Sari Kenduri Cinta Desember 2011
Tema Kenduri Cinta kali ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan tema yang dibahas pada KC sebelumnya, yaitu Sold Out. Pada saat rakyat telah melaksanakan segala kewajibannya kepada negara, setelah rakyat mengamanatkan kekuasaannnya kepada para wakil rakyat atas nama demokrasi, dan setelah rakyat memberikan pengorbanan jiwa dan raganya atas nama pembangunan, setelah semuanya diberikan (sold out), setelah habis-habisan kemudian apa yang diterima oleh rakyat dari para wakilnya, dari pemerintah, dari penguasa negara? Adakah kue manis pembangunan dirasakan juga oleh rakyat? Adakah buah dari pengorbanan dan kerja keras yang telah didarmabaktikan oleh rakyat kepada bangsa dan negara ini sama-sama dinikmati secara adil dan merata?
Adakah beras dari bulir padi yang dimodali oleh rakyat untuk pemerintah dan negara itu kemudian menjadi menu nasi liwet yang gurih, enak dan pulen yang selanjutnya disantap bersama dalam sebuah kembul bujono yang semanak dan akrab sebagaimana jalinan kemesraan dalam Kenduri Cinta? Ternyata hidangan yang bernama pembangunan di negeri ini hanya sebatas dinikmati oleh segelintir orang atas nama kekuasaan dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotismenya. Menu nasi liwet yang gurih itu hanya menjadi santapan kalangan elit di atas derita rakyat di segenap penjuru negeri. Lalu dengan sangat kejam, rakyat hanya dibagi, bahkan yang lebih sering terjadi hanyalah sekedar diiming-imingi dengan kerak nasi liwet yang masih tersisa menempel di dasar periuk nasi pembangunan itu! Itulah kerak untuk rakyat!
Dalam konteks hubungan kekuasaan antara rakyat, pemerintah dan negara, yang nampak di depan mata kita saat ini adalah praktik eksploitasi rakyat oleh penguasa. Semua program pemerintah memang memakai jargon kerakyatan, ada ekonomi kerakyatan, demokrasi kerakyatan, politik kerakyatan, namun kenyataannya rakyat tidak pernah menikmati kemakmuran dan kesjeahteraan. Rakyat hanya diperalat oleh elit penguasa untuk merampas, merampok dan mengekspolitasi alam demi kepentingan mereka sendiri. Kemudian sisa-sisa kerak atas buah keserakahan mereka diberikan kepada rakyat sebagai sekedar alibi bahwa mereka memikirkan rakyatnya, padahal hal tersebut hanyalah sekedar sebagai kedok ketidakjujuran dan kemunafikan mereka.
Pada awalnya tema yang akan diangkat adalah rapat-rapat padat. Rakyat merapat, rakyat bersatu, bersama dengan wakilnya, dengan pemimpinnya, dengan pemerintah bersatu padu dalam kesejatian persatuan. Namun sebuah ironi kini terjadi. Kesejatian persatuan itu tidak lagi hadir di negeri ini! Bangunan persatuan yang adalah hanyalah sebuah kesemuan yang nyata. Persatuan yang terbangun hanyalah persatuan atas nama kepentingan yang dilandasi oleh uang, oleh modal dan kapital, serta segala hal yang hanya bersifat fisik material saja. Tidak ada lagi kesejatian sehingga segala anugerah kekayaan alam, bumi, laut dan segala isinya tidak dinikmati oleh rakyat. Rakyat hanya ditipu oleh sesama anak bangsa dan mendapatkan porsi kecil kerak sisa-sisa pesta pora para penguasa.
Demikian kurang lebih uraian prolog Kenduri Cinta edisi Desembar 2011 yang diuraikan secara gamblang dan jelas oleh Mas Adi, Bang Rusdi dan Oman sang ketua KC, setelah sebelumnya segenap hadirin melaksanakan tadarusan dan sholawatan bersama. Setelah prolog disampaikan hadirlah di arena kenduri sekelompok jawara Betawi yang mempertunjukkan sebuah kolaborasi gerak lincah pencak silat dengan seni rampak gendang, terbang, rebana dan diiringi tiupan seruling yang menghadirkan sebuah seni pertunjukan yang luar biasa. Mereka adalah para peserta workshop pelestari pencak silat Betawi yang dibina oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah DKI Jakarta.
Mengawali diskusi sesi pertama, hadir di tengah-tengah kenduri malam itu seorang kiai muda yang sosoknya terlihat pendiam dengan kaca mata beningnya. Ia adalah Lutfi Hakim, M.A. imam atau ketua Forum Betawi Rempug. Dalam paparan awalnya ia menyampaikan bahwa semenjak awal pemilu semua partai politik menjual komoditas yang dibungkus dalam merk kerakyatan dalam program-programnya. Politik kerakyatan, ekonomi kerakyatan, demokrasi kerakyatan dan segala macam produk kerakyatan yang lainnya. Ekonomi kerakyatan benarkah untuk kesejahteraan rakyat? Semua program kerakyatan itu sesungguhnya hanyalah sekedar fitnah dunia. Fitnah berasal dari kata fatana yang berarti silau atau sesuatu yang menyilaukan pandangan mata. Dengan demikian jualannya partai politik hanya menyilaukan pandangan rakyat terhadap kepalsuan-kepalsuan untuk mengekploitasi rakyat demi kepentingan diri mereka sendiri!
Sebelum dilanjutkan sesi diskusi, Gonas Band hadir menghibur peserta kenduri. Gonas merupakan kependekan dari Gerakan Oposisi Nasional. Mereka memprihatinkan kondisi bangsa yang saat ini telah dikuasai oleh “Roh-roh Jahat”! Tidak hanya mendendangkan lagu roh jahat, mereka kemudian menyenandungkan “Indonesia Blues dalam duka. Mengiringkan Gonas Band, Pak Eko gendut melantunkan ekspresi kedukaan akibat kenyataan rakyat hanya mendapatkan kerak dari proses yang bernama pembangunan. Kedukaan yang hadir bukan tiada kemungkinan tidak akan berakhir bila bercermin terhadap kekhusukan hadirin jamaah Kenduri Cinta yang masih memiliki sejuta cinta dan kasih untuk senantiasa dicurahkan kepada negara dan semua anak bangsanya. Kenduri Cinta pastinya memberikan beberapa jawaban dan harapan dari berbagai permasalahan bangsa!
Berlanjut ke diskusi sesi ke dua, Bang Arya memandu acara dengan memberikan satu prolog bahwa korupsi merupakan “extra ordinary crime”, satu kajahatan kriminal yang sangat luar biasa dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu untuk mengatasi dan memberantasnya diperlukan suatu kekuatan extra ordinary juga, sehingga lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Hal yang sangat luar biasa di forum KC malam itu, adalah kedatangan Pak Amin Sunaryadi, salah seorang anggota pimpinan KPK periode pertama yang turut membidani kelahiran komisi yang menjadi tumpuan harapan seluruh rakyat Indonesia untuk dapat menuntasakan kasus-kasus korupsi yang terjadi.
Lebih lanjut Pak Amin memaparkan bahwa korupsi senantiasa bergandengan erat dengan kemiskinan. Korupsi mengakibatkan kemiskinan karena uang rakyat yang semestinya digunakan untuk pembiayaan pembangunan dalam rangka mengangkat kesejahteraan rakyat justru dicuri, dikemplang dan dikorup oleh oknum-oknum penguasa. Sebagai contoh, dana untuk program pengentasan kemiskinan pada 2010, lebih dari 300 M tidak jelas pertanggungjawaban penggunaannya.
Kalau menengok ke belakang, dalam perjalanan kita berbangsa dan bernegara, korupsi sebetulnya bukan hal yang baru hadir. Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, pemilu yang dianggap paling demokratis adalah pemilu tahun 1955. Setelah era orde baru dan reformasi pemilu yang dianggap lebih demokratis adalah Pemilu 2004. Jika pada tahun 2005 KPK berhasil mengungkap kasus korupsi yang dilakukan KPU dalam Pemilu 2004 berkaitan dengan penggelapan dan mark up logistik, maka pada tahun 1956 juga berhasil diungkap korupsi pada Pemilu 1955 yang menyebabkan kabinet pada waktu itu harus dibubarkan.
Apabila mantan Gubernur BI Syahril Sabirin dipidanakan karena terbukti melakukan tindakan korupsi yang juga menyeret Aulia Pohan, besan Presiden, maka Burhanudin Abdullah selaku penerusnya juga tersandung kasus yang sama. Ternyata korupsi senantiasa berulang dan terjadi berkali-kali. Bukankah kita tahu bahwa sebodoh-bodohnya keledai yang jatuh terjerembab ke dalam lubang, maka ia tidak akan mengulangi kejatuhannya di lubang yang sama di lain waktu? Kenapa bangsa ini senantiasa mengulang-ulang kesalahannya?
Pada tahun 1957 di bawah kondisi darurat militer karena terjadi beberapa pemberontakan seperti PRRI dan Permesta, maka atas dorongan AH Nasution setiap penguasa diwajibkan melakukan pembuktian terbalik terhadap anggaran negara yang dicurigai digunakan secara tidak syah dan melanggar hukum. Karena 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden yang mengembalikan pemberlakuan UUD ’45, maka keadaan darurat perang dicabut tanpa meninggalkan aturan yang baku tentang pembuktian terbalik bagi pejabat penyelenggara negara.
Pada tahun 1971 para aktivis mahasiswa UI membahas untuk mengajukan aturan tentang pembuktian terbalik ke dalam peratuan perundang-undangan kita. Mereka yang mewakili mahasiswa itu diantaranya Akbar Tanjung, Mar’ie Muhammad kemudian berhasil mendorong diberlakukannya UU No.31 Tahun 1971. Tahun 1977 pemerintah pernah melakukan operasi penertiban terhadap oknum pejabat negara yang menyelewengkan kekuasaan dengan melakukan pungutan liar. Tahun 1985 juga terjadi kasus pengungkapan pungutan liar di Ditjen Bea dan Cukai, sehingga direktorat jenderal tersebut kemudian “dibubarkan” dengan merumahkan semua pengawainya dan mensubkontrakkan tugas ke PT SGS. Pada tahun 86-87 terjadi kasus “mirip” Gayus di Ditjen Pajak. Pembersihan dilakukan dengan menerjunkan 1500 auditor BPKP. Betapa perulangan-perulangan kasus korupsi terus terjadi? Betapa bodohnya kita yang lebih bodoh daripada seekor keledai yang tidak akan melakukan kesalahan yang sama dan itu-itu saja!
Seiring dengan lahirnya gerakan reformasi, banyak pihak yang menyatakan bahwa ketentuan pembuktian terbalik terhadap pejabat penyelanggara negara yang diduga menyelewengkan dana negara bertentangan dengan hak asasi manusia. Dorongan gerakan ini kemudian melahirkan UU No.31 Tahun 1999 yang meniadakan ketentuan pembuktian terbalik. Semenjak itulah justru korupsi semakin berkembang dengan sangat subur dan menyebar hingga ke daerah-daerah. Pak Yunus Husain yang memahami seluk-beluk pentingnya ketentuan pembuktian terbalik kemudian menyisipkan ketentuan tersebut dalam UU Pencucian Uang.
Diskusi di sesi kedua lebih menghangat dengan beberapa pertanyaan interaktif yang muncul dari hadirin. Marlan dari Semarang mempertanyakan kenapa Annas selaku Ketua Umum Demokrat menyatakan bahwa pemerintah telah berhasil melaksanakan program pembangunannya dan mengatakan bahwa orang yang berkata SBY gagal adalah orang yang buta, padahal dari yang kita rasakan sebagai rakyat dan sedari tadi juga mengemuka dari diskusi ini bahwa rakyat hanya mendapatkan kerak alias tidak sejahtera? Kenapa terjadi kaca mata yang berbeda? Ardi Tebet, seorang jamaah yang lain mempertanyakan kepada Pak Amin, berapa skor pemberantasan korupsi di Indonesia? Bang Restu juga menanyakan tentang ketidaksungguhan dan penggelapan kasus korupsi seperti Century dan Nazarudin. Apakah Nazarudin akan sanggup mengungkap semua fakta dan mampu menggoyang SBY dari kursi kekuasaannya?
Bang Lutfi Hakim menanggapi pertanyaan terakhir dari Bang Restu bahwa Nazarudin hanya akan dijadikan tumbal untuk menutupi oknum-oknum aktor yang lebih besar. Kalau soal apakah ia akan mampu menggoyang posisi SBY, ya jelas tidak mungkinlah! Karena yang sanggup menggoyang SBY hanyalah Bu Ani! Sontak semua hadirin tersenyum tersipu-sipu oleh sindiran kiai muda FBR ini!
Atas pertanyaan pertama, Pak Amin memberikan jawaban dengan melempar pertanyaan kepada hadirin adakah diantara hadirin yang bisa menjawab pertanyaan siapakah wakil rakyat yang mewakili daerah tempat tinggalnya? Apakah Anda kenal dan mengerti siapa mereka? Sedari awal Pemilu kita sudah tidak kenal dengan wakil kita! Kemudian apabila wakil itu telah duduk di kursi dewan, apakah mereka memikirkan aspirasi rakyat yang diwakilinya? Karena mereka hanya mewakili kepentingan kelompok dan partainya sendiri, maka tidak ada link dengan rakyat. Maka apakah mengherankan bila para tokoh politik, wakil rakyat dan penguasa kita tidak paham dengan apa yang dirasakan rakyat? Jika demikian yang terjadi, sudah pasti kaca mata yang digunakan untuk melihat rakyat juga berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain.
Di era reformasi kedudukan DPR (wakil rakyat) dalam penentuan arah bangsa dengan penyusunan undang-undang menjadi lebih kuat dan dominan. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos dan kratos. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos adalah wakil rakyat. Apabila antara rakyat dan wakilnya sudah tidak nyambung, bahwa wakil rakyat tidak lagi mau mendengar dan menyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, maka dengan sendirinya sesungguhnya demokrasi itu telah lenyap dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita!
Diskusi malam semakin memanas, sehingga untuk kembali menyejukkan suasana tampillah di muka hadirin Maria Zalifa dengan iringan gitar akustik tunggalnya menyanyikan lagu berjudul Dunia Angka. Angka dan uang adalah ukuran kehidupan di masa kini. Orang sudah sedemikian asing dengan nilai dan moralitas yang lebih bersifat batiniah. Semua sekedar senilai angka dan uang! Lagu kedua berisi ungkapan kesedihan karena aksi tipu-tipu wakil dan rakyat dan para penguasa yang hanya menyisakan kerak untuk rakyat hingga di ujung nurani terdalam setiap rakyat tumbuh rasa “Malu ber-Indonesia”. Hiburan berlanjut dengan dendang musik melayu Tenabang berjudul Jangan Mengharap yang dibawakan dengan apik oleh anak cucu “Berantas” Kampung Bali.
Waktu telah lewat dini hari. Nuansa romantika sejarah dan nilai mitologi menebar ke sudut arena Kenduri Cinta saat Mas Andre Dukun menghantarkan Mas Agung Bimo dengan kelompok Turangga Seta-nya, beserta Cak Puji, dan Mas Ardi Masardi. Mas Agung Bimo mengungkapkan hasil studi Turangga Seta yang berhasil melakukan pembuktian-pembuktian penemuan piramida raksasa yang mengungguli kebesaran piramida di Mesir maupun piramida terbesar yang belum lama ini ditemukan di Bosnia. Jika piramida Mesir terbesar memilik ketinggian 140 m, piramida Bosnia 250 meter, maka beberapa gunung piramida yang tersebar di Nuswantara memiliki ketinggian lebih dari 300 m.
Usaha penggalian sejarah ini di samping sebagai upaya pelurusan sejarah yang sudah sangat menyimpang dari fakta dan data di lapangan, juga yang lebih penting adalah memberikan pemahaman bahwa di masa lalu negara ini tidak sekerdil sebagaimana yang digambarkan catatan sejarah yang kini ada. Ada banyak kekuatan dan keuunggulan yang masih tersembunyi dan bisa menjadi modal dorongan kesadaran bahwa kita adalah bangsa besar dan di masa depanpun kita harus menjadi bangsa yang besar!
Pemaparan lebih jelas disampaikan dengan pemutaran video hasil observasi penelitian dan pembuktian penemuan piramida di beberapa lokasi, seperti gung Lalakon dan Sedahurip di Jawa Barat. Penelitian diawali dengan penelaahan terhadap beberapa relief candi, seperti di Penataran dan situs-situs di lereng gunung Lawu. Struktur bangunan berbentuk piramida ternyata banyak digambarkan oleh nenek moyang kita, bahkan struktur candi Sukuh sangat kentara dengan pola lingga dan yoni yang diapit gerbang berbentuk piramida yang bentuknya sangat mirip dengan pirmida bangsa Maya.
Tahapan selanjutnya dengan menelaah babad atau kisah yang berkaitan dengan struktur banguan piramida. Dalam pewayangan terdapat kisah penakhlukan kayangan oleh Rakai Watu Gunung dari kerajaan Gilingwesi. Setelah mengalahkan Betara Guru, nama Watu Gunung diganti Ranghyang Guru dan tanah kerajaannya disebut Parahyangan. Maka mengarahlah penelitian ke bumi Pasundan. Mendalami lebih jauh kisah, mitos maupun dongeng yang berkaitan dengan gunung, maka rujukan Shangkuriang dan Tangkupan Perahu menjadi menarik. Dari pengamatan di lapangan, dijumpailah gunung Lalakon yang kemudian diteliti lebih jauh.
Pembuktian dilakukan dengan meneliti struktur batuan dengan penggalian langsung di beberapa titik dan dilakukan uji struktur geologi dengan teknik geolistrik. Dari hasil penggalian diketahui bahwa struktur gunung yang ada bukan berasal dari ekstrusi dan erupsi magma bumi maupun akibat pergeseran dan tumbukan lempeng sebagaimana yang terjadi dengan gunung yang lain. Pola batu bronjongan yang ditemukan juga beraturan dengan sudut posisi 300 terhadap arah vertikal. Ini membuktikan bahwa batu-batu tersebut sengaja ditata dan tidak secara alamiah. Di samping itu, jenis tanah lunak yang menimbun gunungpun berlapis-lapis, ada yang gamping, pasir, lempung dan tanah subur seolah-olah memang sengaja ditimbun dengan kedalaman paling dalam mencapai 30 m. bukti dan segala foto pendukung yang diketemukan kemudian dikirimkan kepada Profesor yang menemukan piramida di Bosnia, dan dari tanggapan mereka menyatakan bahwa yang ditemukan di Indonesia itupun merupakan bentuk gunung buatan yang nantinya dapat dibuktikan sebagai piramida.
Lebih jauh ditampilkan juga gunung-gunung lain yang “aneh” dan dicurigai sebagai bentuk piramida. Gunung-gunung tersebut meskipun gundul dengan kecuraman lereng yang tinggi namun tidak pernah sekalipun longsor, seakan memang sebuah bukti struktur batuan di bawahnya benar-benar tertata sedemikian sehingga kokoh dan tidak bisa longsor. Selain di Jawa Barat, banyak juga diketemukan gunung-gunung piramida tersebut di wilayah Jawa Tengah, mulai pegunung Sewu hingga dataran tinggi Dieng. Bahkan dari foto satelit diperoleh satu gambaran yang sangat luar biasa di kedalaman laut Papua berupa sebuah deretan pegunungan dengan ketinggian 1,8 km dan panjang lebih dari 100 km yang memiliki ciri-ciri piramida raksasa. Sungguh sangat luar biasa!
Anggota Turangga Seta, Reihan dan Emir mengungkapkan bahwa upaya penggalian fakta sejarah dan struktur megah bersejarah ini untuk membangkitan kebanggaan kita sebagai bangsa yang besar. Dari kebanggan ini diharapkan akan tumbuh semangat dan jiwa nasionalisme untuk melangkah menggapai kebangkitan bangsa kita menjadi bangsa yang besar di masa depan. Penelitian yang sama saat ini juga tengah dilakukan di Nikaragua dan Yoniguni di Jepang. Untuk rekan-rekan yang tertarik dan ingin terlibat dalam penggalian sejarah ini dapat dapat bergabung di grup Greget Nuswantara di medi facebook.
Suasana malam sedikit memanas dengan teriakan-teriakan provokatif dari belakang hadirin yang meneriakkan revolusi dan seribu satu kejengkelan terhadap rejim penguasa. Suara-suara itu benar-benar mengganggu dan membuat suasana mencekam, bahkan saat salah seorang perwakilan dari mereka dipersilakan naik untuk berbicara, teman-teman mereka di belakang masih berteriak-teriak tidak karuan. Bang Matar sempat dengan tegas menantang mereka untuk berhadapan secara ksatria satu lawan satu dengan jawara Tenabang itu. “Ini forum Kenduri Cinta, Anda tidak suka dengan kami tolang masih saling tetap hormat menghormati!”
Mas Andre dengan geram juga menambahkan bahwa upaya pemahaman sejarah ini dalam rangka mengukuhkan jati diri bangsa ini agar kita tidak mudah terprovokasi dan hanya dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga kita terjebak hanya mengecam dan mengutuk rejim penguasa. Kita harus lebih cerdas dan tidak dungu! Di sinilah kemudian kita berusaha untuk mengenal dan menggali siapakah kita sebenarnya di masa lalu sebagai titik pijakan yang kokoh dan mantap untuk melangkah di masa depan.
Usut punya usut, ternyata provokasi-provokasi dari belakang itu berkaitan dengan dugaan mereka yang mencurigai Turangga Seta menjadi alat pemerintah untuk membohongi rakyat dengan dalih penggalian sejarah. Mas Agung dengan sareh memberikan klarifikasi bahwa Turangga Seta tidak ada hubungan sama sekali dengan istana maupun Cikeas, terlebih staf Kepresidenan Andi Arif. Justru Turangga Seta yang sudah meng-upload penemuan awal mereka semenjak Desember 2010, kemudian tiba-tiba video mereka di-upload ulang atas nama istana. Dalam posisi ini justru Turangga Seta sangat dirugikan dengan klaim pemerintah dan ada upaya pembelokan penelitian ini untuk menjadi ajang proyek dan bagi-bagi uang oleh oknum di birokrat. Dan tindakan-tindakan mereka nampaknya nyata dengan sulitnya sistem perizinan yang diterapkan terhadap Turangga Seta. Setelah disampaikan klarifikasi ini, suara-suara provokatif di belakang menghilang!
Adi Masardi yang semakin geram dengan kondisi negeri bedebah ini berpendapat bahwa upaya penggalian sejarah yang dilakukan oleh Turangga Seta merupakan langkah awal yang sangat baik sebagai titik pijak mencari jati diri bangsa kita yang besar. Di saat kini dan beberapa waktu ke depan, kita akan semakin disuguhi dengan penggelapan-penggelapan fakta yang merugikan rakyat. Abad kegelapan akan segera datang, diawali dengan penggelapan kasus Century. Century dalam bahasa Inggris berarti “abad”. Kemudian dalam masa yang semakin redup dan gelap itupun hadir setitik pijar cahaya yang mengingatkan kita semua dengan pengorbanan jiwa raganya. Dialah Sondang yang dalam bahasa Batak berarti cahaya. Adi Masardi kemudian membacakan syair puisi terkhusus buat Sondang, aktivis mahasiswa UBK yang membakar diri di depan istana karena kebenciannya terhadap kepalsuan rejim penguasa saat ini.
Di bagian akhir, giliran Cak Puji yang menguraikan kesalah-kaprahan bangsa kita yang mengindektikkan koruptor sebagai tikus. Tikus itu tinggal di got, di luar rumah kita. Ia makan dari sisa makanan kita. Walaupun ia kemudian masuk ke dalam rumah kita, itu karena ia merasa sudah tidak lagi kebagian sisa-sisa makanan kita. Nah sementara ada makhluk lain, di dalam rumah kita, yang di depan mata kita ia sangat alim dan sopan. Ia sengaja kita beri makan dari bagian makanan kita. Akan tetapi begitu kita lengah, maka ia mencuri dan menghabiskan makanan kita. Ia sangat munafik, licik, dan rakus. Dialah si kucing! Jadi koruptor itu harusnya kucing, bukan tikus!
Soal demo-demo yang menuntut SBY turun karena dia tidak becus memimpin negara, lha itu kan bagi mereka yang menganggap SBY sebagai pemimpin. Bagi saya presiden itu hanya manager, kalau hanya manager ia tidak becus bekerja ya kita pecat dan cari manajer yang lain! Tetapi terlalu rendah menganggap SBY sebagai pemimpin! Pemimpin itu tidak bisa digantikan!
Sesi diskusi yang seru menyertai sesi terakhir ini. Banyak mutiara ilmu yang berpendar kemilau di tengah keremangan dan kegelapan negeri ini yang hadir indah di malam Kenduri Cinta itu. Sedikit ataupun banyak hikmah yang terpetik dari forum itu pasti akan menjadi bekal dan wawasan sudut pandang yang baru dan lebih terang bagi segenap hadirin yang hadir, untuk menjadi bekal bagi keseharian kehidupan mereka di tengah keluarga dan masyarakat. Itulah keistimewaan Kenduri Cinta. Dan Kenduri Cinta di malam itupun berakhir dengan penuh kedamaian.
Ngisor Blimbing, 18 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H