Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ono Dino, Ono Tresno

18 Desember 2012   00:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:27 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CINTA SEBAGAI PUSARAN NAFAS KEHIDUPAN

Sebuah segmen penampilan Kang Nanang HP and Band di acara Kenduri Cinta edisi Desember 2012 malam itu, merupakan sebuah aksi yang paling penuh greget dan paling berkesan. Band yang khusus mengusung lagu yang diangkat dari kisah-kisah dunia perwayangan ini mencoba menyelami lebih dalam filosofi pewayangan yang dikontekstualisasikan dengan keadaan edaning jaman yang tengah kita hadapai saat ini.

Selepas membawakan sebuah lagu berjudul “Asususilo”, Kang Nanang memberikan prolog, “Segala kisah di dunia tidak bisa dilepaskan dari urusan cinta. Para pepundhen, para nenek moyang kita telah memberikan rumusan “ono dino ono tresno”, ada hari ada cinta.”

Pernyataan itu merupakan konsep hidup dan kehidupan yang sangat hidup. Jika ono dino ono tresno kita larik jauh ke belakang dimana makhluk pertama diciptakan oleh Tuhan, sudah pasti alasan dasar yang melandasi kenapa Tuhan menciptakan makhluk-makhluk-Nya adalah karena cinta. Ingatlah bahwasanya Tuhan memiliki sifat Ar-rahman Ar-rahiim, sebuah dimensi cinta yang meluas sekaligus sangat mendalam. Sifat cinta inilah yang menyatu di dalam setiap penciptaan makhluk, termasuk yang bernama manusia.

Namun seiring perkembangan jaman yang lebih mengarah kepada penilaian segala sesuatu hanya berdasarkan wujud materialistik semata, paugeran ono dino ono tresno tersebut berubah menjadi ono dino ono upo. Cinta tergeser oleh urusan pangan atau perut. Hidup menjadi sekedar urusan untuk mencari dan memenuhi kebutuhan perut, atau dalam artian yang lebih luas lebih mengutamakan raga dibandingkan jiwa. Hidup menjadi lebih pragmatis dengan urusan kebendaan. Hidup menjadi sangat materialistik.

Lebih lanjut ditembangkan dengan sangat apik lantunan syair ono dino ono upo. Bagaikan jelmaan Kang Jiwo Tejo yang mangejawantah, penuh penghayatan dan kesempurnaan ekspresi, Kang Nanang HP melantunkan, “Ono dino ono tresno….(ora!). Ono dino ono upo….(iyo!). Ono dino ono upo. Ono upo ono doyo. Ono doyo ono kerjo. Ono kerjo ono bandha. Ono bandha ono tresno!” Ada hari ada cinta….(tidak!) Ada hari ada nasi…..(iya!) Ada nasi ada daya(tenaga). Ada daya ada kerja. Ada kerja ada harta. Ada harta ada cinta.

Urusan cinta memang ruwet dan sangat kompleks. Jika dalam rumusan Tuhan, sebagaimana masih dihayati dan diamalkan oleh manusia-manusia terdahulu, segala nafas gerak kehidupan ada karena cinta dan sebagai manifestasi rasa cinta, maka rasa cinta manusia di masa kini telah bergeser dari hakikat rasa cinta yang sejati, rasa cinta yang tulus, rasa cinta yang tidak memerlukan prasyarat apapun. Cinta hadir jika dan hanya jika prasyarat-prasayaratnya dipenuhi. Apakah yang menjadi prasyarat hadirnya rasa cinta? Dari syair di atas jelas tergambar bahwa keberadaan nasi(pangan), tenaga, kerja, harta merupakan prasayarat hadirnya rasa cinta.

Sudut pandang, jarak pandang dan cara pendang manusia sekarang jelas berbeda dengan titah Tuhan yang dipahami manusia nenek moyang di masa lalu. Jika bagi mereka dengan landasan cinta justru bisa melahirkan hari(kehidupan), nasi(pangan), daya(tenaga), kerja(karya), dan harta(kekayaan). Dapat dikatakan bahwa cinta merupakan mata air bagi serangkaian rantai kehidupan. Dengan teori ini, cinta merupakan landasan sekaligus prasayarat keberlangsungan kehidupan yang harmonis. Hidup dan kehidupan merupakan pancaran radiasi cinta yang semakin meluas dan melebar memenuhi seantero ruang dan waktu kehidupan. Cinta adalah nafas dan gerak hidup kehidupan.

Namun sungguh sayang apa yang terjadi dengan manusia masa kini yang konon dikatakan sebagai manusia yang lebih “modern”. Sebagaimana syair yang diawali dengan cinta, namun di bagian ujung belakang seolah dinegasikan kembali ke titik awal, sehingga penekanan yang terlihat justru bahwa “ada harta ada cinta, ono bandha ono tresno”. Bahwa prasyarat cinta adalah harta. Tidak ada harta, tidak ada cinta dan rasa kasih sayang. Betapa sangat materialistiknya kita!

Memang para winasis di masa lalu juga sangat menyadari bahwa jer basuki mowo bea, segala sesuatu memerlukan pengorbanan. Dalam khasanah manusia modern, sudah pasti setiap sesuatu tidak ada yang gratisan, secara lebih sederhana setiap sesuatu membutuhkan uang, memerlukan modal kekayaan atau harta, dan tentu saja butuh material. Namun jika kemudian kebendaan dipegang sebagai prasyarat kehidupan yang “hakiki”, maka yang sebenarnya terjadi adalah manusia telah merendahkan martabatnya menjadi serendah-rendahnya makhluk Tuhan. Manusia menjadi kehilangan kemanusiaannya. Lalu apa bedanya manusia dengan binatang ataupun tumbuhan? Bahkan dimana posisi manusia dibandingkan setan dan iblis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun