Barusan diberitakan Timnas Vietnam yg dipersiapkan untuk Piala Dunia 2018 Russia, berhasil menahan imbang Korut. Dalam pra kualifiasi Vietnam bakalan satu group dengan Indonesia bersama Thailand, Irak, China dan Taipie. Sementara sepakbola kita tengah dibawa memasuki lorong gelap, penuh ketidak pastian. Konflik dan perseteruan yang tidak masuk akal oleh para elit elit yang merasa hebat, yang doyan slogan revolusi, yang tiba tiba rajin ngaji statuta. Padahal boleh jadi sejatinya mereka hanya meraba-raba dalam gelap. Yang sekedar piawai mengeksploitasi kekecewaan public menjadi slogan dan propaganda. Mereka pikir sedang menyelamatkan, padahal sejatinya sedang menghancurkan. Indonesia akan sulit bersaing dengan negara negara tetangga kita, mereka terus membangun sepakbolanya sedang kita tak henti, tak lelah-lelahnya membangun konflik dan permusuhan.
Selama ini sejatinya pemerintah melalui Kemenpora belum mampu berbuat banyak bagi sepakbola. Lihat saja anggraan infrastruktur yg dikelola pak Gatot itu hanya Rp. 60 milyar, itupun untuk semua cabor. Ini menunjukan tidak adanya visi, bukankah ada kesempatan berjuang untuk anggaran yang lebih besar waktu mengajukan APBN Perubahan. Dengan anggaran Rp. 60 milyar bisa apa, satu cabor cuman kebagian ratusan juta aja.
Padahal kendala utama mengapa sepakbola kita nggak bisa maju maju adalah karena buruknya infrastruktur. Talenta diakui luar biasa, penonton mulai memadati stadion stadion, AGB nan kece kece dengan segala gaya mulai memenuhi stadion, Sponsor mulai melirik event sepakbola. Kompetisi barusan bisa disatukan dan dibikin teratur, klub mulai punya tim kelompok umur, sekolah sepakbola mulai menjamur, pemda pemda mulai berani bangun stadion karena sekapbola mulai ramai supporter. Klub klub mulai sustainable, PSSI  mulai mandiri secara financial, PT. LI mulai membukukan keuntungan
Mafia bola merupakan jaringan internasional, bandarnya bisa dari di Malaysia, Singapore, Hongkong, Macao dan China. Memeranginya adalah kewajiban dan kerja bareng semua komponen pemangku kepentingan sepakbola. Menangkal mafia juga ada kaitan langsung dengan kesejahteraan pemain, pelatih, wasit dan perangkat pertandingan.
Kalo kompetisinya nggak laku dijual ke sponsor karena mudah terancam berhenti maka klub klub dan asosiasi induknya hanya akan bisa bayar murah para pemain, perangkat pertandingan dan pengurus. Maka kutukan lingkaran setan akan berlaku, telor duluan ato ayam duluan.
Lalu kenapa kita begitu gampang menempatkan Ormas sebesar PSSI begitu mudah terancam goyah, begitu mudah terancam nggak stabil, begitu mudah terancam beku. Kalo seperti itu terus, bagaimana mungkin commercial right sepakbola bisa dijual dan punya nilai tinggi, segingga klub klub dan asosiasi bisa membiayai dirinya sendiri dan membayar pemain dengan mahal.
Dimensi Konflik Selalu Serba Rumit
Langkah Kemenpora
SK Pembekuan pengurus PSSI tetap tidak akan dicabut, lalu FIFA menjatuhkan sanksi seberapa lamanya akan tergantung seberapa lama sepakbola bisa disatukan kembali. Tim Transisi berjalan dengan agendanya. Langkah awal bikin Turnamen Kemerdekaan yang akan menjadi embrio lahirnya Liga Tandingan. Hal ini perlu untuk memecah belah anggota PSSI, mulai dari klub klub di semua strata dan Asprov Asprov.  Semua unsur pemangku kepentingan sepakbola di negeri ini akan terbelah. Hal ini harus dilakukan untuk memungkinkan mengadakan KLB mengganti pengurus PSSI. Kalo ini gagal maka bisa saja akan dibentuk Federasi Tandingan, PSSI Tandingan.
Sikap PSSI
Sikap PSSI, PT. LI tetap akan bergerilya memutar turnamen turnamen dibawah kendali PSSI sebagai anggota FIFA, walau dalam status di-suspend. Anggota PSSI yang ikut kompetisi versi Tim Transisi sesuai statuta akan disanksi, dibekukan keanggotaannya (klub, asosiasi, pemain, pelatih, official dan individu). PSSI dan para anggotanya akan bergerilya dengan melakukan perlawanan hukum atas keputusan Kemenpora yang dianggap merugikan.
Kerumitan Yang Muskil Solusi
Apakah Kemenpora akan mudah begitu saja bisa menguasai atau mengubur PSSI atau mengubur pengurus yang sekarang. Tidak akan semudah dan sesederhana yang kita bayangkan.  Siapapun yang akhirnya menjadi pemenang akan melewati pertempuran yang panjang dan melelahkan melalui  medan pertempuran di ranah hukum, kekuatan financial (pemodal), politik dan sosial.
Perlawanan di ranah Hukum. Setiap konflik ormas apalagi sebsar PSSI, pada akhirnya akan melahirkan sengketa hukum. Setiap keputusan dan kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan PSSI sebagai badan hukum akan dilawan secara hukum. Begitu juga sebaliknya. Baik melalui peradilan Umum maupun Arbitrase Olah Raga. Objek sengketa bisa macam macam mulai dari soal hak ormas untuk dapat pelayanan dari negara, soal ijin keramaian, soal syah tidaknya SK Pembekuan, sengketa dualisme kepengurusan yang mungkin terjadi di tingkat Asprov, sengketa dalam kaitannya dengan pengakuan oleh KONI jika ada PSSI Tandingan dan banyak lagi. Kedua belah pihak enggak akan memperhitungkan kalah atau menang. Kalo kalah akan saling banding sampai ke kasasi kalau perlu.
Faktor Pemodal. Faktor ini akan sangat menentukan daya tahan masing masing pihak, siapa yang lunglai duluan dia akan menjadi pecundang.
Medan Politik. Harus diakui sepakbola masih terlalu seksi sebagai panggung pencitraan bagi aktor politik. Dalam setiap konflik ormas besar apalagi sebesar PSSI selalu mengundang syawat politik dari berbagai kelompok kepentingan.
Medan Sosial. Opini publik yang terbelah akan terus terombang-ambing diatas realitas nasib sepakbola dan propaganda dari pihak pihak yang berseteru. Eksploitasi atas kekecewaan publik yang terbelah akan semakin tinggi intensitasnya dalam banyak bentuk.
Nilai Komesial Sepakbola. Dalam keadaan seperi itu kompetisi versi manapun akan menjadi bernilai rendah. Extrimnya, biarpun sudah diobral tapi nggak ada yang mau beli. Yang mau membeli adalah pihak yang kuat modal tapi pada saat berasamaan punya political interest yang bukan sepakbola semata. Sponsor yang rasional dan murni bisnis enggak akan mau masuk ke pusaran konflik seperti ini. Bagaimana mungkin citra korporasi atau products akan dikorbankan dengan mensponsori event dan media yang dikelola oleh institusi yang citranya sedang buruk. Akhirnya sepakbola kembali akan tergadai ke pemodal yang pada saat yang sama punya kepentingan diluar sepakbola.
Babagaimana dengan FIFA.Memang Sekjen PSSI pernah menyatakan apabila pada akhirnya Indonesia disanksi, FIFA akan mengirim delegasi untuk mencoba melakukan mediasi dan mencari solusi yang mungkin untuk menyatukan sepakbola Indonesia. Tapi menurut pandangan penulis, itu masih akan sangat tergantung kepada niat kuat dari kedua pihak untuk memperbaiki keadaan.
Pertama, FIFA akan menempatkan dirinya di samping Pengurus PSSI hasil Kongres Surabaya berhadapan dengan pemerintah. Rasanya FIFA tidak akan bolak balik ke Indonesia jika tidak ada indikasi yang kuat adanya spirit dari para pemangku kepentingan sepakbola di Indonesia untuk memperbaiki keadaan.
Kedua, solusi apapun yang mungkin bisa disepakati, syaratnya Kepengurusan harus dikembalikan ke Hasil Kongres Surabaya dulu. Artinya kendali PSSI tetap berada ditangan Ketua Umum yang sekarang.
Ketiga, bagaimana kalo ternyata sikap anggota PSSI ternyata tetap  solid pada posisinya seperti saat ini. Dalam hal terjadi dualisme, terus bagaimana menyatukannya kembali, pasti akan ada yang harus dikorbankan demi konflik yang nggak masuk akal ini.
Masih banyak faktor yang bisa menjadi alasan untuk tidak mencapai kesepkatan. Kisruh jilid II ini akan memakan waktu yang jauh lebih panjang ketimbang kisruh Jilid I dulu. Lalu bagaimana nasib sepakbola, nasib sepakbola kita akan terombang-ambing di atas opini publik yang terbelah. No body knows.
Salam Olah Raga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H