Mohon tunggu...
Sania Sakinata
Sania Sakinata Mohon Tunggu... Jurnalis - sania sakinata

bismillah dulu baru bismillah bisa

Selanjutnya

Tutup

Trip

Menilik Pesona Sudut Malang yang Tak Lagi Dilirik

19 Desember 2022   18:46 Diperbarui: 9 Januari 2023   13:15 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Pandemi tak ubahnya menjadi hantaman besar bagi seluruh dunia. Angka kematian meningkat hingga perekonomian runtuh dan lumpuh. Tak sedikit masyarakat yang harus kehilangan sumber mata pencaharian, salah satunya masyarakat kampung warna-warni jodipan. Destinasi wisata ikonik kota Malang ini menjadi begitu ramai diperbincangkan sejak resmi berdiri pada tahun 2016. Hingga menjadi inspirasi bagi banyaknya kampung tematik yang kini tercatat sebanyak 23 kampung tematik telah hadir di wilayah Kota Malang.

Namun sangat disayangkan, wisata yang begitu menarik ini kini pesonanya seolah terlupakan. Meski telah kembali dibuka wisatawan kampung warna-warni jodipan kini berkurang drastis dari jumlah pengunjung sebelum pandemi. Adnan, kepala kepengurusan pengelolaan wisata ini menyampaikan bahwa sebelum pandemi, jumlah wisatawan menyentuh angka 500 orang di hari biasa, serta meningkat hingga ribuan orang di akhir pekan dan hari libur. Kini, wisatawan kampung warna-warni hanya berkisar sepuluh persen, dari jumlah total pengunjung sebelum wabah covid-19 melanda.

Endang, staf Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kota Malang memaparkan bahwa salah satu faktor penyebab menurunnya jumlah wisatawan kampung warna-warni ialah kurangnya gerakan promosi di sosial media, mengingat saat ini kita sedang dalam era digitalisasi, maka dirasa perlu untuk lebih meningkatkan aktivitas pemasaran dan penyebaran konten-konten terkait wisata di sosial media.

Hadirnya kampung warna-warni jodipan seolah menjadi harapan baru bagi masyarakat sekitar. Mulanya perekonomian masyarakat yang tinggal bantaran sungai brantas ini hanya bergantung dari penghasilan kepala rumah tangga yang umumnya berprofesi sebagai supir, tukang bangunan, dan pekerja serabutan.

Sejak berdirinya wisata ini, perekonomian masyarakat meningkat dengan dibukanya toko-toko kecil yang menjajakan makanan ringan, hingga pernak-pernik dan oleh-oleh kampung warna-warni jodipan untuk para wisatawan yang kini terpaksa ditutup akibat sepinya pengunjung pasca pandemi hingga saat ini.

Sempat menjadi kontroversi, wisata kampung warna-warni jodipan ini mulanya dianggap ilegal dan pungli (pungutan liar) oleh pemerintah Kota Malang. Jamroji, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang yang juga menjadi salah satu dari tim penggagas adanya Wisata Kampung Warna Warni Jodipan memaparkan bahwa awalnya tidak ada niatan untuk menjadikan daerah bantaran Sungai Brantas tersebut sebagai destinasi wisata. “aslinya anak-anak (mahasiswa UMM) itu hanya ingin memperbaiki agar daerah itu tidak lagi jadi kawasan kumuh. ternyata waktu proses sampai awal-awal selesainya pembangunan (renovasi), kok ternyata ramai yang datang. jadi saya bilang ke masyarakat setempat supaya di adakan tiket masuk untuk dana bersih-bersih, sebagai gantinya berikan souvenir pada pengunjung” Ujar Jamroji. 

Hingga tahun-tahun sebelum pandemi, kampung warna-warni yang dulunya dianggap sebagai pungli oleh pemerintah tersebut, justru memberikan dampak yang luar biasa. Kampung Warna-warni Jodipan tak ubahnya menjadi destinasi wisata ikonik yang mendatangkan ribuan wisatawan domestik bahkan mancanegara. Namun sampai sekarang belum pernah terdengar timbal balik positif yang datang dari pemerinta baik untuk penggagas maupun seluruh lapisan masyarakat yang andil dan menjadi bagian dari wisata ini.

Naas.

Beberapa infrastruktur kampung warna-warni mulai rapuh dan tidak terawat, cat yang menghiasi rumah warga dan jalanan di wisata ini tampak usang dan memudar. Meski tak lagi banyak diminati berbekal dana kas wisata yang dikumpulkan masyarakat sekitar peremajaan wisata kampung warna warni jodipan terus dilakukan. Adnan menuturkan bahwa perawatan dan pengembangan murni bersumber dari pemasukan tiket yang juga dibagi menjadi produksi souvenir yang dijalankan komunitas pkk setempat serta untuk penjaga loket di pintu masuk serta bantuan csr dari salah satu perusahaan produsen cat tembok. 

Dua tahun masa pandemi dimanfaatkan sebagai waktu perawatan penuh terhadap wisata kampung warna-warni jodipan. Sedangkan kini, penurunan jumlah wisatawan mengakibatkan hambatan dana perawatan yang juga berimbas tak dapat dilakukan pembaharuan terhadap beberapa fasilitas wisata kampung warna-warni jodipan. Besar harapan masyarakat agar pemerintah dapat memberi perhatian serta dukungan lebih terhadap pengelolaan dan pengembangan destinasi wisata ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun