Mohon tunggu...
Danang Nur Ihsan
Danang Nur Ihsan Mohon Tunggu... -

Aku hanyalah jurnalis kecil di sebuah media kecil dan berbicara tentang hal-hal yang kecil dan dekat dengan orang-orang kecil

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Embung Tambakboyo & Harmonisasi Kehidupan

18 April 2011   04:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerimis pagi mulai berganti dengan semburat cahaya matahari. Genangan air sisa hujan semalam masih membekas di jalanan. Kabut tipis disapu asap knalpot. Jogja mulai menggeliat. Aktivitas pagi selalu sama, anak-anak berangkat sekolah, Polantas di perempatan jalan, pedagang burjo menahan kantuk, pekerja diburu waktu dan mahasiswi malu-malu pulang kos pagi hari.

Aku segera berlalu dan terus melaju. Sedikit melupakan cipratan genangan air, mengacuhkan motor yang saling serobot, aku memburu keindahan pagi yang sedikit terlambat dengan sepeda. Ada kawanku yang sudah menunggu. Embung Tambakboyo di ujung Jogja tujuan kami.

Tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk menuju embung yang terletak di tiga desa (Condongcatur, Maguwoharjo, Wedomartani) ini. Jarak yang tidak terlalu jauh dan datar-datar saja, membuat trek bersepeda menuju embung ini cukup ringan. Mungkin yang agak menyebalkan hanya kepadatan lalu lintas di seputaran perempatan UPN Condongcatur hingga kampus UII Ekonomi. Seperti biasa, kampus adalah magnet ekonomi, mulai dari usaha Warnet, warung makan, kos-kosan hingga loundryan.

Menuju utara, meninggalkan wilayah kampus, menyusuri gang-gang kecil yang tersaji di kanan-kiri adalah rumah-rumah mewah meriah yang berpadu dengan rumah sederhana sarat makna. Wilayah itu seakan menjadi potret kecil pergumulan kekinian dan masa lalu Jogja. Seakan ada jurang mengangga antara rumah mewah dan rumah sederhana itu tapi semuanya tetap bertahan dan hidup berdampingan, berhimpitan (semoga mereka rukun-rukun saja).

Di balik permukiman itu, Embung Tambakboyo berada. Embung yang menjadi tumpuan petani untuk mengairi sawah seluas 7,8 hektare. Kerlip cahaya matahari yang memantul di air menyambut kami setelah melewati turunan tajam berpaving block. Layaknya sebuah ikat pinggang, jogging track dari paving block mengelilingi embung itu. Jogging track yang lumayan lebar membuat warga tidak perlu menggerutu berebut jalan.

Embung Tambakboyo menyajikan udara pagi yang minim polusi, terpaan cahaya matahari, hijau dedaunan yang asri. Kalau sedang beruntung, dari embung ini, Gunung Merapi di sisi utara terlihat seksi. Di tempat itu, kamu boleh bersepeda, jalan-jalan, nongkrong, camping, mancing hingga pacaran. Itu semua tidak diharamkan (asalkan sesuai aturan hehehe).

Embung yang baru dibangun beberapa tahun silam ini memang telah menjelma menjadi lokasi rekreasi yang murah meriah. Embung itu bisa menjadi tempat pelarian untuk sejenak lari dari kehidupan, menjadi tempat mengeluarkan keringat dengan olahraga, menjadi tempat memadu kasih anak muda yang sedang dimabuk asmara. Paling tidak, Embung Tambakboyo bisa menawarkan harmonisasi kehidupan karena hidup tak melulu soal pekerjaan, kesuksesan dan segala urusan yang menyebalkan. Kadang suatu saat perlu kabur dari segala rutinitas itu dan mungkin Embung Tambakboyo bisa membantu.

13031017391153086918
13031017391153086918

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun