Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Keberanian Menghisab Tuhan

20 Mei 2012   08:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata “hisab” berasal dari bahasa Arab yang berarti berhitung atau menghitung. Dalam perkembangan hidunya, manusia mengenal karakter angka terlebih dahulu dibandingkan huruf. Maka berhitung merupakan kemampuan dasar yang telah tertanam semenjak kita masih bayi. Orang bisa saja menjadi buta huruf karena tidak mengenal karakter huruf, sehingga tidak bisa membaca hingga seumur hidup. Akan tetapi hampir bisa dipastikan semua orang mengenal angka dan tentu saja bisa berhitung, meskipun ia seorang yang buta baca tulis. Buktinya? Anda bisa mencobanya dengan menyodorkan uang di depan mata seseorang! (bukankah semua mata menjadi “ijo”)

Bicara tentang istilah hisab di dalam ranah pemahaman keagamaan Islam, hisab sering dimaknakan sebagai tindakan Tuhan menghitung amalan manusia. Dari hasil hitungan itulah nantinya ditentukan seseorang masuk ke dalam surga atau neraka. Jikalaupun kemudian diajarkan agar kita menghisab diri kita sendiri sebelum kita dihisap oleh Tuhan, maka nasehat itu dimaksudkan agar kita benar-benar menghitung dan menimbang antara amalan kebajikan (pahala) dan dosa dari perbuatan kita di dunia. Jangan sampai timbangan dosa kita lebih berat, sehingga kita kecemplung di neraka jahanam.

Kemudian timbul pertanyaan, jika demikian apakah selalu diposisikan Tuhan yang melakukan hisab terhadap manusia? Kegelisahan inilah yang memunculkan diskusi “Menghisab Tuhan” atau “Menghisab tuhan” dalam kajian bulanan Kenduri Cinta bulan Mei ini di halaman parkir Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Dikisah Cak Nun, bahwa ada seorang Badui yang melakukan tawwaf mengelilingi ka’bah. Karena keterbatasan ilmu agamanya, maka sepanjang tawwafnya si Badui hanya bisa melafalkan dzikir “Ya….kariim…Ya….Kariim…..Ya….Karim”. Melihat keseungguhan dan kekhusukan si Badui berdzikir, Rasulullah mengikuti di belakangnya dan melafalkan kata yang sama. Merasa diikuti seseorang, si Badui justru merasa ada orang ngece dzikirnya.

Akhirnya si Badui berhenti tawwaf, dan membalikkan tubuhnya seraya berkata penuh amarah kepada orang yang mengikutinya, “Wahai kamu orang Arab, kalau tidak karena aku memegang kepatuhanku kepada Rasulullah Muhammad, sebenarnya aku benar-benar marah kamu menirukan aku dan akan aku laporkan perbuatanmu kepada Muhammad!”

Rasulullah bertanya, “Kamu mengenal Muhammad?”

“Aku turun dari gunung, berkeliling seantero kota Mekkah hanya untuk mencari junjunganku Muhammad. Akan tetapi hingga kini aku belum dapat bertemu dengannya,”jawab si Badui.

“Ya Badawi, aku Muhammad nabimu,” Kanjeng Rasul menyahut.

Seketika itu pula si Badui berlulut dan memeluk Muhammad, seraya mencium hikmat tangan Rasul. Pada saat itu juga datanglah Jibril menyampaikan salam dan pertanyaan dari Allah untuk si Badui, “Apakah engkau mengira Allah tidak akan menghisab dosa-dosamu dengan wirid Ya….kariim….Ya….kariim yang engkau lantunkan?”

Si Badui menyahut, “Apa? Allah akan menghisabku? Sebelum Allah menghisabku, terlebih dahulu aku akan menghisab-Nya!”

Jibril kembali berkata, “Ya  Muhammad, Allah menitipkan pertanyaan kepada si Badui. Bagaimana kamu akan menghisab Allah padahal Allahlah yang berposisi mengisab amal perbuatanmu?”

“Kalau Allah menghisab dosaku, maka aku akan menghisab segala kemurahan ampunan-Nya kepadaku. Jikalau Allah menghisab kelalailan hidupku, kesalahan sikapku, maka aku akan mengisab kedermawanan-Nya kepadaku”, sahut si Badui.

Allah kemudian menitipkan Jibril berkata kepada Muhammad untuk disampaikan kepada si Badui, “Tidak usah kamu menghisab-hisab Aku, karena Aku tidak akan menghisab kamu!”

Dari kisah si Badui tadi, kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah yang sangat penting bahwa manusia dapat memposisikan diri menghisab kenikmatan, kemurahan, kedermawanan, dan lain-lain pemberian Tuhan kepada manusia. Meskipun limpahan kenikmatan, kemurahan, dan kedermawanan Tuhan sejatinya tidak bisa dihitung oleh akal dan pikiran manusia karena memang Tuhan Maha Segalanya, tetapi justru penghisaban manusia atas Tuhan adalah bukti kerendahan sifat manusia bahwa segala yang dimilikinya semata-mata milik-Nya jua. Jika kesadaran manusia telah mengakui bahwa segalanya milik Yang Maha Segala, maka manusia akan terdorong untuk selalu bersyukur dan berterima kasih terhadap segala pemberian-Nya.

Dalam konteks manusia modern saat ini, kita memiliki kecenderungan untuk menghitung segala kesuksesan yang kita raih sebagai buah kerja keras kita sendiri dengan melupakan peran campur tangan kemurahan Tuhan. Sebaliknya jikalau kita mengalami kerugian atau kegagalan, dalam perhitungan kita cenderung menyalahkan Tuhan. “Tuhan tidak adil! Mengapa harus saya yang mengalami hal ini?”

Manusia memandang Tuhan sebatas modal dan kapital untuk menggapai kesuksesan. Tuhan harus berposisi mengabulkan segala keinginan dan rencana-rencana manusia. Tuhan adalah aset. Jika demikian yang terjadi maka Tuhan kemudian hanya sebatas menjadi tuhan (dengan “t” kecil). Manusia terjerumus menuhankan tuhan. Uang, harta, tahta, wanita adalah tuhan!

Sebagai makhluk-Nya, sebagai hamba-Nya, sebagai abdi-Nya yang memiliki kewajiban untuk taat atas segala perintah-Nya, manusia cenderung lupa akan kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya. Dalam kondisi kesuksesan manusia tidak pernah bertanya, “Kenapa Tuhan memberikan ini kepada kami? Mengapa saya? Apa konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan?” Manusia tidak pernah berhitung secara teliti dan detail atas kenikmatan-kenikmatan itu. Manusia tidak pernah menghisab kenikmatan-kenikmatan itu. Manusia tidak pernah menghisab Tuhan!

Dari ketiadaaan manusia menghisab kenikmatan Tuhan, maka manusia cenderung tidak mensyukuri kenikmatan yang didapatkannya. Manusia kemudian menjadi kurang amanah untuk mendayagunakan segala pemberian-Nya (nanjake kenikmatan) untuk bertaqarrub, mendekat kepada Tuhan. Manusia menghambur-hamburkan kenikmatan yang didapatkannya untuk bermaksiat, berfoya-foya dan melampiaskan segala nafsu angkaranya.

Maka hisablah kenikmatan Tuhan yang telah dilimpahkan kepada kita. dari hasil hisaban itu, pupuklah rasa terima kasih, rasa bersyukur  atas segala pemberian-Nya. Hanya dengan keberanian untuk menghisab Tuhan, kita akan mengenal-Nya lebih dekat dan karib. Insya Allah kita akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bertafakur.

Ngisor Blimbing, 15 Mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun