Tentang Hujan
Hujan turun membasuh bumi di rakaat terakhir shalat ashar di masjid Nurul Ikhlas. Deras. Bagus dan Gigih terjebak tak bisa pulang. Ada payung, tapi itu milik jamaah yang lain. Serambi masjid ini luas, aman dari tampias hujan. Sembari menunggu reda, mereka duduk-duduk di serambi. Bersandar pada dinding dan menyelonjorkan kaki, itu posisi paling santai.
“Coba ceritakan tentang hujan,” Bagus angkat bicara. Tiba-tiba saja ia dapat ide pembicaraan sok puitis itu. Kata orang itu disebut ilham, bahasa lainnya inspirasi. Biasa dimiliki oleh seniman dan sastrawan.
Gigih merenung sejenak sebelum berfilosofi. “Hujan. Orang banyak yang mengeluhkan hujan, padahal hujan adalah rahmat. Sekian.”
Sebuah mobil berwarna biru terparkir di luar pagar. Milik siapakah itu tidak penting karena tidak ada yang merasa terganggu dengan keberadaannya di situ. Tapi kalau boleh menebak, pastilah milik salah seorang jamaah bapak-bapak yang masih berdiam di dalam masjid. Eh, bukan berdiam, tapi bercengkerama sesama bapak-bapak yang terjebak hujan. Milyaran butiran air dari langit membasahi apa saja. Wusss… angin dingin bertiup menyapu kedua mahasiswa itu.
“Mobil itu sebenarnya warnanya bukan biru,” ujar Bagus.
"Eh?" Gigih mengernyitkan dahi. Menunggu penjelasan dari pernyataan rekannya yang ada-ada saja itu.
“Iya. Mobilnya menggigil kedinginan sampai membiru.”
Tertawa.
Seorang ibu tua mengembangkan payung, masih mengenakan mukena. Bersiap menembus hujan yang justru makin ganas. “Putri tua di bawah hujan,” kelakar mereka.
Tampias hujan hanya sampai pada tepi-tepi teras. Membuat bintik-bintik air di lantai.
“Cerpen-cerpen itu banyak terinspirasi dari perasaan, bukan?” Gigih berpendapat.
“Banyak yang diangkat dari realitas sosial,” Bagus menimpali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H