Pendahuluan
Pada dasarnya model kerjasama bisnis adalah hal jamak dan umum pada berbagai kegiatan usaha. Baik secara dilakukan orang perorang, maupun lembaga bisnis dengan lembaga bisnis lainnya. Sudah menjadi ketetapan Allah Swt bahwa manusia berserikat dalam menjalan seluruh kehidupan. Hal ini termasuk dalam kontek berbisnis.
Akad musyarakah secara sistem dan nilai telah ada dan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam usaha. Terutama yang mencakup lini distribusi yang panjang, kumpulan modal dan juga sumber bahan baku. Hari ini kerjasama bisnis adalah keniscayaan untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan usaha. Akad ini masih berada dalam wilayah ekonomi kapitalistik dan sistem keuangan konvensional. Dimana sistem ini telah menjadi sebuah kesadaran umum dan tradisi yang sulit untuk dibongkar dan diperbaharui. Sebab membutuhkan perubahan radikal, sistematis dan massif.
Sedangkan akad musyarakah secara terminologi, dan penggunaan bahasa baru populer dengan keberadaan perbankan syaraih di Indonesia. Dimana dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia. Begitu juga dalam konteks pengkajian dalam legal aspek pernjanjian kontrak kerjasama. Biasanya menggunakan kata kerjasama operasi, kerjasama pemasaran dan kerjasama distribusi produk atau jasa. Sedangkan kata musyarakah dalam kontrak belum jamak dan propuler bagi legas aspek perjanjian. Baik berupa legal aspek perusahaan, notaris dan pihak masyarakat yang menggunakan akad musyarakah.
Tantangan dari segi Perbankan Syariah
Akad musyarakah dalam bisnis berangkat dari saling kepercayaan untuk bermitra. Masing-masing pihak memiliki kontribusi, baik yang setara, maupun tidak setara. Sering akad kerjasama terjadi dalam perjanjian bisnis to bisnis. Sedangkan perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan syariah belum maksimal menerapkan akad musyarakah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor.
Pertama. Dana kelolaan perbankan syariah masih berasal dari dana wadiah dan mudharabah. Dana wadiah dan mudharabah memiliki siklus yang fluktuatif dan mudah keluar masuk. Dana yang berifat short time. Hal ini menghambat pihak perbankan syariah untuk masuk lebih dalam dalam akad musyarakah dengan pengusaha.
Kedua. Perbankan syariah adalah lembaga intermediasi keuangan syariah yang baru berkembang. Dalam hal ini perbankan syariah masih dalam tahap pertumbuhan asset sendiri dan menyelesaikan tanggungjawab opersional. Hal ini mengakibatkan perbankan syariah harus mensiasati bisnis intermediasi keuangan yang minimal resiko dan kejelasan return of bisnis. Maka akad musyarakah tidak menjadi opsi yang dipilih. Karena akad musyarakah memiliki resiko kehilangan uang dari pihak perbankan syariah. Sedangkan uang berasal dari pihak ketiga dan bukan milik perbankan syaraiah sendiri yang berasal dari keuntungan usaha, saham mudharabah dan dana yang tidak memiliki kewajiban pengembalian seperti dana qard hasan, infak dan sedekah.
Ketiga, kelangkaan sumber daya insan kamil perbankan syariah yang memiliki keahlian pengelolaan bisnis yang menggunakan akad musyarakah. Kelangkaan ini mengakibatkan manajemen perbankan syariah tidak mau mengambil resiko terhadap kegagalan bisnis mitra dengan akad musyarakah. Karena dalam akad musyarakah pihak perbankan syariah harus menjadi bagian dari sistem manajemen perusahaan. Sedangkan pegawai perbankan syariah sebagian besar mengerti tentang sistem keuangan konvensional yang didayagunakan di sistem keuangan syariah. Perbedaan sistem, paradigma dan juga keahlian adalah tantangan sekaligus kendala utama pihak perbankan syariah. Sedangkan dalam rekrutmen karyawan baru yang berasal dari pendidikan ekonomi syariah, keuangan syariah belum maksimal memenuhi kebutuhan sumber daya insan kami perbankan syariah.
Keempat, karakteristik mata uang yang masih menggunakan sistem value time of money. Dengan memegang uang perbankan syariah dihadapkan pada risiko menurunnya daya beli dari kekayaan sebagai akibat dari inflasi. Nilai uang saat sekarang dibandingkan dengan nilai subsitusinya terhadap barang akan lebih tinggi dibanding nilainya dimasa yang akan datang. Time value of money diwujudkan dalam bentuk tingkat bunga. Tingkat bunga dianggap sebagai harga dari komoditas uang. Perbankan syariah tidak bisa terlepas dari sistem mata uang rupiah yang berbasis sistem value time of money.
Tantangan dari segi Pengusaha
Sedangkan dari sisi pengusaha sebagai mitra dalam akad musyarakah terkendala dalam beberapa faktor.
Pertama, tingkat akuntabilitas pengusaha. Menggunakan akad musyarakah dengan pihak perbankan syariah mensyaratkan akuntabilitas pengusaha dalam sistem pelaporan keuangan perusahaan. Hal ini tidak ada kesempatan untuk melakukan moral hazard atau penyimpangan. Karena pihak perbankan syariah memiliki wewenang dalam pengelolaan usaha pengusaha.
Kedua, transparansi usaha dan keuangan. Menggunakan akad musyarakah mengharuskan kedua belah pihak untuk saling terbuka tentang pengelolaan usaha. Hampir pengusaha memiliki tingkat transparansi yang rendah. Hal ini perusahaan masih banyak pengelolaan standar keuangan yang belum rapi dan sistematis baik dari segi keuangan maupun akuntansi. Banyak perusahaan masih milik pribadi berbadan hukum. Sedangkan perusahaan publik memiliki transparansi pelaporan keuangan yang tinggi. Dimana ada kewajiban untuk memaparkan keuangan dan kondisi perusahana kepublik. Keterbukaan usaha dan keuangan menjadikan pengelolaan harus prudent dan tidak bisa diselewengkan sesuai dengan kemauan dari pengusaha. Hal ini akibat dari akad musyarakah antara perbankan syariah dengan pengusaha yang mengatur tentang penggunaan keuangan dan bisnis yang dijalankan dalam batas waktu kerjasama.
Ketiga, Independt dan kekuasaan penuh dalam menggerakkan usaha. Menggunakan akad musyarakah menjadikan pengusaha membagi kekuasaan dan tidak indendent dalam mengambil keputusan bisnis. Pembagian kekuasaan pada akad musyarakah juga mengatur komposisi level top manajemen perusahaan. Hal ini terkadang menjadi kendala dari ketidak sesuaian dalam memahami permasalahan, latar belakang dan juga arah usaha.
Kegagalan Usaha dalam akad musyarakah
Bisnis memiliki karakteristik yang melekat berupa mendapatkan keuntungan dan juga tidak bisa lepas dari resiko kegagalan bisnis. Dalam proses bisnis yang mendatangkan keuntungan maka pihak yang melakukan akad musyarakah dapat membagi keuntungan sesuai dengan porsi yang diberikan yang terwujud dalam proporsi modal yang disertorkan oleh masing-masing pihak.
Sedangkan bila usaha mengalami kerugian dan tidak bisa berjalan lagi. Maka masing-masing pihak akan kehilangan modal yang telah disetorkan, baik dalam bentuk modal keras maupun modal kemampuan atau sesuatu yang diakusi sebagai modal penyertaan. Dalam hal ini pihak perbankan syariah yang ikut dalam sindikasi akad musyarakah akan menanggung kehilangan modal yang bersumber dari dana kepercayaan pihak ketiga.
Dalam akad musyarakah harus memiliki penilaian yang komplek atas berbagai faktor yang mempengaruhi sebuah usaha. Diantaranya:
1.Analisis persaingan usaha
Dimulai dari faktor tingkat persaingan usaha, apakah telah masuk dalam red ocean (persaingan berdarah) atau pada usaha masih diwilayah blue ocean (persaingan minim). Semakin bedarah tingkat persaingan dan matang, maka tingkat kegagalan dalam bertahan lebih tinggi. Karena pasar disesaki oleh banyak pemain dan persaingan sangat ketat dan kecendrungan terjadi kanibalisme antar usaha. Sedangkan pada blue ocean tingkat pesaiangan hampir tidak ada. Usaha adalah hasil inovasi yang memiliki prospek untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini menjadi pertimbangan bagi pihak perbankan syariah untuk menggunakan akad musyarakah dengan perusahaan.
2.Analisis sirkulasi keuangan usaha
Kebutuhan untuk mengetahui sirkulasi keuangan mutlak sebagai bahan acuan dalam menggunakan akad musyarakah bagi perbankan syariah. Hal ini menjadi bagian penilaian untuk melakukan kerjasama pembiayaan akad musyarakah. Hal ini melihat disiplin pengusaha dalam mengelola keuangan usaha. Ketiadaan sumber data dan fakta mengakibatkan terjadinya kekosongan sumber referensi dalam menilai kinerja keuangan, akuntabilitas dan transparansi kegiatan usaha.
3.Analisis manajemen insan kamil
The man behind the gun, adalah idiom yang menjadi acuan dalam menerapkan akad musyarakah bagi pihak perbankan syariah atau pengusah. Penilaian ini melingkupi karakter, kapasiatas atau terkenal dengan 7 C sebagia standar nilai dan sistem pengucuran pembiayaan. Sering yang mengakibatkan kehancuran akad musyarakah bukan persoalan persaingan usaha, sirkulasi keuangan, namun dari mentalitas pengelola terutama pimpinan perusahaan. Pihak perbankan syariah harus memiliki indeks kinerja insan kamil : prespektif keuangan syariah yang dikembangkan secara sistematis. Indeks ini berguna sebagai alat pengambilan keputusan untuk bekerjasama dengan pengusaha. Beberapa variabel yang dapat menjadi acuan adalah:
1.Konsistensi melakukan ibadah shalat.
2.Keterlibatan dalam pengajian dan pendalaman alQuran & Hadits
3.Pertemuan dan bentuk rapat-rapat internal perusahaan
4.Sistem manajemen reward & punishment
5.Kewajiban mengeluarkan zakat, infak, sedekah dan wakaf
6.Hubungan dengan keluarga: Istri, Suami, Anak, Ibu, Ayah dan Saudara
7.Hubungan dengan tetangga dan relasi bisnis
4.Sistem manajemen resiko usaha
Melihat bagaimana bentuk dan kebijakan perusahaan dalam melakukan manajemen resiko usaha. Hal ini berguna bagi menimal resiko dan mengelola resiko supaya tidak berdampak signifikan dalam kegagalan usaha dan pengelolaan berbasis akad musyarakah. Manajemen resiko dapat dilihat dari sistem kerja yang digunakan oleh perusahaan dalam mengelola sumber insan kamil perusahaan. manajemen bahan baku dan proses produksi dari bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk. Kontrak kerjasama distribusi dan pemasaran dengan pihak ketiga. Kebijakan pembayaran keuangan dengan mitra dan pelanggan. Kemudian juga persoalan undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengakomodir atau menyebabkan usaha bertentangan dengan peraturan yang ada.
Model Pembagian keuntungan akad Musyarakah
Penggunaan akad musyarakah antara perbankan syariah dengan pengusaha dapat menggunakan beberapa pilihan pembagian keuntungan usaha yang saling menguntungkan dan saling memberikan manfaat keberlangsungan usaha. Dimana disatu sisi pengusaha bisa melanjutkan usaha dan mengembangkan dan perbankan syariah tidak kehilangan amanah uang dari pihak dana pihak ketiga. Beberapa pilihan dapat ditempuh diantaranya:
1.Reveneu Sharing.
Sistem ini adalah model pembagian keuntungan berdasarkan pendapatan dari transaksi penjualan produk atau jasa dari perusahaan. Dimana pembagian tidak menghitung komponen biaya yang melekat dalam penjualan. Lazim digunakan adalah sistem persentasi dari nilai penjualan. Contoh: Setiap penjualan langsung dipotong pembagian keuntungan 2%. Perhitungan ini membutuhkan data transaksi dan juga laporan berkala penjualan.
Bagi pihak pengusaha hal ini memberatkan, terutama pada bisnis baru dan belum masuk dalam siklus pertumbuhan produk. Karena semua pendapatan dari penjualan produk dan jasa digunakan untuk membayar kewajiban segera dan biaya opersional perusahaan yang wajib.
2.Profit Sharing
Sistem profit Sharing berdasarkan laporan keuangan perusahaan skala tahunan, semester maupun triwulan. Pembagian keuntungan antara pengusaha dengan perbankan syariah dilakukan berdasarkan keuntungan bersih setelah pembayaran kewajiban-kewajiban. Biasanya Earning After Tax and Zakat.
Kelemahan sistem profit sharing adalah lamanya dana perbankan syariah mengendap dalam satu usaha. Sedangkan perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan syariah berkewajiban untuk melakukan pembiayaan usaha-usaha lain untuk pertumbuhan pendapatan bagi perbankan syariah. Selain itu juga kerumitan dalam proses pembagian dimana perbankan syariah harus terlibat dalam manajemen perusahaan dengan menempatkan tenaga ahli yang diperbantukan.
3.Reveneu net Sharing
Model reveneu net sharing dikembangkan sebagai alternatif dan solusi yang lebih adilbagi kedua belah pihak yang menerapkan akad musyarakah atau mudharabah. Dasar adalah untuk menjadikan sistem kontrol penjualan dan penerapan akuntabilitas dan transparansi sistem kuangan dari para pihak. Model ini memberikan ruang bagi perbankan syariah untuk mendayagunakan kembali pendapatan dari akad musyarakah untuk pembiayaan selanjutnya. Sedangkan bagi sisi pengusaha ada dana yang bisa untuk membayar kewajiban-kewajiban jangka pendek, baik kepada pemasok bahan baku, biaya opersional perusahaan.
Sistem ini berdasarkan penetapan biaya produksi persatuan produk ditambah keuntungan yang diharapkan dalam penjualan persatuan produk. Keuntungan yang diharapkan ini menjadi dasar pembagian masing-masing pihak berdasarkan kontribusi modal pada akad musyarakah. Penetapan ini berdasarkan prinsip kontribusi dan keadilan bagi kedua belah pihak. Pembahasan ini dilakukan dalam dalam bentuk pembagian nisbah keuntungan yang disetujui oleh kedua belah pihak.
4.Kebijakan zakat dan sita jaminan
Zakat adalah instrumen yang Allah wajibkan bagi muslim untuk menjamin keberlangsungan sirkulasi dan distribusi kekayaan diantara muslim. Salah satu yang berhak mendapatkan zakat adalahgharimiin (orang yang berhutang). Dalam hal ini pihak pengusaha dan perbankan syariah dalam akad musyarakah mensyaratkan pembayaran zakat usaha. Pengelolaan zakat dapat menggunakan pihak ketika berupa amil yang terpercaya dan memiliki cadangan dana zakat bagi pengusaha yang mengalami kebangkrutan usaha.
Untuk penyitaan jaminan bagi usaha gagal adalah keniscayaan. Penyitaan ini berdasarkan akad musyarakah yang disertakan jaminan atas pelanggaran akad musyarakah. Penyitaan ini berdasarkan hasil persidangan badan arbitrase ekonomi syariah dan sesuai dengan nilai modal yang disetorkan. Bila tidak maka para pihak masuk dalam perbuatan zhalim dan pengambilan hak orang lain dengan cara bathil.
Penyelesaian Sengketa akad Musyarakah
- Prof. KH. Ali Yafie.
- 2. Prof KH. Ibrahim Husen, LML.
- 3. H. Andi Lolo Tonang, S.H.
- 4. H. Hartono Mardjono, S.H.
- 5. Jimly Asshiddiqie, SH,, MH.
Dari BAMUI Menjadi BASYARNAS
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) pada saat didirikan bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993, berbadan hukum yayasan. Akte pendiriannya ditandatangani oleh Ketua MUI Bpk. KH. Basri dan Sekretaris Umum Bpk. HS. Prodjokusumo. BAMUI dibbentuk oleh MUI berdasarkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI Tahun 1992.
Perubahan nama dari BAMUI menjadi BASYARNAS diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002 dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK. MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 Tanggal 24 Desember 2003.
Tujuan BAMUI adalah untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah pertama tersebut di Indonesia, yaitu Bank Muamalat. Lembaga arbitrase tersebut dikenal dengan Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat (BAMUI) berdasarkan SK No Kep-392/MUI/V/1992.
Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) hingga kini. Perubahan tersebut berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.
Penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui arbriter. Hal ini mengacu pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dan, fakta memang menunjukkan adanya pihak yang tak menyepakati diselesaikannya sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas. Waktu itu, Pertamina mengajukan pembiayaan dalam skema murabahah (jual beli) kepada dua Bank Syariah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank syariah itu sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, Pertamina terlambat membayar, namun, secara sepihak, salah satu bank tiba-tiba menaikkan harga jual akad murabahah. Padahal, sesuai fatwa DSN-MUI, dalam akad murabahah, pihak bank syariah tidak boleh menaikkan harga selama masa pembiayaan.
Akad musyarakah pararel dan majemuk
Tantangan dalam menjadikan akad musyarakah ke depan adalah akad musyarakah paralel dan majemuk. Hal ini mengacu pada banyaknya usaha yang mesti dibiayai dan keterbatasan dari perbankan syariah untuk memaksimalkan peran keuangan dengan akad musyarakah. Beberapa proyek membutuhkan dana besar dan tidak bisa dibiayai secara tunggal, namun secara majemuk.
Pihak perbankan syariah bisa menggunakan akad musyarakah paralel dan majemuk dalam beberapa usaha dengan instrumen sukuk musyarakah, obligasi musyarakah, dan musyarakah murni diantaranya:
1.Pembangunan Hotel, restoran, apartemen terpadu. Yang saat ini terkenal dengan super blok atau kota mandiri. Kebutuhan dana untuk membangun ini tidak bisa ditlangi oleh satu perbankan syariah dalam akad musyarakah.
2.Pembangun Tol.
3.Pusat perbelajaan berupa pasar dan Mall
Penutup
Demikianlah makalah ini semoga dapat menjadi bagian dari penguatan kajian ekonomi syariah pada perbankan syariah dalam menerapkan akad musyarakah untuk pelaku usaha yang menerapkan sistem ekonomi dan keuangan syariah. Penulis menerima saran dan masukan untuk penambahan refensi, penguatan kajian teori dan pengembangan teori untuk kebaikan kita bersama.
Sumber daya insan kamil adalah profesional yang memiliki kemampuan manajemen usaha, dan keterampilan bisnis yang relevan.
Time value of money adalah nilai waktu dari uang yang bisa bertambah dan berkurang sebagai akibat perjalanan waktu. Adiwarman karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi kedua, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal 333
Arrisman, Desertasi. Kedudukan dan Fungsi Pengawasan Dewan Pengawas Syariah dalam transaksi bank syariah di Indonesia. Program doktor program pascasarjan fakultas hukum UI 2008
Dalam proses pengembangan draf buku oleh Muhammad Yunus, S.E
Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah Insdonesia. Basyarnas, 2006.
ridwan mooduto
Prof. Dr. Rifyal Ka’bah, MA Arbitrase melalui Bani dan Basyarnas, makalah untuk bahan penataran Hakim Agama tanpa tanggal dan tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H