Pagi sudah mulai beranjak pergi, tapi siang belum ingin menghampiri. Solo mulai menari, gilat kota sudah terasa sedari tadi. Jalanan padat disesaki kendaraan, berlomba, beradu cepat, mengejar materi, memburu waktu karena waktu enggan berkompromi. Aku dan kawanku, Tante Dian, menembus kota dengan sepeda, berharap ada kearifan di jalanan yang sesak dan menyesakkan.
Balaikota Solo tujuan kami. Bagiku ini adalah kali kedua ke balaikota dengan mengayuh sepeda. Tak terlalu jauh memang dengan tempat tinggalku di pinggiran Solo, mungkin sekitar 8-9 kilometer. Sengaja kami (aku dan Tante Dian) bersepeda ke balaikota karena memang kami datang ke balaikota untuk mengurusi pelantikan pengurus Bike To Work (B2W) Solo yang paling tidak bisa menjadi awal kampanye bersepeda di Kota Bengawan.
Seperti biasa, tak jauh dari gerbang Balaikota Solo, Satpol PP yang berjaga mengadang kami. Ini wajar karena standar pengamanannya memang seperti itu. Petugas itu akan mencatat nomor kendaraan yang masuk kompleks balaikota. Tapi kami bersepeda, apa yang akan mereka catat? Tak ada nomor polisi (Nopol), pajak sepeda atau plombir juga sudah tidak zamannya lagi. Ternyata kali ini kami diberi dua lembar karcis untuk satu sepeda. Satu ditempel di sepeda, satu dibawa pemiliknya. Ini sedikit lebih baik dari kedatangan kami sebelumnya karena saat tiba di pos penjagaan, Satpol PP bingung mau ngasih karcis apa. Akhirnya kami dibiarkan masuk tanpa karcis dan itu artinya kalau terjadi apa-apa seperti pencurian sepeda, itu bukan tanggung jawab mereka.
Di belakang pos penjagaan itu sudah berjajar belasan sepeda lain. Tanpa ragu kami memarkirkan sepeda kami di sela-sela sepeda lainnya. Lokasi itu memang jadi parkir sepeda. Tapi lebih tepatnya jalan yang dipaksakan jadi parkir sepeda karena lokasinya memakan sebagian badan jalan yang mengarah ke dalam kompleks balaikota.
Bagiku potret semacam ini kian menunjukkan sepeda adalah alat transportasi yang “terpinggirkan” di negeri ini. Di negeri yang sedang gandrung dengan modernitas dan kapitalisasi, sepeda sering dilekatkan dengan status sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan bermotor. Alat transportasi yang “terpinggirkan” itu akhirnya diletakkan di pinggiran dengan lokasi parkir ala kadarnya.
Ruang-ruang pelayanan publik dan ruang publik lainnya di Solo dan kota-kota lainnya memang bisa dibilang belum “ramah” terhadap pesepeda. Di mal, perkantoran, kantor-kantor instansi pemerintah, perbankan, pusat perbelanjaan, parkir khusus sepeda memang masih jarang ditemui dan akhirnya nasib pesepeda semakin terasing dan tersisih. Tapi semangat bersepeda tak perlu luntur dengan masih minimnya sarana dan prasarana untuk pesepeda. Itu harusnya yang melecut semangat agar ruang-ruang publik dan tempat pelayanan publik bisa semakin “ramah” terhadap pesepeda.
Setelah satu jam lebih berbagai urusan dengan bagian perlengkapan, ajudan, protokoler Pemkot Solo tuntas, kami bergegas meninggalkan balaikota. Parkiran sepeda di ujung kompleks balaikota masih dipenuhi sepeda. Mimpi tentang parkir khusus sepeda terus membuncah. Dan impian itu akan menjadi nyata beberapa hari ke depan saat rak parkir sepeda dari B2W Solo diserahkan ke Pemkot Solo. Di mulai dari Balaikota Solo impian parkir sepeda itu semoga akan menyebar ke ruang-ruang publik lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H