Nama: Saniarani DewintariÂ
Nim: 222111173
Kelas: Hes 5E
Dosen: muhammd julijanto, S.Ag, M.Ag
1. Kasus Hukum
Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga, menulis email kepada teman-temannya yang mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit swasta di Tangerang. Isi email tersebut kemudian tersebar luas, dan pihak rumah sakit menggugat Prita atas pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Filsafat hukum positivisme seperti yang diajarkan tokoh Hart dan John Austin, memandang hukum sebagai sistem norma yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan berlaku secara objektif. Dalam pandangan ini Dalam kasus Prita Mulyasari, penerapan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik sepenuhnya berlandaskan pada teks undang-undang tersebut.
2. Mazhab Hukum PositivismeÂ
 *Hukum sebagai Produk Resmi yang Harus Diterapkan:* Mazhab hukum positivisme menganggap bahwa hukum sah karena diciptakan oleh otoritas yang sah (seperti parlemen atau pemerintah). Dalam kasus Prita Mulyasari, Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik digunakan sebagai dasar hukum untuk menuntut Prita. Pendekatan ini sesuai dengan ajaran positivisme hukum, yang menekankan bahwa hukum positif harus diterapkan sebagaimana adanya, tanpa memperhatikan apakah isi hukum itu adil atau tidak.
*Pemisahan Hukum dan Moral:* Dalam kasus Prita, keluhan yang ia sampaikan dalam email dianggap sebagai pencemaran nama baik secara hukum, meskipun secara moral banyak yang berpendapat bahwa keluhan tersebut adalah wajar sebagai bentuk kritik atas pelayanan yang buruk
*Kritik terhadap Mazhab Hukum Positivisme:* Kasus Prita Mulyasari juga mengundang kritik terhadap pendekatan positivisme hukum. Banyak yang berpendapat bahwa hukum tidak boleh diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan keadilan substantif atau konteks sosial. Dalam kasus ini, penggunaan UU ITE dianggap tidak proporsional dan merugikan kebebasan berpendapat. Kritikus positivisme hukum mengajukan bahwa hukum seharusnya lebih fleksibel dan mempertimbangkan nilai-nilai moral serta hak asasi manusia, seperti kebebasan berekspresi
3. Argumentasi tentang mazhab hukum positivisme dalam hukum di indonesia
Positivisme hukum memberikan penekanan pada penerapan hukum yang netral dan objektif, tanpa terpengaruh oleh interpretasi pribadi, nilai moral, atau konteks sosial. Penerapan UU ITE dalam kasus Prita menyoroti pentingnya penegakan hukum berdasarkan aturan tertulis yang jelas, tanpa memperdebatkan apakah hukum tersebut adil secara moral atau tidak. Pendekatan ini memberikan dasar yang konsisten untuk menegakkan aturan yang sama kepada semua orang, tanpa kecuali.Â
Mazhab hukum positivisme di Indonesia, seperti yang tampak dalam kasus Prita Mulyasari, menegaskan bahwa hukum harus diterapkan secara objektif dan berdasarkan teks undang-undang yang telah dibuat oleh otoritas yang sah. Dalam kasus ini, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik digunakan sebagai dasar hukum untuk menuntut Prita atas email keluhannya yang tersebar di internet. Berdasarkan pandangan positivisme hukum, tindakan ini sepenuhnya sah karena undang-undang tersebut dirumuskan oleh lembaga yang berwenang dan memiliki kekuatan hukum.
4. Kesimpulan
Kasus Prita Mulyasari merupakan contoh penerapan mazhab hukum positivisme, di mana hukum diterapkan secara ketat berdasarkan teks undang-undang yang dibuat oleh otoritas yang sah, seperti Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Positivisme hukum, sebagaimana diajarkan oleh Hart dan John Austin, menekankan bahwa hukum adalah sistem norma yang berlaku secara objektif dan harus ditegakkan tanpa memperhatikan aspek moralitas atau keadilan substantif. Dalam kasus Prita, keluhannya dipandang sebagai pencemaran nama baik sesuai hukum, meskipun secara moral banyak pihak menganggap keluhan tersebut sah sebagai kritik.