Indonesia adalah negara umat muslim terbesar di dunia. Namun banyaknya umat islam di negara ini kurang mendomisili kekuatan muslim. Sebaliknya banyak konten media yang memframing islam itu lemah, suka ditindas, bodoh dan radikal.Â
Sebenarnya itu hanya settingan media sekuler dalam menerapkan frame islam di media. Kuasa media dalam menampilkan wajah dan karakter umat islam tentu mudah setting apalagi itu dari media sekuler.
Realitas yang kita anggap hadir melalui berita, nyatanya adalah realitas yang telah dikonstruksikan sedemikian rupa oleh media.Â
Media tentu saja memilih, realitas apa yang diambil dan mana yang dicampakkan. Ia bukan saja memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, tetapi juga berperan mendefinisikan aktor dan peristiwanya. Lewat bahasa, ia dapat menyebut, misalnya, demonstran sebagai pahlawan atau perusuh. Semua buah konstruksi tersebut membuat khalayak harus memahami dalam kacamata tertentu yang telah digariskan oleh media.Â
Contoh banyak beberapa kasus umat islam yang sering di judge lemah misalnya sinetron. Mungkin di bingkainya itu adalah sinetron religius namun apakah setiap orang yang mempunyai agama yang kuat harus selalu diperlakukan semena-mena, bersikap diam jika ada yang menindas, apakah islam selemah itu. Ya .. 70% media menayangkan citra islam yang lemah.
Padahal islam itu adalah umat terkuat. Contoh lain bagaimana media sekuler memperkosa pemberitaan politis dan fakta lapangan lainnya yang sarat akan kepentingan oknum pemerintah. Banyak sekali kasus di lapangan toh media kuasa atas setiap pemberitaannya. Toh media bisa memberi efek jarum hipedermik. Ya jarum suntik yang di suntikan ke pada khalayak membuat apa yang di framingkan media seolah olah itu fakta nyata.Â
Kekuatan media melalui framing pemberitaan melangkah lebih jauh.Framing bisa berkaitan dengan opini publik. Ketika sebuah isu tertentu dikemas dengan bingkai tertentu, bisa mengakibatkan pemahaman yang berbeda atas suatu isu.
Celakanya, pengaruh media massa saat ini didominasi bukan oleh media yang memperjuangkan nilai-nilai Islam, namun dijejali dengan media berbasis sekuler. Berapa banyak harian Islam yang bisa disebut di Indonesia? Berapa jari yang bisa dihitung ketika menyebut televisi Islami?Â
Di layar kaca, materi Islam hanya singgah saat orang masih terlelap, dan semarak ketika bulan ramadhan tiba. Itu pun belum jelas, yang menyampaikan pelawak atau dai. Maka ketika berbagai opini yang bertentangan dengan Islam, umat dibuat kebingungan. Begitu massif dan intens opini tersebut muncul, sehingga wacana kontra nilai-nilai Islam sedikit demi sedikit terbentuk memenuhi benak umat.
Kasus- kasus besar bisa lenyap dan hilang itu tergantung bagaimana media menciptakan drama agenda sering. Kasus novel yang terintimidasi akibat mau membeberkan fakta sebagai tanggungjawab tugasnya malah sudah tidak diexpos lagi karena media punya agenda setting.Â
Sebaliknya dewasa ini media sekuler lebih condong pada pemberitaan pencitraan dan mereka hampir kehilangan jati dirinya.Â