Mendarat di bandara internasional minangkabau (BIM) pukul 21.30 dengan pesawat Garuda Indonesia. Terlihat dari jendela sebelum pendaratan cahaya yang berkilauan dari rumah-rumah masyarakat. Namun pemandangan ini tidak sempurna, bila diperbandingkan dengan penerbangan satu tahun yang lalu.
Apa pasal dan kejadian? Dalam terminologi pemerintahan adalah bencana kabut asab dari keterbakaran lahan berhektar-hektar di Propinsi tetangga Sumatera Barat. Keterbakaran hutan lahan gambut ini secara masif merupakan sebuah akibat dari berbagai sebab. Bagi anak sekolah peliburan untuk menuntut ilmu adalah akibat nyata. Di beberapa daerah di Provinsi Riau beberapa hari anak-anak yang bersemangat untuk mendapatkan ilmu mesti libur sampai kabut asap pada ambang batas aman. Hal ini diceritakan oleh paman yang berada di dumai dan juga saudara yang berdomisili di perawang.
Dalam sektor kesehatan, masyarakat harus menanggung akibat berupa beberapa penyakit berupa batuk, radang tenggorokan, sesak nafas dan juga pilek. Sedangkan dalam ekonomi mengakibatkan kerugian. Beberapa aktivitas ekonomi masyarakat harus berhenti. Hal ini mengakibatkan tidak terjadinya pertukaran barang dan jasa. Bagi masyarakat yang memiliki produksi maka ia mesti menghentikan produksi. Bagi masyarakat yang menjadi pedagang sebagai sumber pendapatan, maka ia mesti beristirahat untuk tidak berdagang.
Dalam sektor lingkungan hidup, terutama kekayaan hayati dan aneka tanaman endimeik hancur dan tidak tergantikan. Hal ini ilmuan akan kehilangan kekayaan intelektual dan juga kekayaan yang dapat diolah untuk menjadikan bangsa ini mandiri dan berdaulat. Sedangkan dalam sisi lain ada yang mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat dengan bencana kabut asab. Terutama adalah produsen masker. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan bagi pemerintah dan masyaraka untuk tidak terpapar secara parah dari asap kebarakan hutan.
Sedangkan bagi pemerintah ini adalah 'kehancuran' akan tanggungjawab yang diabaikan untuk memelihara kekayaan bangsa Indonesia. Kehancuran yang mengakibatkan karut marut ini ini dapat dilihat dari beberapa penyebab:
- Hak Guna Usaha yang memberikan kepada pengusaha untuk mengelola lahan selama 90 tahun. Hal ini menjadikan kebijakan ini menjadi incaran bagi pengusaha yang berminat untuk mengembangkan komoditi sawit dan berbagai tanaman industri. Pada tahapan awal adalah perambahan hutan untuk mendapatkan kayu dan juga hasil lainnya. Kemudian menanam tumbuhan industri.
- Penerapan hukum atas pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahan tumpul dan sulit untuk dibuktikan dalam sidang. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki lahan 2 sampai 8 hektar dan membakar teramat mudah untuk dibuktikan dan juga dihukum.
- Tata kelola hutan tanaman industri, terutama sawit. Kementrian Hutan dan Lingkungan Hidup sebagai regulator dan penerbit izin tidak memberikan panduan yang tegas tentang berapa kapasitas lahan yang bisa dijadikan untuk tanaman sawit di kawasan gambut. Bagi masyarakat hal ini ditiru tanpa mempelajar, hal ini terlihat dengan penanaman sawit secara masif di daerah tangkapan air atau perbukitan.
- Perilaku pengusaha dan masyarakat yang membutuhkan kecepatan dalam menanam lahan. Dengan memanfaatkan musim kemarau, maka biaya pembukaan lahan dapat ditekan dengan harga yang sangat murah. Penulis pernah masuk kewilayah Kab. Solok Selatan dan melihat lahan 600 Ha yang ditawarkan masyarakat untuk perkebunan sawit. Masyarakat memberikan saran bila jadi membeli lahan ini dengan dua cara: Pertama, dengan menebang pepohonan yang besar dengan upah Rp. 2.000.000,- perhektar. Penebangan ini tidak seluruhnya, hanya sebagain untuk menyiapkan bahan pembakaran. Kedua, dengan membakar kayu yang telah kering untuk mempercepat pembukaan lahan.
Apakah karut marut ini mesti dibiarkan dan tetap menjadi kebiasaan kita sebagai bangsa yang berketuhanan dan memiliki keyakinan bahwa kekayaan diatas dunia ini adalah amanah? Jawaban secara normatif kita akan menyatakan tidak. Namun secara perbuatan tangan dan kebijakan ternyata tidak sama sekali.
Kemudian apa yang mesti kita lakukan untuk tidak mengulang kembali masuk lubang yang sama?
- Merevisi perundang-undangan yang berkaitan dengan tata kelola kehutanan dan undang-undang lainnya. Hal ini adalah tugas dari anggota dewan pusat. Mereka adalah perwakilan dari masyarakat. Hal ini bekerjasama dengan kementrian kementrian kehutanan dan lingkungan hidup. Revisi ini menyangkut tentang berbagai hal, terutama keadilan bagi masyarakat untuk mendapatkan hak kelola hutan terutama masyarakat adat.
- Membatalkan HGU yang berusia 90 tahun. Hal ini bisa dilakukan oleh lembaga yang konsen dalam lingkungan hidup, masyarakat adat dan juga pejuang kedaulatan masyarakat.
- Ilmuan dengan melakukan kajian dan penelitian yang berlandaskan kepada nilai-nilai keadilan bagi kehidupan makluk selain manusia, keadilan bagi ekonomi masyarakat dan juga keadilan bagi generasi mendatang yang mewariskan apa yang ditulis dan diteliti.
- Pengusaha, melakukan pengolahan lahan dengan cara yang tidak membunuh ekosistem hayati hutan dan lahan.
- Masyarakat, melakukan usaha-usaha kolektif dan kolegial untuk tidak menghancurkan lingkungan yang dimulai dari lingkungan rumah sendiri.
Bila hal ini tidak dilakukan dengan segera, maka kita akan mewarisi kemiskinan bagi generasi mendatang. Generasi yang tahu lewat foto, hasil penelitian bahwa kita pernah memiliki lahan hutan dan kekayaan lainnya. Terutama kemiskinan keimanan, kemiskinan ekonomi, dan berlanjut kepada kemiskinan pengetahuan.
Apakah kita masih tetap berdiam dan hanya terpana, bahwa ini adalah sebuah bencana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H