Apa sih yang kita cari dalam kegiatan wisata? Orang pada umumnya berwisata untuk menghibur diri, mengurangi rasa jenuh oleh rutinitas harian, mencari inspirasi, bahkan ketenangan dan keteduhan batin. Untuk mencapai itu semua, sudah sewajarnya kita ingin mengunjungi tempat wisata yang nyaman dengan ditunjang kebersihan lingkungan yang asri, teduh dan indah. Akan tetapi di balik semua harapan tersebut, kita masih sering menjumpai adanya tempat tujuan wisata yang ternodai oleh serakan ataupun tumpukan sampah yang justru sangat merusak pemandangan dan sangat mengganggu kenyamanan pengunjung.
Berbincang mengenai sampah di tempat wisata, ternyata permasalahan yang terjadi di lapangan tidaklah sesederhana apa yang kita bayangkan. Di samping ketiadaan tempat sampah yang memadai, hal terpenting yang belum ada adalah belum adanya sistem penanganan sampah yang baik, serta kesadaran masyarakat, baik pengunjung, pelaku usaha, serta stakeholder di lapangan yang masih rendah sehingga seringkali melakukan pembuangan sampah secara sembarangan.
Demikian kira-kira poin perbiicangan yang diangkat dalam Monthly Disscussion (MODIS) yang diselenggarakan Kompasiana bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang berlangsung di Auditorium Susilo Sudarman, Jalan Merdeka Barat, Sabtu 4 Agustus 2012 menjelang bedug Maghrib. Tema yang sangat menarik untuk didiskusikan ini menghadirkan lima orang narasumber, masing-masing dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Lingkungan Hidup, Asosiasi Sampah InSWa, Pocari Sweat, dan Ratu Sampah.
Pariwisata merupakan bisnis bersama yang memerlukan partisipasi aktif semua pihak yang terlibat. Termasuk persoalan sampah di tempat wisata ini. Keberadaan sampah yang berserakan dan tidak tertangani dengan baik tentu akan menjadikan tempat tersebut kotor, kumuh, berbau dan berujung kepada merosotnya citra pariwisata. Bila citra pariwisata jelek, sudah pasti akan sangat berpengaruh kepada jumlah kunjungan wisatawan yang selanjutnya akan berdampak kepada meredupnya bisnis kepariwisataan yang terkait. Tempat wisata sepi, pedagang merugi, penginapan tidak ada pengunjungnya, dan seterusnya yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat luas.
Sampah berasal dari sisa-sisa aktivitas manusia yang tidak terpakai lagi. Ada plastik, kertas, botol, kaleng, hingga pempers dan pembalut wanita. Sampah tersebut tergolong menjadi sampah yang dapat terurai (degredable) dan sampah yang tidak dapat diurai (non degredable). Untuk mengelola sampah dibutuhkan penerapan prinsip-prinsip reduce, reuse, dan recycle. Reduce artinya kita mengurangi timbulan sampah yang terjadi dari aktivitas kita. Reuse ditujukan untuk menggunakan ulang sampah yang masih bisa dimanfaatkan, seperti penggunaan kantong plastik secara optimal dan berulang-ulang. Dan jikapun harus ada sampah yang timbul, maka sampah tersebut harus didaur ulang, diurai agar menjadi bahan dasar yang dapat dipergunakan lagi atau setidaknya tidak merusak alam. Paradigma bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak berguna dan harus dibuang harus diubah bahwa sampah memiliki nilai ekonomi yang bisa didayagunakan dan memberikan keuntungan apabila dikelola dengan baik dan benar.
Pengelolaan sampah secara terpadu harus mensinergikan beberapa aspek yang terkait, mulai dari aspek hukum, kelembagaan, pendanaan, sosial budaya dan teknologi. Dari sisi aspek hukum, diperlukan landasan peraturan perundang-undangan yang mencukupi, mampu laksana dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat luas. Negara kita sebenarnya telah memiliki Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Sampah. Hanya saja sangat disayangkan bahwa masyarakat luas tidak mendapatkan sosialisasi yang baik dan memadai. Di samping itu perangkat aturan yang lebih rendah, seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri terkait, hingga perda, juklak dan juknis belum tersedia secara lengkap. Demikian halnya sistem kelembagaan, penyadaran sosial budaya masyarakatpun belum tertangani memadai.
Bicara tentang permasalahan sampah, kita masih terbatas kepada aspek teknologi. Namun semestinya permasalahan sampah hanya bisa tertangai dengan baik apabila kesemua aspek dikelola secara baik, terpadu dan sinergis. Dengan demikian diperlukan pola komunikasi dan sosialisasi yang baik kepada semua lapisan masyarakat bahwa sampah adalah permasalahan bersama dan hanya dengan cara kebersamaan pula kita dapat memecahkannya. Di sinilah peran para blogger diharapkan dapat turut menyebarluaskan informasi kepada kalangan yang lebih luas untuk menanamkan kesadaran, keprihatinan bersama yang kemudian diharapkan bisa terwujud gerakan bersama untuk membersihkan lingkungan. Tidak terhenti sampai di sini, gerakan ini diharapkan bisa menjadi kebiasaan bersama dan lambat laun menjadi budaya positif.
Sedikit menengok negara Jepang yang diakui memiliki budaya yang sangat tinggi perihal kebersihan lingkungan. Negeri Sakura ini telah memiliki undang-undang persampahan yang telah eksis lebih dari seratus tahun. Dalam perkembangannya bahkan sudah muncul undang-undang yang lebih spesifik mengenai sampah plastik, sampah kerta, sampat hijau, sampah kimia dan lain sebagainya lengkap dengan aturan teknis yang lebih rinci di bawahnya.
Perjalanan yang panjang dalam pengelolaan sampah ini telah menjadikan masyarakat Jepang memiliki kesadaran yang sangat tinggi dalam menangani sampah yang dihasilkannya dari kegiatan pribadi, rumah tangga hingga bisnis, perkantoran, dan tentu saja di tempat tujuan wisata. Maka jangan heran jika lingkungan tempat tinggal, termasuk fasilitas umum, di Jepang terkenal sangat bersih hingga menjadikan suasana nyaman, asri, teduh dan indah. Penulis pernah mengunjungi beberapa tujuan wisata di sekitar Tokyo, seperti Asakusa, Meiji Jingu Shrine, hingga kota tua Kawagoe di Saitama Perfecture nampak lingkungannya sangat bersih.
Hal yang sedikit aneh adalah di sana justru tidak mudah menemukan tempat sampah. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ketiadaan tempat sampah tidak menimbulkan sampah berserakan di tempat wisata? Inilah kunci kesadaran kebersihan yang sudah menjadi kebiasaan, bahkan mengakar sebagai budaya positif yang hidup terpelihara di tengah masyarakat. Orang Jepang terbiasa bertanggung jawab menangani sampah yang dihasilkan dari kegiatan pribadinya. Jikapun mereka berada di tempat umum, maka sampah akan disimpan di dalam tasnya untuk dibuang di tempatnya atau bahkan dibawanya pulang untuk ditempatkan di tempat sampah rumahnya atau justru dikelola sendiri. Rombongan penulis yang pada waktu itu menjadi tamu mereka bahkan dianjurkan oleh sang pemandu untuk menyimpan sampah yang kami hasilkan selama perjalanan wisata kami di dalam kantong untuk kemudian di bawa ke hotel dan dibuang di tempat sampah yang dikelola hotel tempat kami menginap. Luar biasa memang! Bagaimana dengan kita? Nampaknya kita perlu belajar banyak hal dari orang-orang Jepang tersebut dalam hal menangani sampah di tempat wisata!
Sangat tepat pernyataan dari adik Ratu Sampah kita, “ Jika kita bukan sembaran orang, maka jangan membuang sampah sembarangan!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H