Mohon tunggu...
Macg Prastio
Macg Prastio Mohon Tunggu... Buruh - Blogger

Rakyat Konoha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia di Hadapan Hasrat

22 Mei 2024   19:45 Diperbarui: 22 Mei 2024   19:58 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasrat bukan satu-satunya cara bagaimana kita memahami dunia manusia. Tetapi dengan kita memahami apa itu hasrat, mungkin ini bisa sedikit membantu kita dalam menjalani kehidupan ini. Hasrat adalah pintu masuk, agar kita bisa melihat hidup ini sebagai apa adanya.

Menurut Jaques Lacan. Hasrat sulit untuk didefinisikan. Karena itu adalah hal abstrak dalam diri manusia. Hasrat kemudian didefinisikan dengan simbol-simbol atau bahasa. Kita menamainya dengan, kebahagiaan, kesedihan, kebencian, dan lain sebagainya(ini merupakan kata-kata, atau bahasa). Namun itu menemukan kendala bahwa, simbol atau bahasa sangat terbatas. Kita juga kemudian mengasosiasikan hasrat itu dengan fantasi di luar diri kita atau yang disebut simbol-simbol.

Hari ini kita melihat orang memaknai kehidupan dengan berbeda-beda dalam kebahagiaan. Orang mengadopsi simbol-simbol yang kita pikir itu bisa membahagiakannya. Orang berfantasi untuk menjadi orang terkenal atau sukses. Atau mungkin para kompasianer yang tulisannya ingin dibaca banyak orang. Dan pada akhirnya kita sendiri yang merasakan konsekuensi dari keinginan-keinginan kita sendiri.

Anggaplah ketika ia berhasil menjadi orang terkenal dan sukses, hasratnya akhirnya terpenuhi. Apakah kemudian ia bisa menjamin, bahwa terpenuhnya hasrat saat ini, akan selamanya seperti itu. Setelah itu semua tercapai hasratnya akan kembali pada model semula, dan mencari hal lain lagi untuk dipenuhi kembali.

Atau anggaplah ketika ia tak berhasil. Ia tak jadi memenuhi keinginannya untuk menjadi orang sukses dan terkenal. Hasratnya menjadi tertekan dan bisa-bisa menjadi depresi. Namun ketika ia mampu bangkit dari fantasi hasratnya dan melupakannya. Segera setelah itu hasratnya kembali menjadi model semula, dan mencari hal lain lagi untuk dipenuhi.

Atau keinginan kita agar tulisan kita di baca banyak orang, masuk artikel utama atau pilihan. Hal itu kemudian memacu kita untuk terus menulis. Keinginan kita menjadi tak pernah berhenti. Setelah sesaat tulisan kita menjadi artikel utama, hasrat itu kembali menjadi model semula, dan membuat tulisan lain lagi sampai masuk menjadi artikel utama.

Atau tulisannya menjadi gagal atau belum sesuai dengan keinginannya untuk menjadi artikel utama. Ia menjadi kecewa, bisa dengan tingkat yang biasa atau bahkan sangat kecewa, karena ia pikir bahwa, tulisannya menarik dan bermanfaat untuk banyak orang. Ia berpikir, orang menjadi terinspirasi dengan tulisannya dan ia bahagia.

Reaksinya bisa berhenti menulis atau melanjutkan tulisannya dengan berbagai alasan, agar ia terus produktif menulis. Misalnya, untuk memenuhi waktu luang, hanya untuk bersenang-senang, atau sebagai ekspresi dan lain sebagainya. Dan semuanya itu adalah daya upaya untuk mengontrol hasrat yang terus-menerus mendorong manusia.

Hasrat tidak mengenal siapa kita. Entah itu presiden, konglomerat sampai orang biasa. Setiap orang sudah selalu pasti bergumul dengan hasratnya. Orang biasa menilai jabatan dan kekayaan sebagai sumber kebahagiaan, dan membuat mereka susah payah mengejar itu. Sedangkan orang yang punya jabatan dan kekayaan, berpikir hidup sederhana di desa lebih tenang dan bahagia dari tekanan yang dialaminya.

Lalu mengapa kedua hal itu sulit dilepas oleh mereka. Pertama bisa karena, kesepakatan dan anggapan masa kini, bahwa harta dan jabatan adalah sumber kebahagiaan, diwariskan kepada keturunannya, mendapatkan kehormatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu kekayaan dan jabatan layak untuk dipertahankan atau dikejar.

Kedua, mereka mungkin telah paham. Jika mereka melepas kekayaan atau jabatan dan hidup sederhana. Atau berhenti mengejar kekayaan dan jabatan. Itu juga tidak menjamin kebahagiaan mereka, dan kemudian hasrat akan tumbuh dan mendorong kembali untuk terus berkeinginan lagi.

Hasrat dan konsekuensinya. Bagaimana seandainya menurut kaum materialisme, bahwa hasrat merupakan reaksi hormon-hormon di dalam tubuh manusia. Dan pada suatu ketika sains menemukan sebuah alat atau obat untuk memanipulasi hormon-hormon tersebut, agar hasrat manusia menjadi tertekan atau terpuaskan. Ini bukan seperti Narkoba yang sesaat tetapi akan berefek selamanya. Dan kita bayangkan bahwa, ini adalah hal legal untuk diterapkan.

Kita bisa bayangkan jika hal ini terjadi, maka kehidupan manusia yang ekspresif itu menjadi datar, lurus, dan kaku. Kebebasan manusia menjadi terbatas, namun ia bahagia dan tak berontak. Hasrat manusia menjadi tereduksi hanya pada kepuasan semata. Namun kita hidup aman, tenteram dan damai. Asalkan memang semua orang terpuaskan dengan manipulasi hormon-hormon itu.

Ada beberapa cara manusia menghayati hasratnya. Pertama menjalani hidup dengan mengikuti hasrat saja. Pengetahuan yang kita dapat dan kecerdasan kita, hanya untuk menjustifikasi hasrat itu. Konsekuensinya kita akan menyesali tindakan itu. Kita merasa berdosa dan bersalah, serta kerugian secara fisik(sakit dan penyakit), atau kerugian secara materi. Namun jika bukan karena, sakit dan penyakit. Kadang hasrat kita timbul dan mengulangi hal itu lagi.

Kedua, menjalani hidup dengan memanipulasi atau menyeimbangkan hasrat yang timbul. Memanipulasi artinya, kita menyadari jika hasrat adalah hal yang selalu ingin dipenuhi dengan sesuatu yang ada di luarnya. Kita bisa menciptakan konsep-konsep sebagai anti tesis dari hasrat kita. Jika kita gagal atau berhasil dalam percintaan, kita percaya bahwa, cinta tidak berhenti pada kegagalan atau keberhasilan. Dan hasrat akan tumbuh kembali, setelah percintaan itu gagal atau percintaan itu berhasil.

Menyeimbangkan artinya, kita bisa menekan atau menunda hasrat kita. Bersabar dan tidak terburu-buru untuk memenuhi hasrat kita. Karena hasrat itu buta dan tidak ada toleransi untuk diri kita. Atau jika kecerdasan atau pengetahuan kita, bisa melayani hasrat, maka kecerdasan atau pengetahuan kita juga, seharusnya bisa untuk tidak melayani hasrat.

Ketiga, menjalani hidup dengan menekan atau menidakkan hasrat. Seperti yang dilakukan orang religius atau pertapa. Kita percayakan saja pada agama, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak. Kita bisa menyangkal hasrat kita dan menekannya demi sebuah kesucian. Namun kita harus bertahan dan siap, pada gejolak yang akan ditimbulkan.

Tidak ada pilihan yang lebih baik dalam berhasrat. Kita harus pandai dalam mengolah, memanipulasi, dan menyeimbangkan hasrat itu. Yang penting kita tahu, bahwa hasrat itu selalu tergantung pada sesuatu di luar dirinya untuk terus terpenuhi. Sesuatu itu hanyalah kata-kata atau simbol.

Misalnya kata bahagia, kata bahagia itu sudah pasti akan terpaut dengan kata-kata lainya. Saya ingin bahagia dalam pernikahan, maka saya harus mencari pasangan yang cocok, untuk mendapatkan pasangan yang cocok maka saya harus punya standar tertentu, setelah menikah maka saya harus bekerja, dan seterusnya. Kita terus terjebak dalam kata-kata dan simbol, sehingga hasrat itu sendiri menjadi tak terkatakan dan tak jelas.

Hasrat mungkin sama dengan konsep dari Martin Heidegger, yaitu kecemasan. Kita tidak bisa menyangkal bahwa kita memiliki itu dalam diri kita. Hasrat dan kecemasan adalah tentang bagaimana cara manusia untuk berada di dunia ini. Hasrat dan kecemasan adalah bagian dari realitas yang terus-menerus menampakkan diri pada kita.

Mendorong kita untuk terus berkeinginan dan mengambil keputusan yang penting dalam hidup. Maka di hadapan realitas itu(hasrat dan kecemasan) kita perlu bersabar dan melihat setiap sisi hasrat dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan itu, namun tidak saling menghapus setiap sisi lainnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun