Kita hidup di era digital dimana apapun serba cepat dan instan termasuk dalam informasi mengelola pesan. Tak dapat dipungkiri bahwa media adalah penyalur suara dan memberikan efek jera kepada khalayak. Namun setiap pemberitaan harus beradab dan ada aturannya.Â
Banyak orang mnegeluhkan pemberitaan yang menyudutkan memang tugas media adalah memberi informasi yang apa adanya tapi apakah tidak memperdulikan psikologi para narasumber?. Â
Efek terpaan media sangat besar pengaruhnya terhadap psikologi pembaca apalagi jika terpaan kasusnya dikuliti dan membentuk opini publik. Tugas utama media adalah agen of change dan penyambung lidah masyarakat tentu dalam mengelola pesan harus beretika jangan hanya memperhatikan ratting namun lihat apa yang ditimbulkan atas pemberitaan yang telah dibuat.Â
Salah satu kelebihan media adalah membuat reputasi baik dan buruk namun apakah pemberitaan harus menjulur ke ratting tanpa memperhatikan psikolog dari narasumber yang di tulis itu? Tulisan dan opini publik bisa membunuh karakter, depresi bahkan bunuh diri jika di terpa terus menerus. Kembali ketujuannya, memang media disebut ratu dunia namun apakah terpaan media yang keliru diatas kepentingan mengorbankan yang namanya adab yang menghasilkan opini citra negatif hingga buliying dari publik dibenarkan? Bagaimana pelindungan dari terpaan media yang terus menerus tanpa klarifikasi dan terus di korek kesalahanyya apakah masuk etika jurnalisme? Â
Itulah sangat penting pelindungan psikologis dan etika jurnalisme dalam membuat berita. Apa dan bagaimana tujuannnya harus jelas jangan sampai ada yang di korbankan.Â
Pemberitaan harus balance jangan menguntungkan dan merugikan pihak manapun dengan terpaan pemberitaan. Kuasa wartawan memang sangat berpengaruh terhadap opini publik, untuk itulah perlunya etika jurnalisme dan rasa empati seorang wartawan.Â
Saya berbicara, banyak yang mengadu atas sebuah pemberitaan bahkan pemberitaan karena ratting semata dan kepentingan dapat membuat psikologi dan tingkat setres akut bahkan banyak lompatan bunuh diri. Disinilah dibutuhkan empati dari seorang jurnalis. Meraka yang di framing salah apakah 100% salah? Seakan tidak ada ruang dimata publik, tidak! semua tergantung sudut pandang dan itu tidak dapat dinilai untuk itu perlunya balance atas pemberitaan dan empatik jurnalisme agar terciptanya suasana kebatinan yang sehat dalam mencipatakan efek jera.
Jurnalis jelas bukan subyek yang bebas nilai. Namun ia juga menganut nilai-nilai tertentu yang mempengaruhi strateginya dalam merepresentasikan fakta yang dikonstruksinya. Nilai-nilai itu bisa saja terbentuk karena pendidikan yang diterima semasa menempuh pendidikan formal, transmisi nilai yang diterima di tengah-tengah keluarga, nilai-nilai yang diperoleh melalui organisasi tempatnya beraktivitas, nilai-nilai agama dan budaya yang diwarisi dari keluarganya, termasuk pengalaman berinteraksi dengan beragam kalangan dalam posisisinya sebagai jurnalis.
Pengalaman dan pengetahuan individu seorang jurnalis, lama kelamaan akhirnya mengendap dan mengkristal sehingga terbentuklah apa yang disebut schemata of interpretation. Schemata memberikan kemampuan pada jurnalis untuk memetakan, menerima, mengidentifikasi dan memberikan label pada peristiwa atau informasi yang diterimanya. Schemata merupakan frame (bingkai) dalam level individu. Menurut Walter Lippmann , wartawan sekaligus kolomnis ternama AS, pada setiap individu jurnalis terdapat apa yang disebut picture in our head (gambaran-gambaran di kepala kita). Sama seperti dengan konsep schemata, konsep ini menyatakan bahwa jurnalis, bertindak tidak dengan "kepala kosong" -- dan oleh karena itu tidak mudah dipengaruhi -- ketika melakukan konstruksi atau rekonstruksi sosial terhadap realitas. Di kepala mereka telah terbentuk gambaran-gambaran yang merupakan akumulasi, kristalisasi atau simplikasi pengalaman dan pengetahuannya, dan yang tanpa banyak disadari mempengaruhi kecenderungan kognitifnya.
Walau jurnalisme sudah menyediakan kerangka kerja bagi jurnalis ketika melakukan aktivitas jurnalismenya, namun schemata tersebut sedikit banyak, bahkan mungkin dominan, ikut mewarnai cara pandang jurnalis terhadap fakta yang diliput dan ditulisnya.
Picture in our head yang diciptakan tentu harus mengedepankan empatik jangan sampai asal jedor tanpa berfikir kedepannya seperti apa dan mengabaikan balance dari pemberitaan itu sendiri. Ruang berita keseimbangan sangatlah diperlukan, jangan sampai diabaikan karena semua punya etika bahkan kekuasaan dari pers itu sendiri.Â