Mohon tunggu...
Saniatu Aini
Saniatu Aini Mohon Tunggu... -

family science, gender,craft,food

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gender dan Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita

4 Januari 2013   11:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:31 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Entah kenapa saya enggak pernah bosen nonton film yang satu ini. Film Indonesia yang bagus terutama untuk perempuan, tapi entah kalau pendapat laki-laki soalnya pas saya nonton film ini barengan ayah,saya bilang “Filmnya bagus kan?” dan ayah saya cuman jawab “Iya bagus, tapi buat perempuan”. Ya, apakah film ini hanya akan benar-benar dinikmati oleh seorang perempuan, padahal film tersebut karya seorang laki-laki.

Sebenernya ceritanya itu simple banget, ya ceritanya nyeritain cerita-cerita perempuan yang ada di sekitar kita. Tokoh utamanya Jajang C Noer yang berperan sebagai dokter kandungan yang gigih dan konsen terhadap permasalahan-permasalahan perempuan, utamanya permasalahan-permasalahan perempuan yang dialami oleh pasien-pasiennya. Enam pasien yang diceritakan memiliki permasalahan yang berbeda-beda, ada yang KDRT hingga akhirnya ia meninggal, masih SMP tapi udah hamil, kanker rahim karena berprofesi sebagai PSK, susah punya anak karena kelebihan berat badan padahal ia punya suami yang baiiiiikkkk banget dan sayaaaang banget sama dia, wanita karir yang berambisi punya anak laki-laki karena bagi dia kehamilan merupakan reputasi dan jika ia tidak melahirkan anak laki-laki maka ia lebih memilih untuk menggugurkan kandungannya, dan buruh pabrik konveksi yang setelah lima tahun menikah baru hamil. Dokter Kartini sendiri belum menikah karena cerita cinta masa lalunya yang membuat dia benar-benar kecewa dan segan menikah, meski ada dokter kandungan juga yang nyata-nyatanya mencintai dokter Kartini dan hendak menikahinya, tapi dokter Kartini menutup hati untuk hal satu ini.

Jika dilihat awal-awal ceritanya, ceritanya selalu menggambarkan kalau perempuan itu selalu menjadi korban ‘laki-laki’ utamanya ketika bagian yang menceritakan pasien yang mengalami KDRT. Juga pasien lainnya yang semuanya berada pada posisi korban. Poligami diam-diam yang dilakukan laki-laki tanpa sepengetahuan istri pertama (wanita karir ambisius & buruh konveksi), ya, tentunya poligami yang dilakukan laki-laki bukan tanpa alasan. Wanita karir ambisius memiliki karakter yang benar-benar menganggap rendah suaminya (saya sendiri ngelihat karakter wanita ini malesin juga, pantesan suaminya nyari istri lain) dan ya meski wanita karir itu digambarkan sebagai sosok wanita modern masa kini yang sangat cantik dan ambisius tapi suaminya justru malah menikah lagi dengan perempuan yang memiliki karakter dan kemasan yang berbeda dengan istrinya. Ya, suaminya memilih untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat gendut, suka memasak, dan humoris (karakter ini yang tidak ia temukan pada istri pertamanya yang terlalu banyak menuntut ini-itu), dan buruh konveksi yang dipoligami karena susah hamil, padahal ia digambarkan sebagai sosok wanita sholehah dan tipe wanita yang sangat penurut pada suami, tapi eh karena kelamaan enggak hamil suaminya malah memilih wanita yang ya ampun dandanannya itu lho Trio Macan banget.

Film ini berusaha secara halus menyentil keadaan perempuan-perempuan Indonesia yang selalu diposisikan sebagai korban laki-laki. Film yang sangat identik dengan permasalahan gender yang sering kali permasalahan gender ini merupakan permasalahan yang malesin banget buat dibahas oleh sebagian masyarakat kita, meski ia sendiri seorang perempuan. Gender seakan-akan dianggap angin lalu yang kayaknya dianggap enggak penting sama sekali buat dibahas apalagi diperdalam, padahal permasalahan gender sendiri bukan permasalahan sepele, kalau iya enggak perlu dibahas, lantas kenapa permasalahan gender dari dulu sampai sekarang masih belum terselesaikan.

Ketika perempuan berbicara gender yang sangat disayangkan perempuan itu dianggap perempuan yang pemberontak yang dianggap enggak seharusnya perempuan bertingkah seperti itu, bahkan tidak segan-segan buru-buru dicap sebagai seorang feminis yang menyalahi norma dan agama tanpa tahu-menahu apa yang melatar belakangi perempuan tertarik dan tergugah untuk membahas permasalahan-permasalahan gender, ya, apakah masyarakat kita terlalu egosentris dalam memandang seorang perempuan, sehingga perempuan semuanya dianggap sama?.

Berbicara gender memang selalu identik dengan feminis, hal itu tidak bisa kita pungkiri. Feminis sebenarnya hanya ingin mewadahi perempuan tipe ke tiga, perempuan yang dengan karakter dan kemampuannya memandang dirinya sama mampunya dengan seorang laki-laki, tetapi yang menjadi permasalahannya feminis begitu membenci institusi keluarga dan pernikahan itu dianggap sebagai penjara yang memenjarakan kaum perempuan dan jika pernikahan tetap terjadi maka pernikahan itu hendaknya seperti pernikahan homoseksual dimana peranan harus bisa 50:50 dan tidak ada kepala keluarga di sana, keduanya SAMA.

Hal inilah yang secara tidak langsung menjadikan keresahan tersendiri bagi masyarakat kita, utamanya masyarakat kita yang memegang teguh budaya Patriarki. Sehingga sangat wajar apabila seorang perempuan dianggap ‘aneh’ atau ‘pemberontak’ jika mencoba menyentil permasalahan-permasalahan gender. Padahal jelas karakteristik wanita Indonesia berbeda jauh dengan karakteristik wanita Barat. Ketika wanita Indonesia ingin mencoba keranah publik bukan berarti ia ingin menandingi suaminya, tetapi ia hanya ingin mengaktualisasi diri TANPA melupakan prioritas utama yaitu keluarga. Bahkan mungkin kebanyakan wanita Indonesia merupakan tipe ke 1 dan ke 2, dan ya lagi-lagi karena ‘masih’ kebanyakan wanita Indonesia tipe ke 1 dan ke 2 wanita kita pun masih banyak yang sungkan untuk berbicara masalah gender, yang perlu saya tekankan di sini gender yang dapat diterapkan di Indonesia adalah aliran Harmonisasi Gender, dimana Patriarki tidak dirobohkan justru diperkuat dengan cara memperbaiki kecacadan-kecacadan yang masih banyak terjadi dimana masih banyak laki-laki yang menjadikan Patriarki sebagai alibi untuk berlaku sewenang-wenang terhadap perempuan.

Kembali ke film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita

Film tersebut hanya berusaha menyadarkan kita, ya itu saja. Agar kita tidak terlena bahkan menutup mata atas permasalahan-permasalahan wanita yang nyatanya hingga detik ini masih menjadi permasalahan serius yang harus kita benahi bersama. Saking seriusnya permasalahan gender ini, permasalahan gender diangkat dalam MDGs poin ke tiga yang sangat diupayakan akan tercapai pada tahun 2015.

Lantas jika melihat hal ini semua masihkah permasalahan gender merupakan permasalahan yang sangat tidak penting untuk dibahas bahkan untuk dicoba untuk dibenahi bersama?.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun