Saya merasa kecewa waktu Andika berkata begitu. Betapa tidak! Dia datang, bukan untuk bersilaturahmi, tapi karena modus!
Selama ini, saya sudah salah menilai orang yang satu ini. Setelah bertahun-tahun, saya keliru mempersepsikan orang ini. Berkawan dengan manusia ini, namun ternyata selama ini saya ‘dikadali’.
Di awal mengenal Andika (sebut saja begitu), saya merasa salut dengan dia. Dia bisa mandiri, jauh dari keluarga di kampung.
Ikut paman sejak esde sampai lulus. Waktu SMP, terpaksa bekerja serabutan, meskipun tetap tinggal dengan pamannya.
“Om tak bisa membiayai sekolahmu lagi, Di.” Begitulah alasan pamannya.
Andika pun tak mempermasalahkan. “Asal tetap diperbolehkan tinggal disini, tidak apa, Om.”
Pamannya memang tidak keberatan Andika tetap tinggal. Andika bisa bantu-bantu di rumah, mengurus sepupu-sepupu yang masih kecil-kecil.
“Kamu coba cari kerja, Di. Jadi uangnya bisa kamu pakai untuk sekolah,” saran Pamannya.
Di situlah, Andi mulai bekerja sambil sekolah.
Loper koran; jualan singkong goreng, martabak dan lain sebagainya. Asal dapat uang buat hidup.
Memasuki jenjang SMA, Andika masuk SMK. “Supaya setelah selesai, dapat keahlian dan dapat langsung bekerja.”