Tarik menarik dalam membentuk koalisi terjadi antar elit partai peserta pemilu. PDI Perjuangan, Golkar dan Gerinda adalah 3 besar yang mampu menyakinkan pemilih untuk memberikan amanah konstitusi dan keterwakilan aspirasi di DPR.
Membaca kompas.com dimana tidak bertemunya PDI Perjuangan dengan Golkar dalam pencalonan pasangan capres dan cawapres. Kemudian beberapa partai Islam mencoba mencari koalisi kepada 3 pemenang besar. Menarik tentang ungkapan PBNU untuk tidak mengulang poros tengah jilid II. Hal ini belajar dari sejarah poros tengah jilid I dimana PKB dan warga NU dikhianati oleh teman sendiri.
Preseden ini dan sejarah menjadi tolok ukur bagi kegagalan koalisi atau sinergi partai Islam. Penggabungan jumlah kursi menurut hitungan cepat mencapai 31% tidak menjadi kekuatan yang menyatu. Namun menjadi momok dan petaka dalam membangun jamaah kekuasaan untuk masyarakat.
Partai Islam pada masa dulu sempat disatukan dan kuat lewat Partai Masyumi. Seiring dengan perkembangan politik orde baru untuk membubarkan Masyumi dan penyederhanaan partai, maka partai Islam tinggal satu yakni PPP dengan simbol lambang ka'bah.
Zaman berganti dan sistem pemerintahan dan hukum berubah. Maka reformasi dan pemilu tahun 1999 muncul banyak partai Islam. Namun hari ini tinggal tidak seberapa. PPP, PKB, PAN, PKS, PBB dan sebagian tidak mendapatkan sampai 3,5%. Maka perlu dievaluasi tentang keberadaan partai Islam dalam konteks negara Indonesia.
Partai dan elit partai Islam juga belum mampu untuk berpuasa dalam konteks kekuasaan. Seperti PDI Perjuangan yang memilih oposisi selama 10 tahun. Kemudian membangun sistem gerakan dan perkaderan dari bawah. Maka muncullah Jokowi, Ganjar, Bu Tri yang merupakan hasil dari sistem gerakan partai dari bawah.
Kemudian bagaimana dengan partai Islam? Tergoda untuk mendapatkan kue kekuasaan dan ikut terlibat menjadikan partai Islam selalu mengekor dan tidak bisa menjadi kepala. Menghabiskan energi dan sumber daya untuk terlibat dalam tarik menarik. Hal ini melupakan regenerasi kepemimpinan Partai Islam.
Tidak banyak tokoh-tokoh muda yang muncul dari partjai Islam. Hal ini menjadikan terjadinya jeda generasi kepemimpinan politik dan intelektual partai yang menjadi think thank kebijakan dan menghasilkan produk undang-undang yang bernas dan bermanfaat bagi masyarakat.
Terbutakan dan haus kekuasaan menjadikan efek kultural bagi elit partai Islam tidak mampu untuk menjadi oposisi dan menjadi penyeimbang sekaligus pengingat bagi partai yang berkuasa pada tingkat eksekutif kepemimpinan bangsa Indonesia.
Ketidakmaun berkoalisi sesama berideologi yang bersumber dari Islam dan gagal dalam menerjemahkan sistem sholat berjamaah adalah manisvestasi vulgar partai Islam tidak mampu menjadi pemimpin dan mengelola kepemimpinan bangsa dimasa depan.
Sudah menjadi ketetapan yang maha kuasa ada perbedaan dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam ikhtiar politik kekuasaan sebagai wakil ummat dan masyarakat. Namun bisa menyatu dalam kalimatun sawa (konsensus bersama) dengan menahan egois diri dan juga partai.
Ibarat sebuah mobil, bila hanya menjadi penumpang dan tidak menjadi sopir maka hanya bisa menggerutu dan marah bila tidak suka dengan kepemimpinan sopir.
Sedangkan dalam konteks berjamaah tidak bisa menjadi makmum yang baik sekaligus menjadi imam yang handal. Karena lebih sering memilih saf terbelakang dan dilangkahi oleh orang yang datang kemudian.
Malangnya tradisi dan kultural Partai Islam yang bersumber dari ajaran agung yang dibawa Nabi Muhammad SAW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H