Kala itu senja menjelang matahari tenggelam. Mendung yang bergelayut seolah mengundang kelam malam untuk datang lebih awal. Sudah semenjak beberapa hari rintik hujan mulai turun dengan teratur di awal musim penghujan yang sudah sekian lama datang tertunda. Dalam suasana yang temaram numun terasa syahdu nan sejuk tersebut, Kanjeng Bapak baru menginjakkan kaki kembali di Ndalem Ngisor Blimbing setelah seharian penuh ngglidhik mengadu nasib di pusat kota.
Belum juga sempat mandi dan bebersih diri sebagaimana biasa menjelang kumandang adzan Maghrib, justru si Ponang tergopoh-gopoh menghampiri. Dengan ekspresi wajah sumringah ia segera berkisah, "Pak, mau bar jajan dijujuli dhuwit receh sewunan. Bar kuwi aku sedekah ning pengemis tuwa sing ning gerbang sekolahan. Aku ikhlas lho Pak!" Intinya sang bocah bercerita bahwa ketika jajan di sekolah mendapatkan uang koin kembalian seribuan. Koin tersebut kemudian disedekahkan kepada pengemis tua yang ada di gerbang sekolah.
Subhanallah, pujian apalagi yang pantas terbatin di lubuk sanubari ke hadirat-Nya. Secara usia, si Ponang memang baru berusia enam tahun. Baru masuk SD dan sedang senang-senangnya bertemanan di sekolah baru, SD Panglima Jaya. Terhanyut dan terharu sungguh dalam Kanjeng Bapak demi mendengar kisah singkat dari buah hati tercintanya. Dengan anggukan yang mendalam, ia mengacungkan jempol memberikan apresiasi kepada si Ponang seraya berucap, "Pinter, Le! Alhamdulillah".
Bagi seseorang yang diamanati Gusti Alloh untuk ngemong anak manusia, tentu besar harapan dan doa untuk menjadikan sang buah hati menjadi manusia yang berguna. Ya berguna bagi dirinya sendiri, berguna bagi kedua orang tuanya, berguna bagi keluarga, berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara, serta wabil khusus berguna bagi agama-Nya. Migunani tumrap liyan. Maka tidaklah mengherankan bahkan semenjak si buah hati masih berada di alam kandungan, tak henti-hentinya kedua orang tua terus berdoa dan memohon agar dianugerahi anak yang berbakti, manusia utama yang berakhlakul karimah.
Manusia senantiasa hidup dalam serba keterbatasan karena daya nalar maupun upaya manusia juga sedemikian terbatas. Hanya atas segala limpahan nikmat karunia Tuhan, manusia mampu menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Demikian halnya perihal nggula wentah alias mendidik seorang bocah. Memang manusia diberikan keleluasaan untuk berikhtiar memberikan arahan dan didikan, namun jadi atau tidaknya seorang bocah untuk bertumbuh kembang menjadi manusia sejati di kelak kemudian hari, semuanya tidak lepas dari petunjuk dan hidayah Tuhan.
Pun ketika setiap orang tua berusaha mengajarkan serta menanamkan sifat-sifat kebajikan, seperti sifat welas asih berbagi dalam wujud perilaku sedekah. Di alam keluarga kecilnya, Kanjeng Bapak tidak pernah lupa untuk terus menerus tan kendhat mengajarkan perilaku bersyukur terhadap segala pemberian Tuhan melalui perantaraan siapapun atau apapun. Wujud dari rasa syukur itu antara lain dapat diterapkan dalam perilaku saling berbagi terhadap sesama, terlebih kepada saudara-saudara kita yang papa dalam hidupnya.
Sedekah semenjak usia bocah memang harus ditanamkan sebagai perilaku budi pekerti luhur yang kini semakin banyak ditinggalkan orang. Melalui laku sedekah, seorang bocah akan menanam benih rasa empati kepada manusia lain yang kurang beruntung dan serba kekurangan. Di samping mengharap berkah hikmah dari Tuhan, sedekah juga akan membentuk karakter manusia yang diwarnai sifat-sifat terpuji. Andaikan semua manusia memiliki kelapangan hati untuk saling berbagi, alangkah indahnya kehidupan manusia. Mungkin Tuhanpun tak segan-segan untuk menurunkan sebagian daripada keindahan surga ke atas permukaan bumi.
Dengan sedekah rejeki melimpah. Dengan sedekah umur bertambah. Dengan sedekah hidup akan penuh berkah. Percayakah Anda dengannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H