Mohon tunggu...
Muhammad Yunus
Muhammad Yunus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Penggiat Ekonomi Syariah terapan, dan Pertanian Organik Terpadu berbasis Bioteknologi. Sehat Manusia, Sehat Pangan, Sehat Binatang, Sehat Tanah, Air dan Udara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dulu Kita Bersama Sekarang Jalan Bersimpang Dua

2 Juni 2014   05:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengambilan nomor urut pemilihan calon Pemimpin Pelayan Urusan Masyaraktat Indonesia telah selesai dilaksanakan di Gedung KPU di Jl. Imam Bonjol. Pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan nomor urut 1 dan Jokowi-Kalla nomor urut 2. Diikuti oleh masing-masing team sukses baik dari parpol koalisi pendukung, kerjasama tanpa syarat dan masyarakat yang mendukung masing-masing calon.

Pemberitaan demi pemberitaan menjadi hangat. Berbagai pengamat muncul dengan analisa demi analisa yang mencoba menerjemahkan tentang nomor urut. Ada dalam prespektif agama, ilmu neurologi, psikologi dan berbagai cabang ilmu lainnya. Semuanya seakan-akan menjadi sebuah logika yang dapat memberikan alasan untuk memilih.

Setelah nomor urut keluar. Maka kita akan melihat berbagai atribut akan berganti dan bertambah dalam berbagai bentuk. Mulai dari iklan televisi, bilboard, spanduk dan juga berbagai bentuk lainnya. Media gelap pun akan mendapatkan moment keuntungan sebagai media penyalur fitnah dan gosip politik.

Dalam ranah kompasiana, pertarungan ini hangat dari masing-masing pendukung. Berbagai analisis dan juga argumentasi hadir menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Bila membaca moment yang terjadi tahun 2009 dan tahun 2004. Semuanya berulang dalam membentuk dukung mendukung, serang argumentasi yang terkadang tidak berlandaskan fakta dan data.

Sejarah politik pemilihan Presiden yang menjadi Pemimpin Pelayan Urusan masyarakat Indonesia yang dimulai tahun 1999 pada masa Presiden Prof. Dr. Burhanuddin Jusuf Habibi menjadikan setiap orang memiliki hak untuk menentukan siapa yang dipercayakan amanah memimpin masyarakat Indonesia.

Yang menjadi persoalan adalah. Bila tidak terpilih menjadi Pemimpin apakah tetap menjadi panutan bagi yang telah memberikan amanah? Jawaban yang muncul adalah tidak. Amanah itu seperti menguap seperti kepermukaan. Karena sistem pemilihan langsung berangkat dari prespektif menang dan kalah.

Siapa yang menang ia mendapatkan segalanya. Siapa yang kalah ia menderita segalanya. Maka satu persatu terjadi luka kesejarahan. Megawati pernah bersama dengan Prabowo betarung untuk kembali memperebutkan kursi RI-1 dan RI 2. Namun ia tidak mendapatkan amanah yang banyak. Kemudian pada pemilihan kali ini mesti berhadapan satu sama lain.

Dulu bersama tahun 2009 dan sekarang jalan bersimpang dua. Masing-masing menikmati gemuruh dukungan dan juga sokongan yang luas untuk memenangkan pemilihan. Salib menyalib dukungan dari berbagai elemen sampai pada tingkat bawah adalah keniscayaan. Mesra sesaat kemudian bermusuhan untuk sementara waktu.

Dipuji sedemikian hebat, disanjung bak dewa dan tanpa kritik proposinal. Nasib inipun berlaku bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Kala menjadi bagian kekuatan yang mampu memenangkan pertarungan. Maka masing-masing akan memberikan dukungan dengan berbagai pujian hebat. Namun bila usia kekuasaan telah mulai tua dan memasuki masa petang.

Puja puji itu perlahan berganti dengan caci maki, penimpaan kesalahan dan juga ditinggal pergi. Peserta koalisi memilih jalan lain untuk ikut dalam koalisi yang memungkinkan untuk menang dan menikmati bagian kekuasaan.

Indonesia secara demokrasi dalam konteks masyarakat belum memasuki usia yang matang. Dimana demokrasi membutuhkan kekuatan oposisi untuk melakukan perimbangan kekuasaan. Oposisi memberikan prespektif dari luar. Oposisi memberikan persiapan untuk masuk kembali menggantikan dalam perebutan kekuasaan selanjutnya. Namun sayang tradisi ini tidak hidup dalam demokrasi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun