Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Malu dengan Mereka

26 Februari 2017   08:17 Diperbarui: 26 Februari 2017   18:00 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salam kemanusiaan !

Semoga kehidupan manusia di dunia ini masih terselimuti rasa kemanusiaan yang hangat, serta merasa nyaman di atas lindungan Tuhan yang Maha Adil dan Maha segalaNya.

Bapak presiden yang budiman perkenalkan saya Frengki yang pada kesempatan kali ini saya diberikan anugrah Tuhan untuk memeluk adik-adikku sebagai saudara tiri yang masih memiliki satu darah dengan saya yaitu satu darah nasionalis kebagsaan Indonesia.

Awal mula saya menginjakkan kaki ditanah seberang hati ini sangat tertegun heran dengan segala yang terjadi namun tak nampak di mata bangsa Indonesia. Mungkin memang akses yang sulit atau mungkin banyak orang yang berusaha menutup mata degan keadaan saudara tiri saya ini yang memang hal sulit untuk dipecahkan. Hari-hari saya disini selalu terisi dengan semagat yang membara, badan ini serasa mendapatkan sebuah kekuatan entah berasa dari mana munculnya ketika melihat saudara tiri saya disini semangat membuka pandangan-pandanganya tentang dunia terkhusus tentang Indonesia. Saudara tiri yang saya maksud ini adalah adik-adik anak TKI yang sangat semangat dan gigih serta tekun kencari ilmu untuk bekal mereka menggapai masa depan di kemudian hari.

Bapak presiden yang Budiman, sangat teriris sekali hati ini ketika mendengarkan kisah perjalanan mereka dalam mensukseskan program wajib pendidikan di tambah dengan inisiatif plus pendidikan 7 tahun. Kalau ditotal benak mereka ada 16 tahun masa wajib berpendidikan mulai sd, smp, sma serta masa kuliah S1 yang mereka impikan. Alhamdulillah dana bos selalu cair untuk CLC yang tersebar di sekolah-sekolah luar biasa yang berdiri di Sabah, Malaysia ini. Berlebel sekolah Indonesia mereka terus belajar menjadi Indonesia untuk bergerak meninggalkan keterpurukan keluarga yang banting tulang mencari penghidupan di negeri seberang.

Bapak presden yang kami segani, dibalik usaha pemerintah yang sangat luar biasa baik untuk menyisihkan APBN untuk pendidikan adik-adik (saudara tiri) kami yang ada disini. Masih banyak hal yang belum tersentuh oleh keddetailan pemerintah dalam mengasuh saudara tiri kami. Jujur saya sangat kaget dengan apa yang terjadi banyak orang tua siswa-siswi CLC ini yang mengeluhkan tambang (uang) Bus Mini satu-satunya akses mereka menuju sekolah yang mahal. Perlu bapak ketahui bahwa mereka kebanyakan bertempat tinggal jauh dari tempat berpendidikan.

Kalau di banding dengan di Indonesia seperti jarak Surakarta sampai Ponorogo mereka tempuh setiap harinya. Hal itu pun ditambah dengan akses yang sangat sulit karena mereka berada di tengah ladang sawit yang jauh dari kota. Selain itu kendaraan itu pun khusus, bahkan tidak setiap hari ada stand by di depan rumah. Kadang kala mereka harus telat datang ke sekolah karena mereka harus menunggu Bus Mini yang lewat. Ada pula yang naik Lory (kendaraan pengangkut buah Sawit) milik perusahaan sawit tempat Orang Tua mereka bekerja. Sungguh miris hati ini bapak.

Kalau di Indonesia bapak-bapak Polisi selalu memberikan penyuluhan mengenai bagaimana tata tertib pengemudia di jalan yang harus memiliki SIM dan tidak boleh mengendarai sepeda motor jika belum cukup umur. Mereka disini sangat biasa melihat pelanggaran-pelanggaran para pengemudi Bus Mini yang harus kucing-kucingan dengan Polisi yang bertugas pengemudi yang tidak memiliki SIM. Bahkan ada pula Siswa yang memilih menggunakan Motor sendiri untuk pergi ke sekolah karena memang itu satu-satunya alat bagi mereka yang jauh dari jalan raya. Para guru pun enggan menegur karena memang begitulah keadaan pengemudi yang tidak memiliki SIM.

Bahkan ada pula Siswa yang memilih menggunakan Motor sendiri untuk pergi ke sekolah karena memang itu satu-satunya alat bagi mereka yang jauh dari jalan raya. Para guru pun enggan menegur karena memang begitulah keadaannya. “Dari pada mereka tidak pergi ke sekolah lebih baik membiarkan mereka menggunakan motor untuk ke sekolah” kata itulah yang kerap terlontarkan dari  para guru yang mengabdi disana. Namun tak henti-hentinya para guru untuk mengingatkan mereka taat tata tertib yang telah dibuatdan disepakati bersama.

Insiden kucing-kucingan tersebut pun terjadi ketika Polisi Imigrasi mengadakan cheking kependudukaan. Para siswa dan orang tua siswa pun banyak yang lari ke dalam hutan menghindari Polisi agar mereka tidak tertangkap dan dipenjarakan di Rumah merah. Mereka memang salah karena tidak memiliki Paspor. Bukan mereka tidak mau mengurus, namun paspor merupakan suatu hal yang sangat mewah bagi para buruh yang bekerja di perkebunan milik pengusaha Malaysia. Sangat malah bagi para buruh untuk membiayai paspor mereka. Perlu diketahui mereka hidup di Sabah memiliki biaya hidup yang tergolong tinggi bagi touris yang  berkedudukan sebagai buruh perladangan. Itu pun jika mereka mengurus paspor haru ada jaminan dari perusahaan ketika mengajukan jaminan mereka harus membayar ke perusahaan yang menjamin mereka. Kalau dipikir jaminan yang identik dengan kesejahteraan pun menjadi proyek disini.

Ayah bangsa yang kami Hormati. Hal yang demikian ini menjadikan polemik bagi mereka yang saat ini sedang terlunta-luntak menunggu keadilan dari Tuhan. Antara menyambung kehidupan atau menaati peraturan negara namun dengan resiko kehidupan mereka akan semakin sulit di negara tetangga ini. Hal sulit ini tentunya mereka pilih dengan menyambung kehidupannya terlebih dahulu dibanding dengan menjalankan aturan yang dibuat oleh para pembesar-pembesar bangsa yang mungkin mereka anggap tidak terlalu berefek yang signifikan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Tidak ada yang bisa disalahkan. Kembali lagi ini semua dalah kebijakan hidup yang mereka pilih. Saya pun mengibaratkan mereka ini sebagai militan yang berani mati mengambil resiko di medan perang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun