Mohon tunggu...
Danang Nur Ihsan
Danang Nur Ihsan Mohon Tunggu... -

Aku hanyalah jurnalis kecil di sebuah media kecil dan berbicara tentang hal-hal yang kecil dan dekat dengan orang-orang kecil

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pesepeda Bukan Makhluk Luar Angkasa

15 Agustus 2010   15:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah riuh rendah keramaian jalanan kota, aku menembus kemacetan dengan sepeda. Semua ingin berkuasa. Semua merasa paling punya hak atas sebuah ruang terbatas yang bernama jalan.

Kebetulan malam ini malam Minggu. Layaknya sebuah toko, malam Minggu akan buka lebih awal dan tutup lebih larut. Semua umat manusia kota berbondong-bondong menyambut malam panjang ini. Malam yang seakan menjadi magnet bagi umat manusia kota dengan menciptakan rasa bahagia dengan cara sendiri-sendiri. Semua turun ke jalanan. Semua menciptakan kemacetan. Apakah masih ada rasa bahagia dalam sebuah kemacetan?

Dituntun lampu di setang sepeda yang nyalanya kedip-kedip (biar irit baterai) aku menembus kemacetan malam Minggu di jalan protokol Solo. Malam ini, pengalaman keduaku bersepeda di malam hari (night ride/NR). Toko buku di pusat kota tujuanku. Malam ini aku berharap buku Pak Beye dan Istananya ada dalam genggaman. Apakah Anda sudah membaca buku itu?

Dari pinggiran kota, seharusnya aku bisa mencapai pusat kota tidak lebih dari 20 menit. Namun, ini adalah malam Minggu. Malam di mana jalanan layaknya catwalk umat manusia kota. Hanya kemacetan dan kemacetan yang dijumpai di setiap ruas jalan. Apakah riasan wajah bisa luntur gara-gara kemacetan?

Di bawah temaram lampu kota, aku menyatu dengan jalanan dan kemacetan. Beradu sepeda motor yang ditumpangi sepasang anak muda yang memadu kasih. Bersaing dengan mobil yang merasa menjadi penguasa jalan. Dongkol dengan bus kota yang selalu mengeluarkan asap tebal dari knalpotnya. Berpadu dengan becak yang berjalan tertatih-tatih. Apakah Anda percaya sepeda menjadi solusi kemacetan kota?

Lampu traffic light menyala merah. Aku berhenti di sebelah sepasang muda-mudi dengan sepeda motornya. Seperti refleks, dua anak manusia yang sedang dimabuk asmara itu menengok ke arah ku. Sekian detik, mereka berdua memandangku. Tak bisa kupahami apa makna pandangan mereka itu. Yang aku tahu, beberapa detik kemudian sang gadis yang membonceng sang jejaka itu merapatkan pelukannya (bikin iri saja).

“Tulit...tulit...tulit...” tanda palang pintu kereta api segera ditutup. Kakiku yang mulai panas diberi waktu sekian menit untuk rehat, memberikan kesempatan “ular besi” melintas. Ada keluarga kecil dengan menumpang sepeda motor berhenti di sebelahku. Bapak dan ibu di motor itu seakan tidak sabar agar palang kereta segera terbuka. Anak mereka yang masih kecil menengok ke arahku. Sepertinya bocah itu tertarik dengan kelip-kelip lampu depanku. Kelip lampu yang nyalanya konstan dengan warna putih berpendar. Apakah Anda ingat hal-hal yang menarik perhatian pada masa kecil?

Gedung toko buku tujuanku tinggal beberapa menit ada dalam jangkauan. Pusat kota semakin macet saja. Di depan pusat perbelanjaan, mobil-mobil diparkir memenuhi setengah jalan. Perjalanan bersepeda semakin tersendat. Sepedaku dan mobil yang ditumpangi seorang laki-laki paruh baya berjalan beriringan. Laki-laki itu memandangiku dalam-dalam. Aku tidak paham makna pandangan itu. Aku hanya merasakan laki-laki itu seakan menelanjangiku. Dipandanginya roda sepedaku, kakiku yang mengayuh pedal, tanganku yang menggengam setang, matanya menyorot wajah dan kepalaku yang dibalut helm. Kemacetan sedikit terurai, mobil itu melaju kencang.

Toko buku terkemuka itu sudah di depan mata. Pikiranku masih sibuk dengan pandangan-pandangan yang aku temui dalam perjalanan malam ini. Ada pandangan muda-mudi, tatapan bocah dan ketajaman mata laki-laki paruh baya itu. Apakah ada yang salah dari diriku. Adakah hal aneh dari diriku dan sepedaku? Adakah yang salah denganku dan sepedaku? Atau sebenarnya mereka yang layak disebut aneh karena menatapku seperti melihat makhluk luar angkasa? Aku masih belum bisa memaknai pandangan-pandangan aneh itu. Senyum manis perempuan penjaga parkir toko buku membuyarkan pikiranku. Manis juga gadis penjaga parkir itu, pikirku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun