Tulisan ini bagian dari aksara cinta #R. Dan sebelumnya telah dahulu Dorongan Cinta, Manajemen Cinta, dan Kecelakaan Cinta yang hadir sebagai rangkaian serial.
Tulisan ini terinpirasi dari pernyataan kanjeng Nabi Bahwa rumahku adalah surga(kebahagian) ku. Menelisik rumah kanjeng Nabi Muhammad Saw yang bersebelahan dengan masjid tidaklah berbentuk rumah indah dengan dekorasi minimalis, taman yang indah, lukisan mahal, perabotan yang cantik dan unik. Bukanlah rumah bercatkan aneka warna dengan dekorasi mahal, rumah yang sangat sederhana. Berselimut dengan kain cinta yang ketika dingin tidak mampu menghadirkan hangat.
Rumah adalah tempat berlabuh dari anggota yang berlayar dalam kehidupan. Ada yang membawa kabar berita indah dan bahagia. Terkadang membawa berita yang tidak sedap dan cerita kecewa. Dalam rumah berlindung banyak penghuni. Ada rumah yang hanya dihunyi oleh sepasang kakek dan nenek yang telah ditinggal oleh anak yang membangun rumah bagi keluarga. Ada rumah yang mesti dihuni oleh beberapa keluarga, anak menantu berbagi dalam ruang yang terbatas.
Di jalan Raden Saleh Cikini, terdapat sebuah rumah dibawah jembatan. Sebuah rumah yang menghadirkan kehagatan sebuah keluarga. Ada kedamaian disana, ada banyak canda dan tawa bersama berbagi lewat aneka tambang sampah yang hanyut di kali. Namun tidak jauh masih dalam komplek Cikini berjejar rumah bagus dengan berbagai ornamen ratusan juta. Namun apa disangka untuk bertamu mesti disapa dulu oleh penjaga berkaki empat.
Rumah cinta mampu memberikan kehangatan emosi bagi jiwa penghuni yang tersapu dinginnya kehidupan diluar. Rumah cinta mampu memberi terapi untuk jiwa yang terkadang tersakiti oleh duri-duri kehidupan. Rumah cinta mampu memberikan kedamaian bagi jiwa yang gundah gulana ketika diombang ambing oleh aneka persoalan kehidupan.
Pertanda bahwa rumah cinta itu ada cukup dengan hal sederhana untuk mengetahuinya saja. Perasaan tenang dan damai kala berada di dalam rumah. Memungkiri perasaan menandakan adanya masalah dalam jiwa. Barangkali kita pernah bertamu kesebuah rumah dan mendapatkan sesuatu yang menjadi ingatan kuat. Ada ketentraman kala bertemu dengan penghuni rumah, ada keakraban kala berbincang dengan penghuni rumah, ada keharmonisan kala bercengkrama dengan penghuni rumah. Ungkapan demi ungkapan keluar dari penghuni rumah cinta bak nyanyian melodi, ada tutur kata santun dan sopan. Inilah pertanda bahwa rumah itu adalah rumah cinta.
Namun, disatu ketika ada rasa gundah dan gelisah kala bertamu di rumah tanpa cinta. Indahnya rumah, bagusnya perabot dan lukisan yang mahal tidak mampu mendustai kata hati dan perasaan bahwa rumah ini gersang dari sentuhan cinta penghuninya. Tiada terasa ungkapan tutur kata sopan apalagi santun, tiada mengena obrolan yang lebih banyak caci maki dan umpatan marah dan kecewa. Tidak menyentuh jiwa karena banyak keasingan antara penghuni rumah.
Menelisik menghadirkan rumah cinta yang menentramkan ada beberapa hal yang menjadi budaya. Hal ini selama pengalaman penulis bertamu dan juga menikmati rumah-rumah cinta, baik dalam perjalanan Menapak Nusantara, maupun sekedar bertamu biasa. Inilah beberapa aktivitas rumah cinta:
1. Ada senyum yang menjadi penghias bibir antara penghuni rumah cinta. Jarang terdengar ungkapan dan ucapan kotor, kasar, jorok apalagi caci maki dan sumpah serapah. Rumah ini menghadirkan rasa dihargai oleh sesama penghuni. Senyum ini hadir kala semua penghuni rumah akan berangkat keluar. Ada kecup mesra seorang istri kepada suami, seorang ibu kepada anak dan juga sebaliknya.
2. Ada kebersamaan di meja makan. Kala siang masing-masing anggota rumah cinta beraktivitas diluar. Namun ketika pagi atau malam hari ada ruang untuk saling berinteraksi dan bercengkrama. Lewat cinta ibu menambah nikmatnya makanan yang sederhana namun menggugah selera.
3. Ada kebersamaan dalam ibadah. Begitu indah terasa kala seorang ayah menjadi imam solat, ada ibu yang mampu mendengarkan dan mengajarkan kitab suci. Rumah inilah melahirkan kesejukan dan kedamaian. Di beberapa rumah cinta yang pernah ada dan disinggahi selalu ada moment bersama dalam ibadah. Di daerah Lombok Timur di tempat seorang sahabat, air mata ini menetes kala seorang ayah dengan tabah dan telaten mengajarkan anak membaca Alqur'an, dimana teringat kala Ayah dan Ibu dulu mengajarkan membaca Alqur'an.