Indonesia, siapakah dia? Atau apakah dia? Indonesia yang mana, dalam konteks ruang dan waktu pembicaraan, batasan ini menjadi sangat penting untuk memposisikan diri sebagai obyek pergulatan pemikiran. Indonesia tidak hanya terbatas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Indonesiapun pastinya bukan hanya sekedar sebuah bangsa yang diikrarkan pada Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Indonesia adalah sebuah jati diri, bahkan mungkin sebagai suatu entitas nilai penyangga peradaban manusia yang sangat penting. Indonesiapun merupakan cita-cita kebersamaan untuk meraih kesejahteraan, sebuah bangsa yang adil makmur, tata titi tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi, baldatun toyyibatun warabbun ghofur.
Apa kabar Indonesia hari ini? Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, kita mungkin sepakat bahwa Indonesia hari ini adalah sebuah negari yang sarat dengan berbagai keruwetan permasalahan yang tak kunjung berkurang. Korupsi, kolusi serta nepotisme, lemahnya penegakan hukum, kepemimpinan yang tidak memiliki ketegasan, arah visi dan misi pemerintah yang terlalu mengawang-awang di cakrawala awang-uwung. Ada juga masalah pengangguran hingga tawuran yang semakin banyak menghiasi layar televisi. Demikian halnya masih rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan yang semakin tidak terjangkau bagi angan-angan wong cilik.
Tidak hanya di tingkat akar rumput, baik di kalangan pelajar, mahasiswa dan antar warga kampung, tawuran tingkat tinggi juga ditunjukkan di tingkat kelembagaan birokrat akhir-akhir ini. Simak saja berita perseteruan Cicak-Buaya jilid ke dua antara institusi KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia. Sebagai alat negara yang menopang keberlangsungan tegaknya pilar bangsa dan negara, seharusnya Presiden sebagai pimpinan negara ataupun pemerintah, harus mengambil ketegasan untuk menyelamatkan sekaligus memutus perseteruan tersebut. Di sinilah komitmen Presiden dalam hal memerangi korupsi harus benar-benar bisa menjelma menjadi kebijakan dan tindakan nyata yang langsung bisa dirasakan oleh rakyat. Segala kepentingan rakyat, bangsa, dan negara harus diutamakan jauh di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Banyaknya permasalahan negara yang dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya ketegasan kebijakan penyelesaian permasalahan yang tuntas, membuat rapuhnya bangunan negara kita. Negara seakan tidak hadir secara nyata dalam membela, menjamin, serta menjunjung tinggi hak-hak rakyat atau warga negara. Indonesia seakan lenyap ditelan bumi jika sudah berurusan dengan sebuah tanggung jawab. Para elit, pemimpin, dan pejabat-pejabat di dalam birokrasi negara seakan lepas tangan, saling mengkambing-hitamkan permasalahan dan tuding-menuding tanpa menghiraukan sifat amanat terhadap jabatan dan pangkat yang dipangkunya. Indonesia seakan menjadi hilang!
Benarkah Indonesia benar-benar hilang? Di tingkat akar rumput, rakyat secara umum tetap menjaga tegaknya pilar keindonesian. Rakyat yang taat membayar pajak, serta patuh kepada semua peraturan perundang-undangan, adalah bukti nyata yang tidak terbantahkan lagi. Pancasila di tangan rakyat tidak sekedar hanya hafalan ataupun konsep kosong, tetapi benar-benar menjadipengamalan yang memperkuat jatidiri dan kemandirian bangsa. Rakyat masih memegang erat sikap dan sifat semangat kebersamaan, kegotong-royongan, keguyuban hingga pengorbanan kepada Indonesia. Rakyat jelas-jelas tidak ada masalah dengan Indonesia. Lalu bagaimana Indonesia di tangan para elit dan pemimpin bangsa?
Dalam kesempatan diskusi Kenduri Cinta bulan Oktober di Taman Ismail Marzuki, budayawan Emha Ainun Nadjib menegaskan bahwa yang harus memahami, mendalami dan mengamalkan nilai-nilai keindonesiaan adalah para elit pemimpin masyarakat, partai, birokrat, pengacara, penegak hukum, pada semua tingkatan. Intinya para pemimpinlah yang harus mengamalkan kembali nilai-nilai Pancasila dengan semangat ke-bhineka tunggal ikha-annya.
Adanya berbagai friksi dan benturan di tengah masyarakat, tawuran antar warga, pelajar, bahkan mahasiswa tidak terlepas dari teladandan contoh yang dilakukan oleh para pemimpin yang sering “diiklankan” di layar televisi dari hari ke hari. Rakyat sebagai komponen pribadi, sekaligus komponen terkecil dari sebuah sistem negara, sesungguhnya masih memiliki kesucian hati nurani yang senantiasa membimbing pikiran, ucapan, hingga tingkah lakunya. Kalaulah para pemimpin memberikan contoh atau keteladanan yang baik, rakyat sebenarnya sudah beberapa langkah di depan mereka. Pemimpin menjadi kehilangan kepemimpinannya karena sikap kemaruk kekuasaan, serakah terhadap harta dan kekayaan, yang berpangkal dari sikat ketidakamanatan, atau bahkan pengkhianatan amanat rakyat.
Hilangnya Indonesia, atau lebih tepatnya nilai-nilai keindonesiaan, tidak lebih dan kurang terjadi di tingkat kepemimpinan. Kondisi ini menyebabkan ketiadaan peran negara dalam penyelesaian berbagai problematika di tengah rakyat. Negara banyak absen dalam urusan-urusan yang menyangkut urusan wong cilik. Lihat bagaimana suramnya permasalahan buruh, TKI/TKW, penggusuran, sengketa lahan, bahkan persengketaan dengan isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Dalam hal-hal tersebut, negara seolah tidak berpihak dan memerankan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini bisa mengesankan bahwa negara seolah hanya dimiliki oleh segelintir elit golongan kelas orang-orang berada saja.
Jika Indonesia hanya tersisa di dalam sanubari rakyat di akar rumput, maka jangan pernah berharap negeri ini akan bangkit memecahkan setiap permasalahannya. Bagaimana mungkin negara akan membangun untuk mengejar segala cita-cita bangsa, jika persoalan-persoalan mendasar dan krusial tidak pernah terselesaikan secara tuntas, bahkan menjadi permasalahan yang laten dan terjadi secara berulang-ulang di berbagai wilayah tanah air. Betapa kita sebenarnya tidak pernah mau belajar mengambil hikmah dari berbagai peristiwa dan kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami. Jika Indoensia telah hilang, kembalilah ke kedalam hati nurani untuk menemukannya kembali. Setiap komponen bangsa harus meruwat setiap noda dan kesalahan yang pernah dilakukan untuk kemudian memulai lembaran hidup yang baru. Hanya dengan bersandarkan kesucian hatinurani, Tuhan Yang Maha Esa akan memberikan petunjuk dan bimbingannya dalam memecahkan setiap permasalahan bangsa. Hanya kepada Tuhan-lah kita bersandar dari setiap usaha yang kita lakukan. Indonesia ada atau tidak ada sangat tergantung kepada setiap komponen bangsa ini. Hanya dengan cara demikian “Indonesia yang hilang akan kembali pulang”.
Ngisor Blimbing, 14 Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H