Mohon tunggu...
Danang Nur Ihsan
Danang Nur Ihsan Mohon Tunggu... -

Aku hanyalah jurnalis kecil di sebuah media kecil dan berbicara tentang hal-hal yang kecil dan dekat dengan orang-orang kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sepeda Lipat Kena Bea Bagasi KA?

30 Oktober 2011   03:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu (29/10) pagi, Stasiun Purwosari Solo masih lengang. Jam di tangan baru menunjukkan pukul 05.27 WIB. Masih ada waktu beberapa menit sebelum KA Prambanan Ekspress (Prameks) pertama meluncur.

Ada perasaan sedikit waswas ketika menuju loket pembelian tiket setelah beberapa pekan lalu harus beradu argumen dengan petugas bagian tiket karena saya membawa sepeda lipat (Seli). Seli yang tentunya sudah saya lipat-lipat, saya angkut dan saya letakkan tak jauh dari bagian tiket. Helm sepeda tetap saya kenakan.

Tanpa ada respons yang aneh-aneh, pagi itu petugas tiket langsung memberi tiket KA Prameks yang bakal melaju pukul 05.42 WIB dari Purwosari menuju Jogja. Perlakuan ini berbeda dengan petugas tiket yang saya temui beberapa pekan lalu. Kala itu, saya sempat ditanya apakah saya membawa Seli dan dia sempat menolak memberikan tiket karena saya membawa Seli. Argumen saya hanya klasula baku yang tercantum dalam tiket KA Prameks yaitu ”Penumpang membawa barang bawaan lebih dari 20 kg atau barang ringan makan tempat (RMT) dikenakan bea bagasi sesuai aturan yang berlaku.”

Saya sempat ”ceramah” kalau Seli beratnya tak lebih dari 10 kg dan ukurannya seukuran dengan koper besar yang selama ini tak pernah kena bea bagasi. Ketika itu, petugas tiket pun akhirnya meloloskan saya dan memperbolehkan saya menaiki KA Prameks.

Pagi itu, perasaan waswas yang sempat berkecamuk seketika sirna ketika petugas KA langsung meloloskan saya tanpa perlu debat dan adu argumen. Tak berapa lama berselang, KA Prameks pun tiba dan di gerbong kedua saya mendapat tempat duduk. Seperti biasa, Seli punya ”pos” sendiri yaitu di dekat pintu masuk kereta.

Kereta melaju dan ketika KA melintas Stasiun Gawok, kondektur yang selalu didampingi satpam berkeliling menarik tiket. Tiket disodorkan dan diberi tanda lubang, seperti biasanya. Kebetulan saat itu satpam yang mengecek tiket saya. Tiba-tiba saja, kondektur perempuan mengamati dengan seksama Seli yang nangkring di pojokan pintu kereta. Dia tengak-tengok sepertinya mencari empunya sepeda itu. Dari helm yang masih saya kenakan, kondektur itu bisa mengidentifikasi bahwa sayalah empunya Seli warna kuning itu.

Sang kondektur pun mengecek tiket saya dan karena tidak ada kejanggalan, dia pun menyatakan Seli kena bea bagasi sebesar dua kali harga tiket. Saya pun kaget dengan pernyataan itu. Dua kali harga tiket Prameks artinya Rp 20.000. Mesin otomatis dalam otak langsung berpikir, artinya kalau saya naik Prameks maka harus mengeluarkan Rp 30.000 (tiket Rp 10.000 plus bea bagasi Rp 20.000).

Saya tidak langsung mengiyakan apa yang dikatakan sang kondektur itu, namun saya mempertanyakan aturan Seli kena bea bagasi karena dalam klasula baku yang dibuat PT KA, hanya barang 20 kg dan barang RMT yang kena bea bagasi. Kondektur itu pun mengatakan adanya aturan baru yang berlaku mulai 1 Oktober 2011 yaitu Seli kena bea bagasi sebesar dua kali harga tiket.

Saya pun bertanya kepada kondektur, ”Boleh saya lihat surat edaran itu,” tanya saya. Kondektur pun mengatakan tidak membawa dan mengatakan seharusnya saat saya membeli tiket, saya melapor kalau saya membawa Seli. Secara naluri saya bertanya lagi, ”Aturannya sudah disosialisasikan belum? Di tempel di bagian loket-loket? Saya tidak ditanyakan saya bawa Seli atau tidak padahal saya masuk stasiun dan tentunya membawa Seli lewat depat loket yang ada penjaganya. Mereka diam saja,” kata saya.

Sang kondektur tetap ”berceramah” bahwa saya salah karena tidak melapor ke bagian tiket dan seharusnya saya kena bea bagasi. Bukan saya menolak aturan itu tapi aturan baru itu belum tersosialisasi (buktinya di beberapa stasiun aturan Seli kena bea bagasi tak dipasang) dan yang lebih penting aturan itu bertentangan dengan klasula baku yang tercantum di bagian belakang lembaran tiket. Hal itulah yang membuat saya tetap bersikukuh, Seli tak kena bea bagasi. Setelah berdebat agak lama, kondektur pun mengingatkan ke depannya saya harus bayar bea bagasi dan dia pun berlalu.

Entah atas dasar apa aturan itu diberlakukan. Kalau adanya Seli membuat tidak nyaman penumpang lain, apakah sudah ada penelitian soal itu? Kalau Seli makan tempat, bagaimana dengan barang bawaan lain yang ukurannya sebesar Seli? Kalau pun aturan itu diberlakukan seharusnya klasula baku yang tercantum dalam tiket juga harus diubah. Bagi saya, aturan ini adalah bentuk kemunduran PT KA. PT KA tidak lagi mendukung mobilitas warga yang sehat dan aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun