Mohon tunggu...
Sang Wicara
Sang Wicara Mohon Tunggu... -

Pada mulanya adalah sabda

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa JOKOWI Menentang Isu SARA?

8 Agustus 2012   14:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:05 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilukada DKI Jakarta putaran ke-2 bukan hanya akan menentukan siapa di antara dua pasangan kandidat tersisa yang akan memimpin Jakarta 5 tahun ke depan (Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli atau JokowiAhok), melainkan juga bakal menjadi penanda penting perjalanan sejarah politik dan kesadaran politik masyarakat Jakarta. Mengemukanya isu SARA, yang belakangan semakin menguat, tampaknya tidak diimbangi dengan kesiapan pengetahuan kita untuk menyikapinya. Kebanyakan respon—terutama dari kalangan elit—cenderung negatif. Jokowi menyebut, “Jangan perdaya warga Jakarta dengan isu SARA.” Fauzi Bowo menegaskan, “Di negara berdasarkan Pancasila tak ada ruang untuk isu SARA.” Kedua pernyataan itu sama-sama menentang isu SARA, tapi latar pemikiran yang memunculkannya tentulah berbeda.

Jokowi meletakkan isu SARA dalam kalkulasi politik Pemilukada. Dia tahu betul, jika preferensi pemilih Jakarta mengacu pada kesamaan identitas suku, agama, dan golongan, maka ia dan Ahok, calon wakilnya yang berasal dari etnis Tionghoa sekaligus bukan muslim itu, menjadi tidak menguntungkan, dalam arti tidak akan dipilih oleh warga Jakarta. Secara kesukuan Jokowi diuntungkan oleh kejawaan dirinya. Tetapi, orang Jawa warga Jakarta, sebagian besarnya juga muslim, bahkan menjadi penganut Islam yang taat, dalam arti memiliki pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam, yang menyediakan pegangan bagi penganutnya dalam memilih pemimpin sesama muslim. Karena anggapan inilah kubu Jokowi ramai-ramai menentang isu SARA, dan bersikap defensif terhadap tuduhan berbau SARA terhadap diri dan pasangannya. Tindakan Jokowi pergi ibadah umroh kali pertama pada awal bulan puasa ini bisa kita pahami sebagai tindakan defensif itu.

Sementara Fauzi Bowo lain lagi, ia merespon isu SARA dengan meletakkannya pada kerangka yang lebih besar, yaitu kehidupan bernegara. Fauzi Bowo tidak berusaha mengeksploitasi kesamaan identitas muslim yang melekat pada dirinya dan mayoritas warga Jakarta demi keuntungan politiknya. Fauzi Bowo tahu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan Jakarta seharusnya bertumpu pada program dan level kompetensi kepemimpinan. Dan ia bukan tidak tahu, kesalehan pribadi dan keyakinan agama seorang pemimpin berpengaruh pada gaya dan pembawaan kepemimpinannya.

Penolakan berlebihan terhadap isu SARA dan dalam waktu bersamaan mengisolasi peristiwa politik sepenting Pemilukada DKI Jakarta agar ‘bebas agama’ adalah tindakan gegabah yang tidak memertimbangkan implikasinya. Persoalan identitas, terutama suku dan agama, adalah problematika kebangsaan dan kenegaraan yang belum diselesaikan secara tuntas. Baik pada tingkat pemikiran maupun kebijakan. Kita tidak pernah memerdebatkannya lagi, meski Orde Baru yang menjadikan isu SARA ini tabu dibicarakan, sudah lama runtuh.

Seruan jangan membawa-bawa isu agama ke dalam perdebatan Pemilukada, hingga agama (dalam hal ini Islam) mendapatkan stigma negatif, sungguh bertolak belakang dengan sikap negara yang tetap mencatumkan agama yang dianut dalam setiap KTP warga negara Indonesia. Boleh jadi sekarang ini politik aliran sudah tidak dominan lagi di Indonesia, dalam arti tidak ada pelembagaan agama menjadi partai politik. Namun agama tetaplah menjadi kesadaran yang lebih kuat dalam pribadi setiap muslim. Ini tidak mengherankan. Karena Umur Islam di nusantara lebih tua dari umur Indonesia sebagai bangsa, apalagi negara. Kesadaran sebagai seorang muslim mendahului munculnya kesadaran sebagai bangsa Indonesia dan warga negara Indonesia. Jika Islam dan keislaman menjadi faktor determinan dalam menentukan pemimpin ibu kota Indonesia, tentu saja wajar. Sewajar warga negara Amerika yang mayoritas tetap memilih seorang Protestan untuk menjadi presiden dan wakil presidennya (biarlah dia berkulit hitam), namun tidak mungkin memilih seorang muslim.

Dengan demikian mudah dipahami jika Jokowi begitu menentang pemunculan isu SARA. Jokowi begitu takut kehilangan peluang menangnya dalam Pemilukada jika kesadaran Islam dan Keislaman mengalami penguatan. Apalagi Jokowi tidak bisa memastikan dirinya akan menuntaskan kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun ke depan, seperti jabatan Walikota Solo yang sudah siap ditanggalkannya. Jika Jokowi meletakkan jabatan gubernurnya kelak, karena ingin maju menjadi presiden atau wakil presiden misalnya, maka kontras Jakarta benar-benar menjadi kenyataan. Mayoritas muslim dipimpin oleh seorang Protestan keturunan Tionghoa. Sekali waktu dalam sejarah Indonesia, sikap umat Islam lebih sering tak terduga.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun