Malam ini engkau suguhkan sepiring nasi dengan aneka lauk pauk. Ada goreng tempe, sambal dari cabe keriting, ada sayur bayam dengan sedikit garam. Engkau masak wahai istriku dengan cinta tanpa MSG. Terasa nikmat makan bersama, ditemani oleh anak kita yang masih belajar miring ke kanan dan ke kiri. Juga sahabat Ahmad Gazali tokoh pertanian total organik dengan menggunakan bioteknologi NT 45, ada Troy mahasiswa pasca sarjana FISIP UI.
Sambil engkau hidangkan makanan malam. Perasaan dan pikiran ini kembali teringat kala waktu melakukan riset terapan untuk thesis magister ekonomi syariah dengan sepiring nasi, dengan menu nasi organik dari sawah dengan pola organik, ditambah dengan sayur bayam organik dan juga sambal cabe keriting organik yang dimasak dalam nasi. Engkau belum menjadi istriku waktu itu. Memang waktu itu masakan tidak memiliki bumbu kasih dan cinta, namun memiliki bumbu perjuangan.
Teringat Proklamasi yang diucapkan oleh Soekarno Hatta bahwa kita adalah Bangsa yang merdeka dan bernama Indonesia. Waktu itu dengan keberanian dan tanggungjawab yang kuat, mulai menata bangsa Indonesia. Hal-hal fundamental dipersiapkan setelah proklamasi. Semua itu butuh pengorbanan lintas generasi sampai kita benar-benar merdeka dan berdaulat.
Tidak mesti berdaulat melihat yang makro, namun lihatlah dari hal yang sederhana. Begitu ungkapan Ahmad Gazali dalam bincang setelah makan. Hal ini menjawab pertanyaan dari Troy, bagaimana mengukur keberdaulatan Indonesia.
Dalam sepiring nasi yang kita makan. Berasnya adalah hasil jerih payah usaha tani dari petani. Namun pupuk dan pertisidanya tidaklah dari hasil karya Indonesia. Tempe goreng yang berasal dari kedelai adalah impor dari negara Amerika Serikat, India, China. Sedangkan tempe adalah hasil karya pengrajin tempe dengan proses fermentasi mikroba baik. Begitu juga dengan garam, yang saat ini garam rafinasi lebih merajalela di pasar tradional dan warung kecil dekat rumah.
Dalam pemberitaan Kompas, hasil garam petani dari Madura dan tempat lainnya, tidak dibeli oleh PT. Garam, namun lebih memilih beli garam dari luar negri untuk ditebar dipasar-pasar Indonesia. Hal ini teringat bagaimana lagu Indonesia Raya, kita alfa membangun jiwa, namun kukuh membangun raga dengan hutang kepada negara lain.
Disela diskusi berlanjut, engkau wahai sayang bertanya. Bagaimana kita bisa berdaulat disepiring nasi di Jakarta ini Uda? kita tidak memiliki sawah sepetak, ladang setumpak untuk menanam sayur dan lainnya. Jawaban apa yang mesti aku sampaikan, dengan seloroh sederhana. Setelah anak kita Ahmad Habiburrahman diatas usia 1 tahun kita akan kembali ke tempat asal, disana kita akan bertani padi organik, berladang padi organik dengan bekerjasama atau mengontrak lahan. Sekaligus memelihara beberapa ekor sapi, kambing, dan ayam bangsa dan bukan ayam negara. Sebab anak kita mesti belajar mengembala sapi dan kambing dan mengenal alam sebagai tempat ia berkaya nanti.
Untuk sekarang, nasi yang kita makan adalah nasi yang belum sepenuhnya berdaulat. Sebab masih banyak kebijakan dari pemerintah yang tidak sampai pada pemberdayaan masyarakat marginal petani untuk berdaulat. Sebab dari riset terapan pertanian organik kemaren, kebijakan pemerintah pusat melalui kementrian pertanian tidak memberikan ruang bagi pertanian organik dengan basis pembuatan pupuk dan pertisida alami oleh petani.
Semoga sayang, disepiring nasi yang kita makan esok adalah kedaulatan kita dan petani organik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H