Dalam kaidah bisnis ada adigium high risk high return yang berlaku universal. Dimana seseorang akan mendapatkan keuntungan dari sebuah usaha sebanding dengan resiko yang mesti dikelola. Ingin mendapatkan keuntungan besar dan berkelanjutan maka ia harus menginvestasikan dana besar dan waktu yang panjang. Ditambah dengan pengelola yang profesional.
Adigium ini berangkat dari paradigma ekonomi kapitalis yang memandang semua bedasarkan ideologi materialisme. Kemudian apa hubungannya dengan calek dan keekonomian jadi anggota dewan?. Untuk menjadi anggota dewan banyak hal secara ekonomi yang mesti diinvestasikan seseorang. Ada beberapa ungkapan diantaranya biaya politik atau lebih menterng dengan cost of politic.
Komponen-komponen ini mempengaruhi kebijakan investasi seorang caleg dan mengukur kinerja keuangannya. Bagi yang telah menjadi anggota dewan sebelumnya ada mekanisme pengembalian uang yang diinvestasikan kembali untuk daerah pemilihan. Bentuk-bentuknya, dana aspirasi yang jumlahnya sangat besar dan ada setiap tahun setelah pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau nasional.
Sedangkan bagi yang baru mencalonkan diri butuh waktu untuk mengumpulkan dana kampanye dari berbagai sumber. Beberapa melakukan penjualan asset pribadi atau melakukan konsolidasi dengan pemilik uang. Skema kesepakatan adalah pengarahan proyek-proyek dari anggaran yang disambut oleh Perusahaan pemilik uang. Seperti kasusnya Hambalang, Pengadaan Alqur'an dan juga Proyek-proyek lainnya di kementrian atau kedinasan.
Menjadi anggota dewan di Indonesia diukur dari sisi ekonomi sangat besar. Hal ini disebabkan oleh kegagalan komunikasi politik pribadi caleg dan juga partai. Komunikasi yang dibangun lewat media massa dan periklanan. Hal ini mesti membayar ruang dari pemilik usaha. Sedangkan komunikasi lewat baliho dan juga pamflet membutuhkan ongkos cetak yang tidak sedikit.
Akumulasi ini berlanjut dalam semakin berjaraknya pemilih dengan anggota dewan. Peluang ini menjadikan kesempatan terbaik bagi bisnis percetakan, team sukses lokal dan konsultasn komunikasi politik untuk mendapatkan pendapatan yang sangat menggiurkan. Beberapa perusahaan digital printing dan konveksi baju meraup keuntungan milyaran rupiah setiap momen pemilu caleg.
Semua instrumen biaya jadi caleg dianggap biaya untuk mendapatkan bagian dari kebijakan ekonomi dari pendapatan dan belanja daerah atau nasional. Disinilah dimulai proses pengembalian investasi dan komponen biaya untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan sosial, politik dan ekonomi.
Kemudian bagaimana seharusnya seorang mempersiapkan diri secara ekonomi untuk mengcover biaya yang mesti dikembangkan. Maka menarik untuk menelisik bagaimana sekarang terjadi kerjasama antara Caleg tingkat Pusat dengan Tingkat Provinsi dan Kota atau Kabupaten. Hal ini dilakukan untuk menimalisir biaya kampanye dan mempermudah eksekusi suara pada tingkat daerah pemilihan.
Haruskah pemilik sah suara hanya datang dan mencoblos begitu saja? Jawabannya tidak, harus ada sebuah komunikasi yang terbangun untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan. Dalam hal ini memilih seorang caleg dilihat dari kemampuannya dalam memformulasikan kebutuhan pemilih dalam sebuah draf apa yang mesti ia perjuangkan.
Bila hal ini tidak, maka kita sebagai pemilih akan mendapatkan anggota dewan yang tidak kenal pemilih untuk 5 tahun kedepan, kecuali ingin mencalon kembali. Maka wajar kebijakan demi kebijakan dalam APBN atau APBD dan kerja dinas-dinas dalam eksekutif dinikmati oleh oligarki eksekutif-legislatif dari tahun ke tahun.
Untuk menentukan pilihan siapa yang mewakili aspirasi maka kita sebagai pemilih harus mengetahui dan mampu untuk menjangkau caleg dan partainya. Baik menjangkau dalam kontek betemu langsung, bertatap muka dan berdialog, atau lewat komunikasi telp, sms, email atau facebook sang calon. Bila tidak kita hanya memberikan suara lepas tanpa kendali.