Genderang perang telah berkumandang. Segenap pasukan siaga menanti aba-aba. Sayap barisan bersiap mengangkat senjata. Umbul-umbul dan panji-panji kebesaran prajurit berkibar tinggi menggapai langit. Kedua belah pihak berdiri dengan keyakinannya masing-masing. Benar atau salah adalah harga mati. Hidup mati menjadi tidak berarti. Itulah Baratayuda, simbol perang peradaban antara kebenaran melawan kebatilan, antara kebaikan melawan keburukan, antara Pandawa berhadapan dengan Kurawa.
Perang adalah pergulatan nilai. Baik, buruk, benar, dan salah terkadang harus ditentukan melalui pertempuran. Saudara, paman, kawan, kerabat, bahkan guru tiba-tiba berdiri berseberangan sebagai lawan. Semua lebur atas nama darma para ksatria. Namun sementara di tengah pasukan, seorang ksatria menjadi bimbang diri. Di tangannyalah komando perang berada. Namun ia ragu menghadapi para guru. Ia galau menghalau musuh yang sesungguhnya saudara sepupunya sendiri. Dialah ksatria Arjuna. Dialah sang panglima perang pemuka Pandawa yang galau justru pada saat detik-detik yang sangat menentukan.
Adalah Krisna, titisan Wisnu membabarkan syair Bhagawad Gita. Arjuna tersadar akan darmanya sebagai seorang ksatria perwira. Darma menegakkan kebenaran adalah bakti utama mengalahkan bakti kepada paman, guru, dan saudara. Kebenaran tidak bisa dicampuradukkan dengan kebatilan. Keadilan tidak akan pernah bersatu dengan kelaliman. Kejujuran akan memisahkan diri dari kebohongan. Biarpun paman, biarpun guru bahkan saudara sendiri, apabila memihak kepada keangkara-murkaan, maka bakti seorang ksatria adalah menghancur-leburkannya hingga sirna dari muka dunia.
Arjuna adalah panglima pasukan Pandawa di Kurusetra. Sebagai seorang manusia biasa, ia memiliki sisi manusiawi sebagaimana manusia kebanyakan. Adalah sebuah kewajaran apabila panglima titisan Dewa Indra sekalipun, ia memiliki rasa galau dan ragu. Namun satu yang pasti, keraguan bagi seorang pimpinan tidak boleh berlarut-larut dan terlalu lama. Dengan cepat seorang pemimpin harus segera sadar dan mengambil tindakan cepat dengan penuh pertimbangan dan kebijaksanaan. Semua harus dilakukan demi kepentingan yang jauh lebih besar. Demi negara, demi bangsa, demi kebenaran, kejujuran, kebaikan, serta demi peradaban manusia atas nama Tuhan semesta alam.
Penggalan kisah Baratayuda itu sangat bisa kita refleksikan kepada realitas kepemimpinan kita saat ini. Betapa keraguan dan ketidaktegasan menjadi penyakit akut pada kebanyakan pemimpin kita. Ada Pak Lurah gundah! Ada camat tidak cermat! Banyak bupati tidak hati-hati! Para gubernur pada ngawur! Jajaran menteri tidak tahu diri. Bahkan di pucuk pimpinan nasional kini, kita semua tahu dan yakin bahwa ada kegalauan di kalbu seorang Susilo Bambang Yudhoyono!
Masalah korupsi merajalela. Banyak kerabat dan kroni pejabat berlaku korup dan manipulatif. Polisi ragu bertindak! Jaksa bimbang membuat tuntutan! Hakimpun tak adil dalam pengambilan keputusan. Maka semua orang bilang hukum telah mati di negeri ini. Hukum tidak lagi dapat ditegakkan. Masalah begitu ruwet dan kompleks di negeri ini. Kombinasi masalah ruwet dan lemahnya kepemimpinan adalah ladang subur bagi menjamurnya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Bila lurah gundah, camat tidak cermat, bupati tidak hati-hati, gubernur ngawur, hingga para menteri tidah tahu diri, apakah masih ada ruang bagi seorang presiden untuk galau dan ragu dalam setiap pengambilan keputusan? Pucuk pimpinan mana lagi yang bisa diharapkan bisa memimpin? Presiden di negeri ini katanya dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat memberikan mandatnya secara langsung kepada sang presiden. Angka 62% apakah tidak cukup bagi presiden kita untuk tegas dalam membela setiap kepentingan rakyat?
Desakan dan aspirasi rakyat menghendaki diberantasnya korupsi tanpa pandang bulu. Rakyat menginginkan tegaknya hukum dan rasa keadilan. Kita semua ingin kemakmuran yang merata. Semua berharap akan terwujudnya sebuah tata pemerintahan yang bersih dan jujur. Kitapun tahu persis bahwa semua rakyat mendambakan kepemimpinan di setiap tingkatan ditempati oleh personil-personil yang profesional dan kompeten untuk mewujudkan harapan-harapan rakyat. Jadi bila masih ada menteri yang cacat moral, ada menteri yang tersangkut kasus korupsi dan isu suap, mengapa presiden masih ragu untuk melengserkannya? Kepada siapa seorang presiden berhikmat jika bukan kepada rakyat?
Perang Barayuda kita saat ini adalah memerangi korupsi, menegakkan hukum, mengentaskan kemiskinan, memberantas kebodohan, meratakan kesejahteraan, menumpas terorisme dan lain sebagainya. Siapapun pihak yang berdiri atau memihak kepada koruptor, kepada pihak yang menginjak-injak hukum, menindas rakyat miskin, memperbodoh saudara sebangsanya sendiri, memonopoli kesejahteraan, melancarkan aksi teror, berarti merekalah musuh bersama. Merekalah pihak yang harus diperangi dan ditumpas. Jangan lagi lihat mereka sebagai saudara, teman, kerabat, guru, kroni dan ikatan-ikatan kepentingan yang sempit. Memang perang tidak harus membabi-buta, namun dalam perang sangat diperlukan kepemimpinan dan ketegasan sikap seorang pemimpin.
Isu reshuffle kabinet begitu santer terdengar di pekan-pekan ini. Semua mata rakyat dengan sangat telanjang tahu pasti siapa-siapa pembantu presiden yang tidak kompeten. Kenapa tidak segera diganti? Presiden sedang mengkaji apa yang akan diputuskannya secara cermat dan hati-hati agar tidak terjadi gejolak politik yang justru merugikan kepentingan nasional. Percayakah rakyat dengan jawaban itu? Ataukah rakyat sudah sangat paham bahwa sang presiden sedang dirundung kegalauan? Presiden sedang kembali melakukan perhitungan dan pertimbangan politik dagang sapi. Presiden telah terjebak kontrak kecil dengan sepasukan partai koalisi pendukungnya, padahal kontrak besar seorang presiden adalah dengan rakyatnya! Sekali lagi, presiden sedang galau dan risau!
Jika Arjuna galau di medan Baratayuda, masih ada Krisna titisan Wisnu yang membesarkan hatinya untuk lepas dari rasa gundah dan galau. Jika presiden dirundung rasa galau, maka marilah rakyat memberikan pencerahan kepadanya agar menemukan setitik petunjuk untuk memutuskan segalanya dengan cepat dan cermat. Di atas segala kebimbangan, keraguan dan kegalauan, tindakan presiden harus selalu berhikmat kepada kepentingan rakyat! Jika presiden berani mengambil sikap demikian, pastilah rakyat akan mendukung setiap kebijakan yang diambilnya dengan penuh rasa hormat dan sikap taat.