Mohon tunggu...
Fajar Islam Sitanggang
Fajar Islam Sitanggang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

anak ke 4 dari 10 bersaudara. Mengidolakan sosok ayah yang tiada duanya, menyimpan sosok ibu penuh kasih nan lembut di dalam hati.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jurnal Hati

31 Desember 2011   20:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:30 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

MENGERTI

Sebuah Catatan di Tepi Kaki Langit

Bogor, 25 Desember 2011, 14: 10 WIB

Awan, sebuah mahakarya yang menangis, pilu. Bercucur dalam gemuruh yang menaikkan bulu roma. Entah karena ia peduli, atau mengerti. Entah karena ia tidak dipedulikan, atau tidak dimengerti.

Kecipak yang jatuh menghasilkan harmonisasi nada sendu, menambah dalam luka yang menganga di mata, dada, hati dan perasaan manusia yang hidup di atas tanah merah bangsa nan gemerlap ini. Ia menangisi tawanya manusia yang tidak sadar akan penyakit yang sebenarnya diderita. Ia menangisi gemerlap dunia pikiran manusia yang berdiri kokoh diatas keroposnya moral yang telah sompal disana sini tak tertambal. Ia menangisi manusia beridentitas pejuang didahinya, yang semakin menjeriti perjuangannya yang hampa tanpa bekas. Ia menangisi manusia tanpa tangis.

Ia menangisi manusia.

Tanpa pernah tahu, ia mengerti. Ia mengerti manusia harus hidup sebagai khalifah di bumi. Maka tangisnyalah menjelma molekul penyubur sumber-sumber makanan yang senantiasa dilahap manusia.

Ia mengerti manusia tak tahan marahnya matahari yang menyengat ubun-ubun, maka ia senantiasa memayungi teritori-teritori berdiamnya manusia. Ia mengerti manusia cinta keindahan, maka dilekuknya tubuhnya berlapis-lapis bermacam bentuk, sembari dimintanya angin untuk berhembus melelapkan manusia yang tertegun memandangi paduan warna peraknya.

Ia mengerti manusia.

Manusia tahu, banyak yang tidak mengerti. Banyak yang tidak mengerti sedang menari di tajamnya duri penyesalan yang menunggu dibawah kakinya. Banyak yang tidak mengerti betapa melencengnya ia dari jalan yang telah ditentukan Sang Pencipta untuknya. Banyak yang tidak mengerti, mencintai dunia tanpa mencintai bumi. Banyak yang tidak mengerti anyirnya luka bumi dan bangsa tempatnya menancapkan hidup. Banyak yang tidak mengerti, busuk itu mengundang burung bangkai mengawasi sekejap melahap manusia penuh pesimisme. Banyak yang tidak mengerti ia ditangisi.

Ditangisi, oleh yang mengerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun