Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mendirikan Indonesia

14 Juli 2012   14:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:57 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan forum Kenduri Cinta namanya jika tidak mengangkat tema diskusi yang kontroversial, menarik, bahkan ada yang mengatakan “berat”. Termasuk Kenduri Cinta edisi Juli 2012 kali ini yang mengusung tema “MENDIRIKAN INDONESIA”. Dari judul tersebut dapat dieksplorasi seribu satu pertanyaan yang sangat kritis. Apakah Indonesia belum berdiri? Apakah Indonesia bahkan sudah roboh, sehingga harus didirikan? Siapa yang bisa mendirikan Indonesia? Dengan apa Indonesia didirikan? Pilar apakah yang menyangga bangunan Indonesia? Indonesia yang dimaksud itu apa? Dan sebagainya, segala hal pertanyaan senada.

Berbekal pertanyaan-peratanyaan cerdas itulah, diskusi dari sesi pertama, kedua, hingga ketiga berlangsung dengan sangat dinamis, hangat, dan penuh antusiasme semua jamaah yang hadir. Lebih bermakna, penuh berbagai butiran kristal-kristal nilai, ilmu dan hikmah kesejatian hidup karena dalam diskusi tersebut beberapa Maha Guru hadir berkenduri di malam itu, sebut saja ada Cak Nun, Cak Fuad, Syeckh Noorsamad, juga Mas Beben dan Ki Dalang Jiwo Tedjo.

Seandainya yang dimaksudkan dengan Indonesia adalah bangunan negara kita, benarkah kita telah memilikinya? Jika negara mempunyai tugas dan amanat untuk mengantarkan seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali, ke pintu gerbang kesejahteraan yang adil dan beradab, sudahkah hal itu kita rasakan? Bagaimana dengan pemenuhan hak setiap warga negara, pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya? Kita semua bahkan mungkin sangat sepakat bahwa kewajiban negara, melalui para penguasa dan pejabat pemerintahannya, belum tertunaikan dengan sebaik-baiknya. Jangankan memikirkan nasib rakyat, di negeri ini, jabatan dan kekuasan justru banyak dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri, korupsi, penggelapan, penyelewengan, dan segala tindakan merugikan yang justru meruntuhkan sendi-sendi bangunan negara. Negara seolah sudah tidak hadir lagi menjalankan peranannya. Negara sudah runtuh, atau bahkan negara sudah tidak ada lagi!

Jika memang demikian adanya bahwa negara sudah runtuh atau sudah tidak ada lagi, apakah sebagai rakyat negeri ini kita hanya menjadi saksi dan sekedar berpangku tangan? Tentu saja tidak sobat! Kita harus bangkit, bergandengan tangan, bersatu-padu, bahu-membahu, guyub rukun dan bergotong-royong untuk kembali “mendirikan” Indonesia tercinta.

Modal utama bagi berdirinya sebuah negara yang merdeka dan mandiri, mandiri dalam kemerdekaannya, dan merdeka dalam kemandiriannya adalah “diri”, alias jati diri atau identitas diri. Krisis jati diri, inilah faktor utama yang telah menjadikan sendi dan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara ambruk. Krisis jati diri telah meruntuhkan negara ini. Jika jati diri kejujuran telah tergantikan dengan sikap korup, dusta, kemunafikan, dan pengkhianatan, akankah hukum bisa ditegakkan di negeri ini? Jika jati diri persatuan, kesatuan, kerukunan, kebersamaan, keguyuban, kegotong-royongan telah tergadaikan dengan egoisme individualisme, perpecahan, saling iri dan dengki antar sesama anak bangsa, kemana lagi masa depan negeri ini akan dibawa?

Jika nenek moyang dan leluhur bangsa Nusantara telah meninggalkan berbagai warisan luhur, Borobudur, Prambanan, seribu prasasti, dan sejuta monumen sejarah peradaban tinggi yang lain, kenapa kini kita menjadi bangsa yang kerdil dan tidak percaya kepada diri sendiri. Jika kita telah mewarisi keagungan puncak kebudayaan, filsafat hidup, bahkan peradaban mulia bangsa timur, mengapa kita terus merasa kerdil? Kenapa kita lebih menyembah dan meniru semua hal yang kebarat-baratan atas nama westernisasi? Dimana harga diri kita? Dimanakah ke-diri-an kita? Kinilah saatnya semua komponen dan elemen bangsa berdiri lagi untuk mendirikan Indonesia.

Apakah kita mampu? Apakah para pemimpin ini mau menjalankan aspirasi kita itu? Andaikanpun kita hanya menjadi sekelompok kecil dari komponen bangsa yang masih enggan ngedan di jaman edan ini, dan tidak bisa menjadi kekuatan yang besar untuk mengubah wajah masa depan negara ini, setidaknya kita bisa memulai perubahan dalam skala kecil, dari diri sendiri, keluarga sendiri, lingkungan RT/RW, kampung, dusun, dan maungkin desa.

Satu ketegasan dan penggaris-bawahan uraian mutiara Cak Nun di tengah jamaah malam itu adalah “men-DIRI-kan” Indonesia. Kalaulah Indonesia yang kita cita-citakan harus menegakkan keadilan dan kejujuran, maka marilah kita mulai menanamkan keadilan dan kejujuran itu dalam sanubari diri, anak dan istri kita. Kalaulah negara harus memastikan tegaknya aturan norma dan hukum, maka mulailah diri kita untuk taat dan patuh terhadap semua nilai, norma, dan aturan hidup. Kalaupun negara semestinya harus menjamin hak-hak setiap warga negaranya, hak hidup dan penghidupan layak, sandang, pangan maupun papan, termasuk pendidikan serta kesehatan, maka kita semua harus menghargai hak sesama kita satu sama lain.

Jika kita semua, sebagai komponen anak bangsa, telah memiliki kesadaran untuk memperbaiki diri dari diri sendiri, maka kebaikan-kebaikan skala kecil dan mikro yang kita bangun akan memberikan sumbangan sebagai pondasi, batu-bata, dinding, pintu, jendela, dan atap yang mendukung serta melengkapi pilar-pilar utama bangunan negara kita. Dalam skala makro, tentu saja bahan-bahan kebaikan tersebut akan membentuk struktur bangunan negara yang kokoh dan kuat tak lekang ditelan jaman. Itulah Indonesia yang kita cita-cita, bahkan semenjak para pendiri bangsa ini memerdekakan diri dari belenggu rantai penjajahan.

Semua ide dan idealisme semangat kebersamaan yang diikat oleh bangunan negara, persatuan, kesatuan, kerukunan, dan kejayaan di bawah ke-bhineka-tunggal-ikha-an harus kita internalisasikan di dalam lubuk sanubari yang terdalam. Semua nilai, spirit dan semangat jiwa kebangsaan harus kita resapkan dalam masing-masing jiwa kita. Setiap pilar penegak rumah “keindonesiaan” harus kita “dirikan” di dalam dada kita. Inilah makna terdalam men-DIRI-kan Indonesia. Jayalah Indonesia! Merdeka dalam kesejatian!

Ngisor Blimbing, 14 Juli 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun