Korupsi lagi, korupsi lagi! Dunia Nusantara setiap hari terus diwarnai berita-berita tentang korupsi. Korupsi Centuri, korupsi pajak, korupsi wisma atlet, korupsi anggaran, korupsi Hambalang, dan yang terkini berita tentang korupsi pengadaan Al Qur’an. Weeeiiiit, Qur’an yang sakral, yang suci, yang asli kalam Allah itu sudah menjadi alat korupsi. Ya….ampuuuun! Sebentar lagi bahkan Tuhan akan dikorupsi!
Korupsi benar-benar merupakan bahaya laten yang telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi yang bermaharajala-lela sudah merata pada segala lapisan dan strata masyarakat. Mulai tukang parkir, tukang ojek, sopir angkot, pedagang kecil dan besar, para birokrat, wakil rakyat, bahkan aparat penegak hukum sudah sangat biasa bersikap tidak jujur. Dusta sudah menjadi kebiasaan yang sudah dimaklumi bersama-sama. Ingkar janji sudah tidak lagi menjadi sebuah kecanggungan dan hal yang memalukan. Khianat terhadap amanat sudah diamalkan hampir semua orang. Negeri ini sudah terperosok ke dalam lembah “kemunafikan” yang teramat sangat dalam dan gelap gulita.
Beberapa pakar menganalisis bahwa akar tumbuh suburnya virus korupsi di negeri ini adalah faktor kemiskinan. Kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan material dan moral. Dunia memang terus bergeser menjadi serba materialistik. Jati diri, kemuliaan hidup, kesuksesan, keberhasilan, hingga kejayaan sudah tereduksi hanya menjadi sebatas harta benda, bahkan dinilai sebatas uang. Celakanya kue pembangunan seakan tidak pernah terdistribusi secara adil dan merata. Pengangguran begitu tinggi, mencari pekerjaan menjadi teramat sulit, maka jatuhlah masyarakat ke dalam rasa frustasi dan stress sosial yang menjadi sangat akut.
Kemiskinan moral lebih parah lagi. Agama hanya tinggal menjadi teori aturan tanpa pemahaman dan pengamalan yang memadai. Norma, adat, tradisi, dan segala macam nilai kebajikan semakin dikesampingkan. Tidak ada lagi rasa ewuh pekewuh, sungkan, apalagi malu. Malu jika melanggar norma, rasa malu terhadap pelanggaran aturan agama serta segala bentuk pranata nilai sudah menjadi barang langka. Sebaliknya orang menjadi malu jika tidak kaya ataupun sekedar bergaya seolah-olah menjadi orang kaya. Status social manusia hanya dinilai dari matrial.
Uang sudah menjadi segala-galanya tujuan. Kaya sudah menjadi satu-satunya cita-cita yang dituju oleh hampir semua manusia, bahkan sudah merasuk menjadi idealism hingga ke sumsum tulang, aliran darah hingga syarah otak. Yang paling celaka jika kesemuanya itu telah menggelapkan mata hati manusia, sehingga segala cara, daya dan upaya, termasuk menghalalkan segala cara dan tindakan, dilakukan untuk menjadi kaya. Dunia memang semakin nampak di ambang kehancuran.
Kombinasi kemiskinan material dan moral memiliki daya rusak yang sangat luar biasa terhadap peradaban yang telah susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa ini. Dari sudut pandang manalagi bahwa bangsa ini bisa berbangga sebagai bangsa yang besar dan bermartabat di mata dunia internasional. Dari mana lagi mau membenahi carut-marut semua permasalahan bangsa dan negara ini. Jika rakyat, aparat, bahkan semua orang sudah bermental korup, kepada pundak siapa lagi kebangkitan dan kejayaan negara ini akan bisa diharapkan. Negara ini memang sudah diisi dengan kleptokrat dan kleptokrasi, serta kleptomania.
Bayangkan, bahkan Qur’an sudah dijadikan alat korupsi. Manusia ataukah binatang para manusia yang tega melakukannya. Jika segala daya upaya, ikhtiar, serta doa sudah dilaksanakan, namun tiada membawa efek perbaikan tatanan sosial, dan korupsi semakin meraja-lela, masihkah ada kekuatan pada tangan manusia untuk melakukan perubahan, perbaikan, dan koreksi kebudayaan agar negara ini bisa bangkit dari keterpurukannya?
Nampaknya kita tinggal yakin bahwa hanya tangan Tuhan sendiri yang sanggup campur tangan mengatasi permasalahan yang super kompleks nan kronis ini. Bukan berarti bahwa kita berhenti berikhtiar dan terjebak dalam keputusasaan, namun kita harus “meloby” Tuhan ketika semua persoalan sudah menjadi buntu di mata manusia. Semoga Tuhan, sebagai satu-satunya harapan yang masih tersisa untuk memperbaiki kebobrokan peradaban ini, tidak pernah murka dengan segala tingkah-polah kita dalam merusak dunia. Jikapun Al Qur’an sudah menjadi ajang tindak korupsi, semoga Tuhan tidak pernah dikorup oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab sehingga kita menjadi hidup tanpa arah, panduan dan cita-cita. Paling tidak, harapan itu masih tersisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H