[caption id="attachment_288641" align="alignnone" width="547" caption="rating YKS. dok Rating Program Televisi Indonesia (RPTI)"][/caption]
Aneh tapi nyata, mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan fenomena YKS yang sedang booming saat ini. Tayangan yang awalnya bernama “Yuk Kita Sahur” untuk mengisi program ramadhan di Trans TV kini berubah nama menjadi “Yuk Keep Smile”. Berlanjutnya program YKS dari “Yuk Kita Sahur” menjadi “Yuk Keep Smile” tentu tidak lepas dari kesuksesan program YKS yang mampu merajai rating dan share acara ramadhan. Padahal jika dibandingkan program ramadhan lainnya, YKS adalah program baru yang lebih menonjolkan “Goyang Cesar” sebagai unggulannya.
Mengapa aneh?
Ya, karena “banyak” yang menilai bahwa program YKS tidak mendidik dan dapat merusak moral. Selain itu program YKS juga pernah berkali-kali mendapat teguran KPI karena dinilai melanggar norma kesopanan dan membuat lawakan yang menyerang fisik dan kehormatan seseorang.
Anehnya, justru setelah mendapat teguran berkali-kali dari KPI, bukannya tenggelam dan mati karena ditinggal sponsor (iklan) dan penontonnya, justru YKS semakin berkibar dan menempati rating dan share yang semakin tinggi. Tentu menjadi pertanyaan besar, apakah acara-acara yang mendapat teguran KPI justru lebih disukai penonton TV di Indonesia?
Kasus teguran KPI pada tayangan YKS ini mengingatkan saya pada progam “Empat Mata” yang akhirnya harus berganti nama menjadi “Bukan Empat Mata”. Eh…anehnya bukannya mati dan tenggelam, ternyata tayangan “Bukan Empat Mata” mampu bertahan hingga sekarang dengan rating dan share yang tetap "lumayan" meskipun pernah “dibunuh” oleh KPI. Benar-benar aneh, padahal tidak ada yang berbeda antara Empat Mata dan Bukan Empat Mata. Dan menjadi semakin aneh lagi karena penonton yang hadir langsung di acara Bukan Empat Mata yang katanya tidak mendidik adalah para mahasiswa dan perwakilan dari profesi dan masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Hmmmm benar-benar negeri yang aneh.
Selain itu, hujatan dan kritik terhadap tayangan YKS juga mengingatkan saya pada “kasus settingan” Adjie Pangestu vs Bella Sophie dan Daus Mini vs Istrinya yang bertujuan menaikkan popularitas. Bahkan baru-baru ini kita juga disuguhi tontonan "tipu-tipu" Hitam Putih antara Dedi Corbuzier dan Farhat Abbas. Tujuannya jelas, menaikkan rating. Sekarang adalah jamannya jaman “edan”, segala sesuatu bisa diseting dan direkayasa untuk tujuan popularitas dan rating. Apalagi di industri televisi yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya, yang namanya popularitas dan rating adalah nyawa. Hidup dan matinya sebuah program sangat tergantung pada popularitas yang dapat diukur dengan menggunakan rating dan share. Dan sponsor (pemasang iklan) sebagai "nafas" sebuah program TV pedomannya adalah rating dan share. Jadi mau dihujat dan dicaci maki sekeras apapaun selama rating dan sharenya tinggi maka program tersebut tetap akan dipertahankan. Dan ingat, rating dan share tersebut semuanya ditentukan oleh pemirsa TV yang bernama manusia. Bukan ditentukan oleh hantu atau alien.
Dan untuk kasus YKS, semakin dihujat dan dicaci maki ternyata rating dan sharenya semakin menjulang. Dan efeknya, hadiah yang dibagikan juga semakin besar dan penerimanya semakin banyak. Bisa jadi untuk saat ini YKS adalah satu-satunya program TV yang mampu memberikan hadiah dalam jumlah besar kepada penggemarnya. YKS adalah contoh simbiosis mutualisme, rating dan share semakin tinggi, iklan semakin banyak, slot iklan semakin mahal, pemasukan YKS semakin besar dan hadiah yang dibagikan untuk penggemarnya juga semakin besar. Selain itu, YKS semakin kokoh menjadi program nomor satu di Indonesia bisa jadi karena artis-artisnya rajin bersedekah dengan membagi-bagi uangnya kepada pecinta YKS dan banyak game yang memberikan hadiah besar. Kolaborasi yang saling menguntungkan antara artis, crew dan penggemar YKS membuat YKS selalu jadi "raja rating" di Indonesia.
Sepertinya KPI harus bekerja lebih keras lagi, agar tayangan-tayangan yang ditegurnya justru tidak lagi dicintai oleh masyarakat pemirsa TV Indonesia. KPI harus bekerja keras agar stasiun TV yang ditegurnya benar-benar mau mematuhi aturan yang dibuatnya. Jika kerja KPI tidak berubah, tentu stasiun TV tidak pernah jera dan jangan-jangan mereka justru berharap agar mendapat teguran dari KPI. Karena fakta membuktikan, untuk kasus YKS tayangan yang mendapat teguran dari KPI justru rating dan sharenya semakin menjulang dan makin dicintai dan ditonton banyak orang. Tanya kenapa?
Dan bagi anda yang menginginkan tayangan TV yang sehat dan mendidik, lebih baik pindah ke saluran TV berbayar atau cari cara lain. Atau jika anda tidak suka terhadap tayangan tertentu maka cukup matikan TV anda. Mudah dan simpel kan!
Oya, sekedar info tambahan di tahun politik 2014 ini, KPI justru sedang memfokuskan segala energinya pada beberapa stasiun TV yang dimiliki oleh para politisi (ada 5 stasiun TV yang sedang dibidik KPI karena tayangan politiknya). Jadi informasi-informasi politik yang "memihak" pada pemiliknya ternyata lebih disorot oleh KPI dan masyarakat dibandingkan acara hiburan seperti YKS, OVJ dan Bukan empat Mata. Makanya jangan kaget ya kalo akhir-akhir ini, TV akan lebih sering menayangkan "kemarahan" Surya Paloh (SP), Harry Tanoe (HT) dan Aburizal Bakrie (Ical) terhadap KPI yang berani-beraninya menegur "Raja Media".
Kalo sudah begini, salam miris dan meringiss aja deh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H