Butuh kesabaran ekstra dan juga kemampuan lobi tingkat tinggi menjadikan masyarakat petani mampu belajar kembali tentang pengelolaan sawah. Pengalaman bertahun-tahun dan juga berbagai terpaan kegagalan menjadikan masyarakat selalu memasang banyak pertanyaan untuk berpindah dari non organik ke sistem organik. [caption id="attachment_243835" align="aligncenter" width="604" caption="Ibu-ibu kongsi memanen Padi Organik, minim generasi pelanjut"][/caption] Percontohan adalah sebuah solusi pertama. Sebelum masuk pada percontohan seseorang harus mampu dan mau untuk berkecimpung menjadi petani tulen. Bila masyarakat sedang membersihkan gulma. Maka kita harus juga mampu untuk membersihkan gulma, sekaligus memperkenalkan diri dan juga bagaimana meringankan beban pekerjaan mereka. Bila masyarakat petani sedang panen, maka kita hadir sebagai orang yang mau membeli produk mereka. Dengan syarat harus bayar tunai dan tidak boleh hutang. Sebab petani membutuhkan uang tunai untuk membayar berbagai kewajiban sebelum panen. Di antaranya adalah:
- Hutang pupuk non organik dan petisida. Petani akan meminta kepada toko langganan atau juga pemilik heller untuk menyediakan pupuk bagi areal pesawahan mereka. Hutang ini harus dibayar ketika pulang padi atau panen.
- Hutang pengolahan sawah dengan mesin. Biasanya petani berhutang dengan pemilik mesin bajak. Sedangkan beberapa petani tidak berhutang. Namun terkadang berhutang uang dengan orang lain atau keluarga.
- Hutang upah tanam dan bersiang. Problem ini biasanya terselesaikan dengan membantu petani lain di sawah mereka. Hal ini terkadang terselesaikan dengan pola arisan.
- Hutang kredit konsumtif dan perumahan. Biasanya petani memiliki beberapa peralatan dengan pola hutang. Semenjak banyaknya bisnis kredit, maka petani berani untuk merubah sedikit status sosial dengan membeli motor, peralatan elektronik secara cicilan.
Bagaimana cara mengatasi permasalahan hutang petani sebelum panen? Langkah apakah yang mesti diambil bila hendak menjadikan petani merdeka dari hutang dan juga mampu mengelola keuangan mereka? Jawaban ini telah ditemukan oleh Masrizal Kota dengan pendekatan Lembaga Keuangan Agrobisnis di Nagari Sianok Kec. Baso Kab. Agam.Â
Kebehasilan ini kemudian di-copy paste oleh Dinas Pertanian Pusat. Namun fakta dilapangan berbicara tentang kegagalan Lembaga Keuangan Agrobisnis ini dalam implementasi. Apa persoalan kok bisa gagal? Persoalan utama tidak ada contoh teladan yang mampu menjadi leader dan suri tauladan dalam menjalan LKA.Â
Bantuan sampai IDR 100 juta hilang ditelan anggota dan juga pengurus. Dalam alam pikiran masyarakat ini adalah dana bantuan pemerintah. Tidak dapat menyalahkan siapa dan juga mencari kambing hitam. Karena akan memperkeruh keadaan petani dan juga keterjajahan. Sebab fakta di lapangan yang penulis jumpai, amat sedikit regenerasi petani.Â
Hampir setiap hari bercengkrama dengan petani berusia diatas usia 50 tahun. Mereka memiliki anak dan cucu. Namun tidak tertarik untuk masuk dalam bisnis usaha pertanian. Tradisi menjadi petani membentuk paradigma bahwa menjadi petani itu miskin. Apakah itu benar? Menelusuri akar permasalahan kenapa petani menjadi miskin, maka banyak faktor yang mempengaruhi, baik dari sisi petani maupun sistem yang meliputi petani.Â
Kemudian apakah membiarkan keadaan itu terus berlalu tanpa ada regenerasi petani di kampung dan desa? Jawabannya pasti tidak mau hilangnya generasi muda yang berkhidmat dalam bisnis pertanian. Sebagai seorang orang Indonesia apakah mau menikmati hasil pertanian dan peternakan orang luar negri dan membiarkan hasil pertanian masyarakat kita tidak laku dipasar? Sangat keterlaluan.Â
Untuk menjadikan bisnis bidang pertanian dan peternakan dilirik kembali oleh generasi muda. Harus ada upaya, salah satunya adalah Sarjana Masuk Desa. Namun sekarang tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Langkah kedua setelah memberikan percontohan adalah; mengurangi beban biaya usaha pertanian dan peternakan. Cara pengurangan adalah memberikan pelatihan dan juga pendampingan pembuatan pupuk organik majemuk lengkap untuk petani sekaligus anti hama organic dari tumbuhan alam yang tersedia.Â
Dari pengalaman membuat percontohan di daerah Jorong Bio-bio, Balai tinggi, Canduang, Kamang, Limau Manih, petani semakin yakin untuk bertani secara organik. Karena petani membutuhkan kemudahan dalam mengelola pertanian dan juga membantu hasil pertanian mereka layak berharga di mata konsumen. Langkah ketiga adalah, seringlah bersilaturrahmi dan berbagi informasi tentang apa yang bagus untuk ditanam dan juga bagaimana menjadi pemasar dari hasil olahan sendiri.Â
Disinilah dibutuhkan banyak sarjana ekonomi yang telah berkutat lama di bangku perkuliahan. Hampir setiap hasil pertanian masyarakat masuk dalam pasar komoditi dan tidak produk. Untuk wilayah Ranah Minang susah untuk membedakan mana beras berasal dari Lereng Gunung Merapi dengan Beras Solok jenis Anak Daro. Jawabannya adalah label dan kemasan yang mampu menjawab semua itu.Â
Sebab tanpa langkah itu semua petani ranah minang akan tinggal catatan semata, karena generasi muda tidak tertarik berbisnis bidang pertanian. Mengetik sambil menikmati aroma beras organic jenis pandan wangi dari hasil sawah kerjasama. Harum dan wangi. Mau?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H