Hari ini, kita tidak melihat sesuatu bergerak pelan, kecuali embusan angin di pagi hari. Tidak ada yang peduli, semua bergerak sangat cepat. Bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat kerja, pulang, dan seterusnya. Banyak kebutuhan yang harus terpenuhi, menuntut manusia dari semua sisi. Saya makan dari apa yang kau berikan, dan engkau makan dari apa yang saya bayar. Semua terus berulang, meskipun di rumah, selalu kebingungan untuk meletakan barang, yang baru saja kita beli.
Produk dari dunia hari ini yang serba cepat adalah, koperasi harian. Pagi, siang, dan mungkin malam, mereka bergerak cepat, dari kota ke desa atau sebaliknya, bahkan antar kabupaten. Sasaran mereka adalah, para pedagang kecil, atau orang-orang yang membutuhkan uang cepat dan tidak ribet. Cukup bermodalkan KTP saja, Anda sudah bisa menggunakan uang tersebut.
Namun apa yang terjadi di lapangan tidak seperti apa yang kita harapkan. Kemanusiaan benar-benar habis dikikis, oleh ekonomi yang mengatasnamakan modernitas. Saya melihatnya, ini seperti hierarki perekonomian, pemodal besar, koperasi itu sendiri, pegawai yang bekerja, dan pedagang atau masyarakat sebagai penerima. Semuanya saling menuntut, tak mau disalahkan, atau di rugikan. Dan pertanyaan untuk direfleksikan adalah, apakah kita memang yang membutuhkannya, atau apakah kita manusia sebagai korban akibat majunya perekonomian.
Sering kita melihat, baik secara langsung atau melalui media sosial. Drama-drama antara si penagih dan si pengutang, dari yang membuat kita tertawa geli, sampai ada yang membuat kita kesal. Meskipun tidak menampik pembayaran utang-piutang juga berjalan lancar dan baik. Alangkah baiknya, kita sebagai penagih mempunyai adab yang baik dalam meminta, dan jikalau adab yang baik dapat membuat ketenteraman dan kenyamanan, maka kita sebagai pengutang cukup membayar tepat waktu.
Sejauh apa yang saya dengar dan rasakan, pegawai koperasi selalu di anggap sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Entah dari cara berpikir masyarakat yang kurang kritis, yang kebiasaan orang Indonesia suka menilai dari luarnya saja. Atau tuduhan dari makan uang, disebut sebagai koperasi selamat pagi, sampai pembalap karena kebut-kebutan di jalan raya untuk mengejar target. Memang, semua pekerjaan tidak ada yang benar-benar sempurna. Tapi yang orang tampilkan bukan ketidaksempurnaannya suatu pekerjaan, namun DNA dari Sabana Afrika yang lolos dari evolusi, hanya menampilkan ketidaksukaannya tanpa alasan yang jelas.
Satu fakta yang menyayat hati adalah, pergerakan para pegawai koperasi harian di jalan raya. Kita mengerti bahwa, mereka juga takut akan kecelakaan dan mereka tahu, apa yang mereka lakukan itu sangat berbahaya untuk keselamatan diri sendiri dan orang lain. Ini yang saya katakan di atas bahwa, kemanusiaan kita dan mereka di era sekarang, baru mulai atau sudah dikikis setengah jalan.
Atas dasar kebutuhan hidup untuk hari ini, target hari ini, dan masa depan pekerjaannya. Bukan kita tidak menginginkan sebuah kehidupan yang nyaman dan indah. Tapi dunia sekarang menuntut kita untuk bekerja lebih giat dan lebih giat lagi, demi kemanusian itu sendiri. Namun kita bisa melihat dan merasakan, bahwa itu malah jauh dari menjadi kemanusiaan, sangat paradoksal memang.
Hal ini yang membuat saya termotivasi untuk menulis. Ketika saya diperlihatkan sebuah video kecelakaan pegawai koperasi harian, dari seorang teman. Pertama, saya turut berduka cita yang mendalam kepada para korban, kedua saya mengutuk keras sistem bobrok(entah yang namanya kemajuan, ekonomi, modernitas, kapitalisme, atau globalisasi, dan istilah-istilah elite lainya) yang secara tidak langsung menuntut seseorang, sehingga sampai kehilangan nyawanya. Jika bukan karena sistem bobrok ini, siapa yang mau rela ngebut mengorbankan nyawanya dan orang lain, demi sebuah kertas rupiah, yang belum tentu bisa membiayai kuburan atau cacatnya mereka. Mereka sudah kehilangan jati dirinya, ditambah membusuknya tubuh mereka di liang Lahat, miris memang.
Saya kurang memahami tentang koperasi harian ini. Apakah sudah di atur dalam undang-undang atau belum, namun orang-orang sering menyebutnya sebagai koperasi berkedok rentenir. Jika benar, maka sangat menyayat hati. Bagaimana tidak menyayat hati, sebagaimana tidak di atur dalam undang-undang, atau berada di bawah naungan koperasi, pekerjaannya sangat berisiko. Itu jika dilihat dari segi hukum, tapi bagaimana dengan keselamatan kerja mereka, entah itu kecelakaan kerja atau sakit. Siapakah yang akan memperhatikan atau menolong mereka dikala sakit, atau cacat karena kecelakaan. Dan para pemodal besar, terus berkampanye "dengan kredit Anda akan menjadi kaya." Sampai ke ujung negeri.
Sekarang, tidak ada yang menyelamatkan kita, atau para pegawai koperasi harian. Semua terus dipaksa dan dieksploitasi oleh sistem berkedok menyejahterakan umat manusia. Siapa yang sudah puas, di garasi penuh mobil bermerek, rumah penuh perabotan, kulkas penuh makanan, dan lemari penuh pakaian sesuai acara.
Entah ini konspirasi atau bukan, kehidupan kita sekarang disetir oleh modernitas. Tak perlu jauh-jauh sampai ke konspirasi elite global. Namun nyata dan secara terang-terangan, modernitas memberitahu kita. Melalui buruh yang diperas siang dan malam, dan hanya ketahuan tidur satu sampai dua menit, langsung dipecat. Melalui kita yang terus-menerus mencari dan mengeluarkan uang, hanya untuk membeli kuota agar bisa menggeser beranda TikTok, atau yang paling menyayat, hilangnya nyawa seorang pegawai koperasi akibat kecelakaan di sebuah jalanan sunyi dan tidak ada yang melihat, kecuali burung kecil yang berkicau dan embusan angin pelan di pagi hari. Jika kita sadar akan kebutuhan, kita juga harus lebih sadar kepada, siapa diri kita, posisi di mana kita berada, dan mana yang sesuai dengan prioritas kehidupan manusia, secara esensial.