengan sejenis senyuman yang berbeda, kali ini lebih teduh. Aku menunggu, tetapi tidak kunjung keluar kata-kata dari mulutnya. Kami bersitatap cukup lama, sesekali dia menundukkan pandangannya dan memperhatikan pusaran di dalam gelas berisi jus jeruk pesanannya yang tinggal setengah. Barangkali, dengan begitu dia bisa menenangkan pusaran-pusaran di dalam pikirannya. Begitu mendongak lagi menatapku, dia hanya berucap satu kalimat, “Aku cuma kangen kamu.”

Aku membalasnya dengan tersenyum pahit, dan menjawab, “Aku juga merindukanmu,” tetapi dalam hati, dan berusaha menahannya di dalam kerongkongan ketika kalimat itu dengan cepat ingin hinggap di atas lidahku, sampai aku terpaksa mengeluarkan sedikit batuk kecil. “Suamimu?” sebaliknya, justru kata itu yang keluar dari mulutku.

“Dia tidak bisa memahamiku sepertimu,” balasnya, ada kesan penyesalan dalam kalimat itu, juga rayuan, atau mungkin hanya perasaanku saja.

“Ohya? Aku tersanjung. Padahal akulah yang justru tidak bisa memahamimu. Itulah kenapa akhirnya kau memutuskan untuk mengakhiri hubungan, bukan?” jawabku ketus.

“Terkadang, kita harus menerima kenyataan bahwa beberapa orang bisa tetap tinggal di hati kita tetapi tidak di kehidupan kita, begitupun sebaliknya,” ujarnya, lalu kembali menunduk memandangi gelasnya.

“Aku tahu betul kalimat itu, buka saja buku yang tadi aku berikan di halaman ehm… kalau tidak salah 211, bagian agak bawah.”

“Ohya. Kebetulan sekali ya.”

“Menurutmu, adakah kebetulan itu?”

“Mungkin ada dan mungkin juga tidak ada,” jawabnya.

“Ehm, jawaban yang diplomatis. Ambil contoh misalnya, apakah jika ilmuwan Eropa itu tidak kebetulan menginap di rumah orangtua Andrealupus, apakah Andrealupus akan terkenal seperti sekarang? Barangkali, yang akan terkenal bukanlah Andrealupus Hippopotamus, karena nama itu pastinya tidak akan terlahir, melainkan Sanibudin Nasibiyanto, atau nama lain yang lebih umum dan lebih lokal, dan yang akan dia tulis bukan novel bercitarasa resep masakan, tetapi novel bernuansa mistis klenik, atau bahkan justru buku pedoman bagaimana beternak ayam dan lele,” jawabku sinis.

Dia tertawa, “Dan kita tidak akan duduk di sini, bertemu kembali setelah sekian lama, hanya untuk mengobrolkan tentang Andrealupus Hippopotamus, sang pengarang hebat nasional yang telah mendapatkan penghargaan sastra internasional, bukannya mengobrolkan tentang hal yang lainnya?”

“Yah, anggap saja seperti itu,” Aku menanggapi datar. Pramusaji datang membawakan pesanan.

“Meskipun kau sudah merokok lagi, peraturannya tetap sama. Jangan merokok di depanku.” Dia memperingatkan tegas.

“Baiklah.” Memang itu yang sudah aku niatkan, aku hanya akan mengantonginya untuk jaga-jaga begitu pertemuan kami usai. “Menurutku, kebetulan itu…”

Tiba-tiba telepon genggam di dalam tasnya berbunyi. Dia lekas mengambilnya, dan begitu melihat nama penelepon, dia meminta izin untuk keluar kafe menerima panggilan itu, cukup jauh dari meja kami sehingga aku tidak cukup jelas mendengar apa yang dia bicarakan dalam telepon, juga karena suaranya bercampur dengan suara-suara kendaraan dan keramaian orang, tetapi tampaknya sesuatu yang serius, terlihat dari mimik wajahnya yang menegang dan bibirnya yang terkatup rapat. Sesekali, begitu tahu aku memperhatikan gerak-geriknya, dia akan tersenyum kaku ke arahku, kemudian membalikkan badan lagi ke arah lain.

Begitu menutup telepon, sejenak dia tampak mendesah panjang, menunduk menatap ujung sepatunya, sebelum memutuskan untuk kembali masuk menghampiriku dengan tergesa-gesa.

“Maaf, seharusnya kita bisa mengobrol lebih lama. Sayangnya, aku harus cepat pulang ke rumah,” ujarnya, bahkan sebelum duduk kembali di kursinya, memasukkan kembali tablet ke dalam tasnya, dan menghabiskan sisa minumannya.

“Suamimu?”

Bukannya membalas, setelah semua barang-barangnya dibereskan, dia malah mengalihkan pandangannya ke luar dan menarik napas, kali ini lebih dalam dan panjang daripada sebelumnya. Namun, begitu dia kembali menatapku, aku melihat kepatuhan dan ketundukan yang dipaksakan di dalam matanya. Cukup lama, diam, hening, seperti keheningan yang mendahului datangnya bencana, ketenangan yang mendahului datangnya hujan badai.

Dan hujan benar-benar turun di matanya, meskipun tidak sampai menjadi badai, hanya menjadi genangan kecil di sudut matanya, genangan yang langsung dia lenyapkan dengan mengerjap-kerjap lalu langsung berdiri.

“Mau kuantarkan?”

“Terima kasih, aku bisa cari taksi.”

“Kalau begitu, aku antar sampai depan.”

Kami berjalan bersisian, searah tepat di depan kami, di jendela kaca toko buku, terpampang poster besar Andrealupus Hippopotamus yang tengah tersenyum lebar memegang bukunya. Tak ada kata-kata lagi yang kami pertukarkan. Begitu sampai di pinggir jalan, sebuah taksi kosong mendekat, dia melambaikan tangan.

“Terima kasih untuk sore ini. Meski hanya sebentar, aku menikmatinya. Kapan kita bisa bertemu lagi?” tanyanya tiba-tiba sebelum masuk ke dalam taksi.

“Setelah kau selesai baca buku yang kuberi tadi. Mungkin kita bisa mendiskusikannya,” balasku, memegangi pintu belakang.

Dia membalas dengan senyuman untuk terakhir kalinya sebelum pintu tertutup, senyuman yang singkat, tetapi bersamaan dengan senyum itu aku dapat melihat kilasan pelangi di matanya. Dan begitu taksi itu sudah melaju, saat aku melangkah kembali memasuki kafe untuk membayar pesanan, di atas langit di belakang kafe aku melihat kilasan tipis pelangi. Barangkali, setelah ini aku harus mulai menulis buku juga, “Pelangi di Matanya”. Ah tidak, aku tidak mau ikut-ikutan. Bagaimana kalau “Mata yang Menyimpan Pelangi” atau “Kolam Pelangi di Matamu”, “Mata Pelangi”. Ah, tidak juga, masih tetap ada kata pelangi. Pelangi di Matamu? Pelangi Seusai Badai? Pelangimu Pelangiku?

Apa yang akan aku pilih untuk menjadi judul buku yang akan aku tuliskan nantinya terus menjadi pertanyaan di dalam benakku ketika aku menarik sebatang rokok dari dalam bungkusnya dan mulai menyalakannya, memandangi orang-orang yang keluar masuk kafe, lalu-lalang orang-orang di luar, dan buku-buku yang berjajar di rak toko buku di seberang kafe sana. Dan Andrealupus Hippopotamus masih saja tersenyum dengan senyumnya yang tampak semakin angkuh saja di dalam poster.[]



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun