Kekuasaan pada hakekatnya adalah milik Tuhan. Dialah yang menyandang gelar Yang Maha Kuasa. Setelah Tuhan menciptakan alam semesta, Tuhan mengamanatkan pemakmuran dunia kepada manusia sebagai wakil dan khalifatullah-Nya. Seiring perkembangan jumlah populasi manusia dan penyebarannya di seluruh penjuru bumi yang kemudian terkotak-kotak pada batasan wilayah geografis, dalam sekat budaya, suku, bangsa, hingga negara tertentu, menjadikan mekanisme pengelolaan dunia terbagi-bagi antar bangsa-negara. Lebih kecil sebagai sub negara, ada tingkatan pemerintahan negara bagian, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, hingga RT/RW. Bahkan kepemimpinan organik terkecil terdapat di dalam struktur rumah tangga atau keluarga kita masing-masing.
Pada struktur kepemimpinan yang lebih kecil, proses penentuan kepemimpinan relatif sederhana dan tanpa persaingan. Sifat kekeluargaan dan kebersamaan lebih dominan dibandingkan dengan persaingan, apalagi perebutan kursi kekuasaan. Lain halnya dengan penentuan kepemimpinan di tingkat yang lebih tinggi, seperti pemerintahan kabupaten/kota, provinsi, hingga negara. Meskipun kebanyakan negara di dunia menganut sistem demokrasi kerakyatan, dimana kedaulatan dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, persaingan perebutan tampuk kekuasaan berlangsung sangat ketat. Contoh dari persaingan pemilihan kepala daerah yang berlangsung super ketat dan menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke adalah Pemilu Kepala Daerah Jakarta beberapa waktu lalu.
Dengan lima pasangan peserta calon kepala daerah yang mengikuti perhelatan pemilihan di putaran pertama, mengharuskan penentuan calon gubernur harus ditentukan dengan pemilihan putaran ke dua. Dua pasang finalis Pemilukada DKI adalah pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Kampanye dan aksi dukung mendukung terhadap masing-masing jagoan menjadikan suasana perpolitikan di Jakarta, bahkan Indonesia, menjadi sedikit tegang dan memanas. Beberapa elemen pendukung tertentu bahkan sempat melotantarkan isu-isu yang menyinggung unsur yang sangat sensitif, yaitu SARA. Penggunaan isu SARA dalam aksi dukung-mendukung, bahkan dalam sektor kehidupan yang lebih luas, justru menunjukkan kekerdilan dan ketidakdewasaan pihak yang bersangkutan. Hanya saja nampaknya masyarakat sudah jauh lebih cerdas sehingga mampu menyaring, memilah dan memilih informasi yang obyektif atau terpercaya dan tidak mudah lagi diprovokasi. Rakyat hanya berbicara menuruti hati nurani. Hati nurani inilah hakikat kemenangan yang sejati dari sebuah proses demokrasi.
Akhirnya pemimpin baru DKI Jakartapun didapatkan. Pasangan Jokowi-Ahok unggul memenangkan kepercayaan rakyat. Dalam beberapa hari ke depan, tugas maha berat untuk memenuhi janji dan aspirasi rakyat akan segera dimulai oleh Jokowi – Ahok. Kompleksitas permasalahan di ibukota bukanlah sebuah pekerjaan ringan untuk siapapun pemimpin Jakarta. Kemacetan, banjir, polusi, kriminalitas, kerawanan sosial, hingga pembenahan birokrasi adalah tugas berat yang harus segera dipikul bersama-sama.
Janji-janji, visi misi, dan segala komitmen sudah diucapkan. Sebagai seorang demokrat dan ksatria sejati, seorang Jokowi tidak akan mungkin main-main dengan kata-katanya sendiri. Ibarat ludah yang sudah terlanjur terlontar, tidak akan mungkin ludah dijilat kembali. Sabda pandita ratu, ajining diri dumunung ana ing lati. Kata-kata dan janji adalah harga diri yang harus dibela, bahkan jika perlu hingga mati. Kesatuan antara kata-kata dan perbuatan adalah jiwa seorang ksatria yang memiliki hakikat kemanusiaan seorang manusia.
Jokowi memang bertubuh kurus kering, namun justru di dalam raga yang kurus kering itu terdapat keberpihakan akan rasa senasib sepenanggungan dengan derita yang dirasakan oleh rakyat kecil yang dipimpinnya. Penghayatan yang dalam terhadap semua rasa penderitaan yang dirasakan wong cilik adalah modal utama bagi seorang pemimpin yang akan benar-benar menempatkan setiap kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Kepemimpinan dalam khasanah bahasa Arab identik dengan kata imam. Iman memiliki akar kata yang sama dengan ummi. Kepemimpinan semestinya bersifat feminim, laksanana seorang ibu yang kaya dengan limpahan kasih sayang, ngemong, ngayemi, melindungi, dan membimbing semua anak-anak dengan adil tanpa pilih kasih. Seorang imam harus senantiasa menyatu dan bersama-sama dengan ummat-nya. Pemimpin bersatu padu, bahu membahu bersama rakyat sebagai perwujudan semangat manunggaling kawula lan gusti.
Kepemimpinan seorang Jokowi, sedikit banyak telah didengar dan diketahui publik selama masa pemerintahannya di Surakarta. Jakarta memang tidak bisa disamakan dengan Surakarta. Jakarta pastinya lebih rumit dan ruwet dengan berbagai permasalahan latennya. Namun pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki Jokowi dalam memimpin kota kelahirannya akan menjadi modal yang sangat penting untuk membangun Jakarta dengan semangat dan keyakinan yang baru menuju Jakarta yang lebih baik di masa depan.
Jakarta memang sangat jauh lebih kompleks dengan seribu satu masalah yang seolah tidak ketahuan kapan diciptakan dan sama sekali tidak dapat dimusnahkan. Keberhasilan pembangunan di ibukota menjadi barometer yang sangat penting bagi pelaksanaan pembangunan di wilayah lain. Maka satu-satunya harapan, doa, serta pengharapan untuk pasangan Jokowi – Ahok yang dapat saya ucapkan untuk tugas baru mereka adalah “selamat bekerja sangat keras”! Kerja keras saja nampaknya tidak akan cukup untuk mengubah Jakarta. Yang diperlukan paling tidak adalah bekerja sangat keras. Dengan dukungan semua elemen rakyat dan di bawah perlindungan ridha Tuhan Yang Maha Esa, Anda pasti bisa! Kita semua bisa!
Gambar dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H