Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bertandang ke Benteng Ujung Pandang - Fort Rotterdam

4 Januari 2013   05:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:32 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya kopdar blogger, tidak afdzol dan lengkap bila tidak dilengkapi dengan jalan-jalan alias jelajah tempat wisata, atau touring. Dalam kesempatan gelar akbar Kopdar Blogger Nusantara II di Makassar beberapa waktu lalu, peserta dari berbagai penjuru tanah air diperkenalkan dengan beberapa permainan tradisi dan tempat tujuan wisata di sekitar kota Makassar pada hari ke dua. Kawasan pesisir pantai barat Makassar merupakan garis destinasi wisata yang cukup lengkap, mulai dari pantai Akkarena, Trans Studio Makassar, pantai Losari, Masjid Apung, hingga Benteng Fort Rotterdam dan Sombuoppu serta “kawasan Lampu Merah”.

Benteng Fort Rotterdam merupakan bangunan sisa-sisa peninggalan sejarah yang sangat berarti bagi masyarakat Makassar. Benteng ini merupakan pralambang bukti kegigihan rakyat Makassar dalam melawan kekuasaan Kompeni Belanda. Pada awalnya benteng ini dibangun oleh Sultan Daeng Bonto Karaeng (Raja Kerajaan Gowa-Tallo ke IX) pada tahun 1545. Benteng juga sering disebut sebagai Benteng Panyyua yang berarti penyu. Hal ini dikarena bentuk struktur bangunan benteng yang apabila dilihat dari atas berbentuk penyu. Penyu sendiri merupakan lambing Kerajaan Gowa-Tallo yang memiliki makna bahwa Kerajaan Gowa-Tallo adalah Negara besar yang jaya di darat maupun di laut.

Semula benteng ini tersusun dari bahan tanah liat. Pada masa Sultan Allauddin (Sultan ke XIV), bangunan benteng sempat dipugar dan digantikan dengan bahan batu karst. Dulunya benteng ini memiliki nama Benteng Ujung Pandang dan digunakan sebagai markas besar pasukan katak (amfibi) yang mendukung kekuatan angkatan laut kerajaan. Seiring kekalahan Sultan Hasanuddin yang harus menandatangi Perjanjian Bungayya, Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Kompeni Belanda.

Di bawah kekuasaan Kompeni Belanda, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Benteng Fort Rotterdam pada masa Jenderal Cornelis Speelman untuk mengenang kota kelahirannya di negeri Belanda. Pada masa tersebut, selain untuk pertahanan militer, benteng juga difungsikan untuk menampung berbagai rempah-rempah yang dikuasai Kompeni.

Kebesaran dan keanggunan Benteng Fort Rotterdam masih terlihat dari patung berkuda putih yang selalu siap setia menantang jaman di sisi kanan gerbang utama. Gerbang utama berupa lorong lengkung dengan ketinggian sekitar 3 meter. Dulunya sebelum memasuki gerbang utama, setiap orang yang akan memasuki benteng harus menyeberangi jembatan yang melintang di atas parit lebar. Gerbang utama semula juga dilengkapi dengan pintu besar yang sangat tebal.

FR5
FR5

Memasuki kawasan Benteng Fort Rotterdam, pengunjung tidak dikenakan tiket masuk sama sekali. Di kawasan ini kita dapat menikmati jejak sejarah yang akan senantiasa menggelorakan semangat nasionalisme dan patriotisme, serta rasa cinta tanah air. Keperkasaan bangunan dinding benteng maish terlihat sengan sangat jelas. Berdiri tegak mengelilingi kawasan lebih dari 3 ha, dinding setebal 3 meter juga dulunya difungsikan sebagai jalan untuk mengawasi suasana di luar benteng. Di setiap sudut dan beberapa titik strategis, ditempatkanlah meriam yang moncongnya siap menantang siapapun lawan yang berani menyerang benteng.

Di sebuah sudut benteng terdapat sebuah bangunan tua yang berdiri tinggi menjulang. Di dalam bangunan inilah dulunya Pangeran Diponegoro menjalani masa pembuangan hingga akhir hayatnya. Seperti kita ketahui atas tipu muslihat Jenderal de Kock, Diponegoro berhasil ditangkap Kompeni Belanda di Kedu. Setelah itu, beliau dan beberapa pengikut setianya diasingkan ke Manado. Beberapa tahun kemudian, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar hingga meninggal dan dimakamkan di kota ini juga.

Di sisi selatan kompleks Benteng Fort Retterdam terdapat bangunan tua yang difungsikan sebagai museum. Museum tersebut diberi nama Museum La Galigo. La Galigo merupakan hikayat rakyat yang tumbuh dan diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhur suku Bugis dan Makassar. La Galigo mengisahkan asal-usul penciptaan manusia dan juga berfungsi sebagai almanak praktis untuk penanggalan sehari-hari. Museum ini menyimpan berbagai koleksi lukisan klasik hingga modern maupun beragam artefak peninggalan masa lalu. Untuk memasuki ruang museum, pengunjung dikenakan tiket masuk seharga Rp. 5.000,-.

Selain sebagai media pembelajaran sejarah, Benteng Fort Rotterdam juga berfungsi sebagai ruang public yang banyak digunakan untuk menyelenggarakan berbagai event, seperti pentas seni budaya, pameran kerajian dan produk lokal, hingga berbagai diskusi dan seminar. Benteng Fort Rotterdam sebenarnya merupakan tujuan wisata yang sangat menarik. Hanya sangat disayangkan pemeliharaan terhadap bangunan benteng terkesan hanya ala kadarnya. Terlihat di beberapa titik terdapat bagian dinding yang terkelupas, bahkan retak dan nyaris runtuh. Di samping itu, suasana udara di dalam benteng juga sangat panas dikarenakan sangat minimnya tumbuhan dan pohon peneduh yang dapat memberikan kesan asri, sejuk dan rindang (sangat lain jika dibandingkan Benteng Vredeberg di Jogjakarta).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun