Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Tuhan" di Balik Jeruji

17 Oktober 2011   03:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:52 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan memang suatu realitas esensi yang tidak pernah habis menghiasi dinamika hidup manusia. Fitrah manusia sebagai seorang hamba akan selalu terdorong dan berkecenderungan untuk mencari Tuhannya yang sejati. Namun cakrawala pikir dan pandangan manusia memiliki keterbatasan, sehingga tidak jarang dalam proses pencarian itu manusia menjumpai tuhan-tuhan yang bukan Tuhan sejatinya. Tak jarang bahkan sang manusia sengaja memuja sesuatu yang jelas-jelas bukan Tuhan menjadi tuhan dalam hidupnya. Tuhan sengaja dipenjarakan dalam sebuah jeruji yang diciptakan sendiri oleh manusia agar segala hal lain yang dituhankannya seolah menjadi syah dan tidak mendapatkan stempel sebagai perbuatan mleanggar dan berdosa. Tuhan sengaja dipenjarakan di balik jeruji!

Tuhan di balik jeruji merupakan tema menarik yang diangkat dalam diskusi bulanan Kenduri Cinta edisi Oktober 2011. Diawali dengan pembacaan kalam ilahi yang termaktub di dalam kitab suci Al Qur’an dan pelantunan sholawat kepada Kanjang Nabi Muhammad, diskusi malam itu penuh dengan keteduhan emas sinar rembulan yang hampir mendekati purnama. Melalui prolognya Mas Ibrahim melemparkan satu perenungan bersama, sebenarnya tuhan yang kita perbincangkan dalam keseharian itu tuhan yang mana? Apakah Tuhan memang benar nyata adanya? Jaman semakin berkembang justru mengantarkan manusia kepada kekaguman yang berlebihan terhadap teknologi, karena teknologi dianggap sebagai pemecah masalah kehidupan. Kekaguman itu tidak hanya berhenti di situ saja, namun kemudian mendorong banyak manusia untuk menuhankan teknologi. Manusia merasa tidak memiliki ketergantungan lagi dengan Tuhan, bahkan tak sedikit manusia yang mempertuhankan dunia, harta, tahta, bahkan dirinya sendiri. Dalam kesempatan KC yang lalu Cak Nun menyinggung konsep mengenai manunggaling kawulo lan gusti, bersatunya hamba dan Tuhannya. Maksudnya bahwa manusia dalam setiap aspek hidupnya tidak bisa tidak kecuali menghadirkan Tuhan sebagai landasan berpikir, berucap, dan bertindak. Tuhan seolah mangejawantah dalam setiap langkah, segala perbuatan menjadi refleksi dari sifat-sifat Tuhan. Nah dalam konteks “Tuhan” di balik jeruji, semua itu bertentangan dengan kenyataan!

Lebih mendalam untuk mengupas tema diskusi yang diangkat, Mas Adi selaku salah satu sesepuh KC menyampaikan bahwa tema “Tuhan” di balik jeruji ini merupakan hasil pergulatan dari tema sujud. Sujud sebuah tindakan yang merupakan ekspresi ketakhlukan seorang makhluk kepada kekuatan dahsyat yang mengalahkan atau di luar kuasanya, ataupun kepada sang khalik yang telah menitahkannya. Dialah yang kemudian menjadi sesembahan manusia. Dialah Tuhan! Pengabdian makhluk terhadap sang khaliknya merupakan dorongan dari fitrah manusia sendiri yang kecenderungannya manembah. Bagaikan sebuah operating sistem kehidupan, maka kehadiran Tuhan senantiasa ada secara esensial dalam setiap script-script eksekusi setiap episode perjalanan hidup.

Tuhan adalah tumpuan bahkan tujuan hidup manusia. Manusia meminta dan memohon sesuatu yang seolah di luar kuasanya kepada Tuhan. Dalam era modern yang mengantarkan manusia kepada realitas bahwa setiap hal yang dijumpai, dialami, dan dirasakan manusia harus serba bisa dinalar dan dilogikakan, maka pada setiap puncak ketidakberdayaan manusia dalam mengusahakan keinginannya ia juga menyertakan Tuhan. Tak jarang manusia memohonkan banyak hal kepada Tuhan tanpa batas dan ewuh pakewuh. Dalam kondisi manusia yang selalu menuntut dan menuntut, seolah Tuhan diposisikan sebagai pembantu yang harus serba memenuhi keinginan manusia. Manusia sengaja memelihara Tuhan!

Di sisi lain, ada manusia yang merasa bahwa aturan dan rambu-rambu kehidupan yang telah digariskan oleh Tuhan menjadi penghalang bagi setiap keinginannya yang kemaruk dunia. Manusia jenis ini kemudian sengaja mengkerangkeng Tuhan di balik jeruji akalnya, sehingga ia merasa bebas untuk menurutkan keinginannya. Tuhan yang dikerangkeng itu kemudian digantikan oleh tuhan-tuhan yang lain sebagai tujuan hidup. Ada yang digantikan dengan uang, pangkat, jabatan, harta benda, dan lain sebagainya.

Bang Rusdi melengkapi sesi prolog diskusi dengan perenungan kisah Celoteh Macan Jagoan Kandang. Macan jagoan kandang merepresentasikan realitas bahwa manusia tidak lagi berorientasi kepada Tuhan dalam menjalani kehidupannya. Tuhan hanya ada di dalam masjid dan ritualitas ibadah. Ibadah tidak lagi memiliki hubungan spiritualistik dengan perbuatan dan tingkah laku manusia di tengah masyarakat. Di pasar tidak ada Tuhan, di kantor, di jalan, di sekolah, kampus, hotel, mall, Tuhan ditiadakan. Tuhan sengaja dipenjarakan di dalam masjid dan sistem ritualitas ibadah. Nilai dan spirit ibadah sengaja ditinggal di dalam jeruji kelam menemani Tuhan. Tuhan-tuhan dengan “t” kecil menggantikan Tuhan di luar penjara itu. Tuhan yang seperti Tuhan itu hanya hadir sebagai sebuah pencitraan manusia, hanya sebagai lip service dan seremonial belaka. Tuhan hanya hadir menjadi komoditas yang diperalatkan untuk kepentingan kapitalisme. Realitas ini sangat bisa kita cermati dengan tema tuhan yang justru sangat laku di media televisi saat bulan Ramadhan. Di luar Ramadhan, jangan harap ada tema tuhan, karena tuhan sudah dengan sengaja dikerangkeng di balik jeruji.

Selepas prolog diskusi yang mengantarkan landasan berpijak untuk pendalam diskusi malam itu, maka suasana bertambah semarak dengan senyum tawa yang meledak karena kehadiran Farid “Mbah Surip Junior” yang membawakan lagu-lagu hits almarhum maskot KC tersebut. Mengalir dengan jenaka lagu Tak Gendong dan Melodi Suara Hansip dengan lagak lagu yang sangat mirip dengan Mbah Asu Urip aslinya.

Ditanya oleh moderator tentang kesan Farid terhadap KC, Farid kemudian berkisah, ”Dulu di tahun 2006 saya datang pertama kali ke Jakarta menemui Mbah Surip.”

Mbah bertanya, “Kamu ke Jakarta mau apa? Sekedar silaturahmi atau mau berkunjung?”

Saya jawab, “ Sekedar berkunjung Pak!”

“Oya sudah, nggak apa-apa. I love you full wis!”, jawab Mbah Surip.

Satu bulan di Jakarta Mbah Surip bertanya lagi, “Kamu di Jakarta mau sekedar berkunjung atau mau cari kerja?”

Farid menjawab, “Ya kalau ada kerjaan sih ya sekalian kerja nggak papa Mbah!”

Mbah Surip berkata, “ Oya nggak apa-apa! Pokoke I love you full!”

Nah akhirnya Farid diajak pertama kali ke TIM ikut KC. Ia baru tahu bahwa bapaknya bisa menyanyi dan menghibur hadirin. Melihat antusiasme hadirin yang merespon bapaknya dengan penuh suka cita dan rasa cinta, iapun turut senang. Itulah kesan Farid yang mendalam tentang KC.

Lebih menyemarakkan suasana panggung di awal malam itu adalah kehadiran Kiddo Band. Sebuah kumpulan anak muda yang telah beberapa kali turut menghibur jamaah KC. Kali ini Kiddo band membawakan empat buah lagu, dua laku asli karya cipta mereka dan dua buah lagu kelompok musik lain dibawakannya dengan apik. Ada lagu Insya Allah, Pujaan Hati, Kesalahan yang Sama, dan Ketulusan Hati. Lantunan lagu melankolis dan semi romantis Kiddo mengantarkan jamaah kepada titik berpijak yang lebih rileks untuk memasuki sesi diskusi selanjutnya.

Pada sesi diskusi pertama, hadir di tengah hadirin antara lain, Mas Arya, Mas Ais, Bapak Mapa seorang aktivis jurnalistik, serta Pak Edi yang getol menjadi aktivis anti korupsi, juga Gus Candra Malik. Mas Arya yang mengawali pemaparan menyampaikan sebuah berita duka cita atas meninggalnya saudara jamaah kita, Mas Yan Sukanda. Mas Yan adalah tokoh pembela lingkungan hidup yang telah menjembatani keberlangsungan acara Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Ketapang, Kalimantan Barat terkait maraknya illegal logging yang diback-up para aparatur dan pengusaha nakal di tahun 2008. Melalui Mas Yan berhasil dipertemukanlah para stake holder, mulai dari Dinas Kehutanan setempat, Pemda Kabupaten dan Provinsi, kepolisian, tentara, tokoh masyarakat dan para aktivis, hingga perwakilan Pemerintah Pusat.

Hasil nyata dari gebrakan Jamaah Maiyah kala itu adalah diusutnya para cukong dan aparat nakal yang berada di balik aksi ilegal logging yang meluluh-lantakkan hutan rimba raya di Kalimantan Barat. Penebangan hutan kala itu bagi masyarakat kecil merupakan sebuah jalan pintas untuk menopang hidup mereka. Dengan demikian betapa sensitifnya masalah ini ketika Jamaah Maiyah melalui Cak Nun ingin memediasi untuk meluruskan masalah dan sekaligus menyelamatkan hutan-hutan kita yang tersisa. Konon sang kepala dinas yang terlibat di balik aksi hitam itu tak berapa lama langsung dicopot dan dimeja-hijaukan. Meskipun kemudian tidak jelas keberlanjutan penanganan persidangannya, karena kita semua tahu seperti apa sistem penegakan hukum di republik ini!

Lebih lanjut Mas Arya menguraikan mengenai peristiwa yang hangat di media massa, soal isu reshuffle kabinet yang akhir-akhir ini bergulir dengan sangat didramatisasi. Soal ketidak-tegasan dan ketidak-pastian visi misi yang diagendakan SBY, kita semua tentu sangat tahu dan paham, namun fokus pembahasan malam itu mengarah kepada dominasi media massa sebagai pembentuk opini masyarakat yang sangat dominan dan ampuh. Sebenarnya dari sisi yang lain, pemerintah juga ingin menumpangi media massa dengan pembentukan citra pemerintahan yang bersih, anti korupsi, dan tentunya mencapai indikasi-indikasi keberhasilan sektor makro yang luar biasa menurut pemerintah. Bagaimana dikesankan agar seolah-olah bahwa kesejahetaraan rakyat meningkat, kemampuan ekonomi naik, dengan berbagai indikasi semisal rendahnya inflasi dan peningkatan daya beli masyarakat, bahkan di tingkat pedesaan. Meskipun yang terjadi sesungguhnya bahwa desa dieksploitasi sedemikian rupa hingga untuk kepentingan para pemangku modal dan kekuasaan. Tetapiitulah citra dan kesan yang ingin terus diberikan kepada rakyat. Media dan pemerintah sesungguhnya punya kepentingan yang tidak lagi murni terhadap amanat rakyat. Dan dua-duanya memiliki posisi dan kedudukan yang sangat strategis terhadap akses kekuasaan dan politik. Lagi-lagi, semua kembali ke urusan politik!

Meski rakyat diposisikan di sudut marginal, diusung hanya sebagai komoditas jualan semata, namun paling tidak di KC kita semua paham dan tidak akan pernah larut untuk berputus asa. Kita sangat yakin bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat tahan banting. Bangsa ini seakan sudah sangat kebal dengan penderitaan, sehingga penderitaan itu seakan sudah dapat kita terima sebagai sebuah realitas dan tidak lagi kita permasalahkan. Bukan berarti bahwa kita sudah sampai di titik ketidakpedulian, bahkan keputusasaan, namun justru kita semakin yakin bahwa kita tidak bisa lagi menggantungkan hidup dan menganggap berarti para penguasa dan petinggi politik kita. Kita semakin tahubetapa tidak berartinya mereka, dan kita semakin yakin bahwa kita harus berjuang sendiri dengan tekad serta semangat yang terpompa dari keyakinan kita bahwa Tuhan tidak akan tinggal diam dan akan turut campur dengan tangan-Nya sendiri. Semua hanyalah soal menunggu waktu saja! Kita yakin itu!

Mas Ibrahim menambahkan kata kafir juga bermakna tertutup atau menutup alias cover atau covery, maksudnya terhadap nilai dan rahmat Tuhan. Ketertupan inilah penjara yang sengaja dibuat oleh manusia itu sendiri, sehingga pancaran petunjuk Tuhan menjadi terhalang dan manusia terjebak mempertuhankan hal yang lain.

Mas Ais, aktivis kelahiran Sulawesi Tenggara, menyampaikan betapa para pejabat dan aparatur negara dilantik dengan bersumpah atas nama Tuhan. Di kala tindakan aparat sudah tidak lagi atas nama Tuhan dan mengkhianati amanat rakyat, maka apa makna daripada sumpah yang pernah mereka ucapkan? Sumpah menjadi sekedar sampah! Dan kumpulan sumpah sampah itu kemudian menjelma menjadi sumpah serapah! Semua saling menuduh, semua saling berdalih, semua saling mengingkari, semua mencari pembenaran diri! Apakah kemudian Tuhanpun juga turut disampahkan? Ataukah memang tuhan itu sampah? Dengan lantang Mas Ais menantang hadirin untuk mengangkat tinggi-tinggi handphone mereka. Pada saat handphone sudah terangkat tinggi, Mas Ais bercanda itulah tuhan kita saat ini! Betapa kita tidak dapat hidup tanpa hp! Bukankah ia kita posisikan selayaknya tuhan? Satu puisi keprihatinan dilantunkan penuh rasa sedih dan marah atas penyampahan tuhan oleh manusia modern.

Bapak Mapa seorang aktivis jurnalistik melanjutkan uraian para nara sumber. Sebagai pendekar yang telah sekian lama malang melintang di jagad kejurnalistikan, ia memiliki pengalaman sebagai wartawan maupun editor di berbagai koran dan majalah, diantaranya Pelita, Rakyat Pos, Gatra, Ekspress dan lainnya. Ia juga turut menggawangi AJI Kendari dan menulis sebuah novel berjudul Gadis Portugis.

Lebih jauh ia menyampaikan bahwa media massa itu memiliki tuhan-tuhannya masing-masing. Gatra punya Bob Hasan, Kompas punya Jakup Utama, Tempo punya Ciputra! Tv One punya Bakrie, Metro punya Surya Paloh, merekalah contoh daripada tuhan-tuhan itu. Tulisan ataupun berita di media massa tak lain dan tak bukan adalah ayat-ayat tuhan. Setiap tuhan itu memiliki kepentingan dan orientasi masing-masing yang intinya kepada akses politik, kekuasaan, dan sudah pasti uang! Pers seungguhnya tidak lagi netral dan independen untuk membela kepentingan rakyat.Kebijakan media yang dikenal sebagai politik redaksional sesungguhnya adalah alat tawar menawar yang sangat menjijikkan. Semua hal baik ataupun jelek untuk pihak tertentu bisa diberitakan ataupun tidak jadi diberitakan, akan sangat tergantung deal-deal yang dicapai! Itulah realitas demokrasi yang sesungguhnya.

Peran pers sebagai mainstream media massa, apabila tidak lagi independen dan netral lama-lama juga akan dimusuhi oleh rakyat. Rakyat memiliki nurani dan kecerdasan untuk membedakan siapa-siapa yang tulus membela kepentingannya. Ke depan, seiring perkembang teknologi dan pola komunikasi manusia yang semakin canggih dan tanpa batas, peran pers akan digeser oleh para independen journalist. Mereka dikenal sebagai pewarta merdeka yang mengunggah berita, kabar ataupun sekedar status pada social media seperti twitter, facebook, ataupun blog personal. Karena sifat personal itulah maka para aktivis onliner ini akan sangat bebas dalam menyampaikan aspirasi dan ekspresi perasaannya tanpa bingkai kepentingan sesaat. Para independent journalist disebut pula sebagai citizen journalist, merekalah penyuara hati nurani rakyat yang sesungguhnya.

Pembicara selanjutnya adalah Pak Edi, ia adalah besan dari budayawan WS. Rendra sekaligus aktivis ICI, Indonesia Corruption Investigation. Korupsi merupakan persoalan mendasar di negeri ini. Adanya tuhan-tuhan di media massa, di panggung politik dan semua sektor kehidupanyang berujung kepada deal-deal proyek, uang dan kekuasaan, pasti masalah tidak jauh-jauh dari nuansa korupsi. Lihat saja bagaimana oknum Banggar DPR tidak mau diperiksa KPK dan malah mengatakan bahwa KPK adalah anak kandung DPR dan tidak seharusnya anak kandung durhaka kepada orang tuanya. Bahkan Butet pernah berceloteh menyindir bahwa kata banggar telah secara resmi menggantikan arti bangsat, sehingga bila kita ingin mencaci maki dengan kata bangsat, pergunakanlah kata banggar!

Akibat dari deal-deal dan tipu muslihat para aktor di panggung kekuasaan itu yang telah dengan sengaja memenjarakan Tuhan itu, semua hal kemudian tergiring menjadi sekedar isu politik. Karena politik di negeri ini sudah menyimpang dari asas dan tujuan murni politik sebagaimana digagas para filosof, maka rusaklah sistem dan tatanan hidup kita. Hukum tidak bisa ditegakkan! Isu Gayus, Nasarudin, Antasari, semua hanyalah soal bargaining, tawar-menawar untuk mengamankan si A si B dan berujung siapa yang harus dikorbankan dan siapa yang harus diselamatkan. Sistem hukum kita sesungguhnya sudah sempurna, namun karena para aparaturnya telah meninggalkan Tuhan, mengkerangkeng Tuhan jauh di sudut pinggiran panggung hidupnya, maka tidak ada shock therapy bagi para koruptor dan pencuri uang rakyat. Koruptor bisa saja dihukum satu dua tahun, tetapi toh mereka masih tetap bisa mengendalikan sandiwara. Mereka masih bisa memainkan peran dalam cerita dan kisah bargaining politik dan kekuasaan. Mereka tidak dimiskinkan, karena memang sistem yang berjalan sama sekali tidak pro terhadap kepentingan rakyat.

Giliran selanjutnya Gus Candra Malik mulai angkat bicara. Gus Candra mengawali uraiannya dengan mengkritik bahwa tema diskusi yang diangkat KC kali ini sangat-sangat tidak pancasilais! “Tuhan” di balik jeruji, kata tuhan tentu sangat berbeda dengan ketuhanan. Jadi seandainya KC ini digelar di jaman Pak Harto, pasti semua jamaah sudah ditangkap oleh intel di sini. Kalau menyetir kisah tuhan-tuhan yang ada di dunia mass media sebagaimana diungkapkan oleh pembicara sebelumnya, menurut Gus Candra mereka itu pastinya memiliki syahadat bahwa “tidak ada tuhan selain saham dan para wartawan adalah utusan tuhan!” Guyonan sekaligus candaan ini disambut dengan gelak tawa dan tepuk tangan meriah dari hadirin.

Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan adalah Tuhan yang tidak terjangkau oleh indera dan akal manusia. Tuhan tidak bisa dilihat, diraba, dicium, dikecap, bahkan sekedar dipikirkan dalam konteks batasan kemampuan pikiran manusia. Orang Jawa mengatakan bahwa Tuhan sejati esensinya tan keno kinoyo, laisya kamislihi syaiun! Nampaknya pemikirannya sangat kompleks dan pelik. Bukan sekedar sebuah kebetulan, karena di luar nalar pikir manusia. Dan memang sebenarnya Tuhan itu dalam melakukan setiap sesuatu sangat detail dan sempurna, bahkan seolah kurang kerjaan. Lihat saja bagaimana Tuhan menggarisi daun-daun. Daun-daun pake digarisi segala, apa nggak kurang kerjaan itu! Demikian Gus Candra Malik semakin menjadi-jadi!

Diskusi rehat sejenak untuk mengendapkan sari ilmu yang dijabarkan para pembicara. Melengkapi syahdu suasana tengah malam, hadirlah Komunitas Ranggon Sastra yang mengetengahkan musikalisasi puisi. Mengalir bait-bait puisi yang diiringi gitar akustik yang menggelitik bercerita tentang usaha seorang hamba dalam menggapai cinta-Nya Tuhan yang sejati. Dua buah puisi masing-masing berjudul Doa karya Chairil Anwar, dan Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono menjadi bahan renungan yang sangat dalam dan mengharu biru di malam itu.

Selanjutnya Gus Candra, yang menjelmakan diri menjadi pelantun lagu, membawakan beberapa karyanya sendiri yang didapatkan dari wangsit mendengarkan telinga kiri. Masing-masing lagu Jiwa yang Terang dan Fatwa Rindu. Relaksasi otak dan kalbu malam itu diakhiri dengan lantunan bait puisi oleh penyair senior Bang Jose Rizal Manua, tokoh yang menggawangi Teater Tanah Air dan telah melanglang buana di beberapa negara asing.

Beranjak ke sesi diskusi inti yang dimulai tepat setelah lewat tengah malam alias wayah lingsir wengi itu, Cak Nun, Ustadz Noor Samad, Cak Puji mulai menguraikan hikmah ilmu maiyyah masing-masing. Cak Nun memulai uraian dengan menggali ilmu dari tampilan Gus Candra yang menjadi penyanyi. Ia sampaikan bahwa diibaratkan perjalanan air, maka musikalisasinya Gus Candra harus utuh menjadi sebuah sungai yang mengalir dan bermuara ke laut. Artinya sebagai sebuah proses harus lengkap dan tuntas memaknai kehidupan, dari awal sumber mata air hingga kesempurnaan dan keparipurnaan aliran di muara laut. Dengan pemahaman yang utuh itu maka sublimasi dan pengendapan ilmu akan semakin sempurna, dan kita bisa mencapai tataran hikmah yang dapat berguna bagi alam semesta.

Di sisi lain Cak Nun menyampaikan niatnya, mewakili beberapa kalangan untuk memberikan penghormatan tinggi kepada beberapa tokoh yang memperjuangakn kepentingan umat. Penghormatan tinggi itu berbeda dari sekedar sebuah penghargaan, atau yang sering kita kenal sebagai award. Bayangkan kata award, kata Cak Nun sangat ekspresif. Bentuk mulut harus melongo dengan ujung lidah menempel pada ujung gigi. Kata award lebih mengingatkan kepada wot, yang dalam bahasa Jawa berarti sepotong galah atau kayu yang terbentang di atas ketinggian tertentu dan berguna sebagai jembatan penghubung. Wot juga sering dipasang pada kakus di atas kolam ikan. Inilah wot yang malam itu dikupas tuntas dan membuat hadirin terkesima.

Nah untuk mengindari ingatan terhadap wot itulah kemudian digunakan istilah yang lebih membumi di ranah maiyyah, yaitu ijazah. Ijazah memiliki nuansa dimensi yang lebih tasawufi, memiliki artikulasi walayah, dan berdimensi spiritualistik. Ijazah dari kata jaizah, semakna dengan syahadah, artinya kesaksian. Dalam hal ini tentu saja kesaksian berujud penghormatan tertinggi atas jasa seseorang. Di sisi lain, penghargaan yang digagas inipun berbeda dengan tradisi award yang diadakan setiap tahun dengan memaksakan diri untuk harus setiap tahun mencari tokoh yang diberi penghargaan. Ijazah lebih didorong untuk memberikan penghargaan karena kebetulan kita bertemu dengan orang yang memiliki kualitas untuk diberi penghargaan. Ijazah dimaksud akan diberikan pada 14 November nanti di Surabaya kepada tiga orang tokoh masing-masing dari Surabaya, Surakarta dan Mandar.

Lebih dalam mengungkap kemanunggalan hamba dengan Tuhannya, Cak Nun menyampaikan bahwa Allah sengaja memecah dirinya untuk pada ujungnya justru menyatukan dirinya sendiri. Manusia diciptakan sebagai refleksi pancaran sifat-sifat ketuhanan, karena ditiupkan ke dalam ruh manusia sifat-sifat-Nya itu. Dalam konteks manusia Jawa, mereka mengenal makna nyawiji, menyatu atau manunggal. Nyawiji dari kata wiji artinya isi atau inti. Wiji juga berasal dari kata siji, maksudnya satu. Allah sengaja menjadi ahad untuk menunjukkan kewahidan-Nya. Oleh karena itu rumusan dasar manusia sebagai ciptaannya adalah manunggal atau nyawiji alias kembali kepada Allah. Dengan kata lain manusia senantiasa menempuh prinsip ”inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”!

Demikian hal dengan proses penciptaan lagu oleh Gus Candra tadi, harus tuntas hingga air mengalir di sungai dan mencapai muara laut. Adapun ungkapan mendengarkan suara dari telinga kiri itu hakikatnya sebuah bisikan atau ilham yang langsung menginspirasi Gus Candra untuk menyampaikan pesan itu lewat lagu. Gus Candra dalam posisi mendengar dan taat kepada perintah yang didengar itu, sami’na wa atho’na! Demikian halnya kita sebagai manusia, secara naluriah apakah kita menyukai sholat, puasa, zakat, dan segala perintah ibadah yang lainnya? Secara jujur dan berani, saat ini harus kita akui bahwa ternyata kita tidak menyukai semua perintah itu! Namun betapapun perintah itu tidak kita sukai, tidak menyenangkan, namun kita taat dan melaksanakannya, kita ber-sami’na wa atho’na karena diperintah Allah. Ketaatan kita kepada perintah Allah itulah rasa cinta dan kecenderungan sikap manunggaling kita kepada Allah, dan di sanalah justru letak kemuliaan manusia!

Selanjutnya Ustadz Noor Shomad Kamba mengingatkan kembali tentang hakikat majelis maiyyah kita sebagai majelis ilmu. Majelis ilmu merupakan tempat dimana kita belajar, berdiskusi, dan berdialektika untuk kemudian mendapatkan sari ilmu dan pengetahuan sebagai bekal pengamalan serta menjadi landasan dalam hidup dan perilaku sehari-sehari. Dengan kata lain ilmu yang diamalkan. Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan majelis hafalan yang kerjanya menghafal, namun tidak menjadi amalan dan realitas perilaku dalam keseharian manusia.

Pemberian ijazah, di kalangan muhaditsin ataupun perwai hadist diperbolehkan. Ijazah dari jazza ya juzzu, ajaza, yujizu, ajazan artinya penghormatan tertinggi untuk sebagian kehormatan yang dilakukan seseorang. Menyetir puisi Cak Nun tentang Negeri tanpa Tuhan, memang buat apa ada Tuhan bila perbuatan manusia di sebuah negeri sudah ingkar dengan nilai dan perintah yang ditetapkan Tuhan, kalau sifat-sifat manusia jelek dan buruk. Dalam negeri yang seperti itu, agama menjadi kehilangan daya tariknya untuk kemudian terpinggirkan, menjadi tidak diperlukan untuk digantikan dengan teknologi. Teknologi identik dengan modernitas, sedangkan modernitas sendiri selalu dipertentangkan dengan tradisionalisme. Di sisi lain agama senantiasa eksis dengan tradisi-tradisinya. Umat saat ini kebanyakan hanya memahami Qur’an melalui tafsiran, padahal seharusnya tafsiran hanya sebatas sebagai alat, metode, caraatau tangga untuk paham. Namun yang seringkali terjadi adalah proses hanya berhenti, bahkan proses itu sudah menjadi tujuan. Jika demikian yang terjadi maka sesungguhnya manusia telah terhalangi untuk menyatu kepada Tuhannya.

Cak Nun menambahkan, dari uraian Ustadz Noor Shomad tadi dapat disimpulkan bahwa justru yang terjadi para ulama, para tokoh, dan juga penguasa menjadi penghalang ummat untuk sampai kepada Allah. Mereka sengaja memenjarakan Tuhan, sehingga nantinya yang beredar di tengah ummat adalah tuhan-tuhan yang lain. Kita bisa lihat tentang penentuan hukum halal haram, sesungguhnya kan yang berhak menetapkan hukum itu Allah. Lha semestinya dari sisi redaksional mbok ya MUI itu memperbaiki dengan kalimat bahwa menurut tafsiran dari kami perihal persoalan ABC, kami menyimpulkan persoalan ini halal atau haram! Contoh lain, ulama yang dianggap memiliki posisi tinggi adalah mereka yang paham kitab kuning, apakah demikian? Jika mereka menetapkan hukum atas nama Allah, bukankah mereka sesungguhnya menuhankan diri mereka sendiri dan justru menghalangi ummat untuk menyatu dengan Allah? Kita harus belajar untuk paham makna organisasi yang hanya bisa dicapai kalau kita mengenal dan paham tentang organisme!

Pada kesempatan selanjutnya Cak Puji memperlihatkan sebuah eksperimentasi mengenai penjernihan air keruh dengan penambahan zat tertentu. Eksperimen ini sebagai sekedar sebuah simbol bahwa permasalahan di lapangan memang sangat kompleks dan rumit, tetapi sebenarnya penyebabnya hanya segelintir manusia. Kita harus yakin bahwa jumlah manusia yang memiliki nurani dan kecenderungan baik itu jauh lebih banyak. Hanya saja memang orang itu seringkali ikut-ikutan dengan apa yang sedang populer. Dengan demikian penguraian sebuah permasalahan pasti bisa dilakukan dengan cara dan metodologi yang pas dan tepat.

Dalam sebuah sistem selalu ada voice, noise dan true sound. Nah ibarat air yang keruh tadi, pastinya ada komponen air yang sebenarnya jernih dan bersih. Air menjadi kotor dan keruh karena ada noise berupa kotoran-kotoran yang tercampur aduk secara tidak beraturan. Masalah seakan menjadi sangat kompleks dan tidak terkendali. Suasana menjadi kisruh dan kacau balau. Akan tetapi bila suasana itu kemudian kita endapkan dengan kejernihan akal dan pikiran kita, maka kotoran-kotoran akan mengendap dan lama kelamaan akan terlihat dan terpisah mana true sound dan voice itu. Kitapun dengan mudah dapat memisahkan air jernih dan endapan sehingga sistem yang kita inginkan dapat diwujudkan.

Uraian hikmah maiyyah malam itu menjadi semakin lengkap dengan berbagai pertanyaan yang terlontar dari para hadirin. Pertanyaan mengenaiadab, puasa apa yang kita puasakan dan saat berbuka kita berbuka untuk siapa, juga pertanyaan terkait hukum aqikah dan berkurban dijawab tuntas oleh para nara sumber. Hadirin masih terus semangat dan antusias untuk terus menggali ilmu hikmah maiyyah hingga tiada tersadar waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi. Dengan berat hati akhirnya majelis itu diakhiri dengan doa yang dipimpin Ustadz Noor Shomad.

Ngisor Blimbing, 16 Oktober 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun