Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi Pilu Ibu di Hari Ibu

22 Desember 2014   21:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:42 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang di hari itu memang telah usai. Terompet panjang berkumandang seiring datangnya senja. Hari itu menjadi hari yang sangat berdarah dan membuat hati terisak tidak sudah-sudahnya. Seperti hari-hari sebelumnya, perang hanya menyisakan kepedihan. Para ksatria utama gugur sebagai kusuma bangsa dalam darma baktinya membela keyakinan jiwa raganya.

Sedikit berbeda dengan beberapa hari sebelumnya, justru senja itu menjadi saksi bisu hati pilu seorang ibu. Dengan isak tangis yang sangat dalam, ia terduduk lemah memangku seorang jenazah. Jenazah itu tidak lain dan tidak bukan adalah jenazah anak laki-lakinya sendiri. Tersebutlah ibu itu bernama Kunti, Dewi Kunti istri Pandu Dewanata dari Hastinapura.

Dengan menahan perasaan luka pedih di sekujur badannya, Karna tersengal menahan nafas penuh rasa derita. Dengan pandangan yang semakin memudar, ia tatap rupa sayu wajah ibundanya yang tidak pernah dirasakan belaian kasih tulusnya semenjak kelahirannya. Karna terlahir sebagai penjelmaan mantera sakti Resi Druwasa yang diucap Kunti semasa lajangnya. Atas kemurahan Dewa Surya, Karna terlahir dengan segala kesaktian tertinggi yang tidak akan pernah bisa tertandingi oleh kalangan manusia manapun. Ia yang terlahir melalui telinga Ibu Kunti, kemudian dibuang dalam hanyutan air Sungai Aswa Suci. Roda nasib Karna berubah di tangan ibu kandungnya sendiri seketika itu. Ia harus hidup sebagai kaum sudra dan dipelihara seorang sais kereta.

Tatkala Karna besar ia ingin berguru kepada Resi Durna. Namun ia ditolak mentah-mentah karena ia tiak berasal dari kaum ksatria. Ia kemudian justru berguru kepada Resi Parasurama, guru dari Durna dan Kripa. Di saat para ksatria usai berguru, dinyatakanlah Arjuna sebagai murid terbaik, terutama dalam ilmu memanah. Karna menyanggah dan menantang Arjuna. Para Pandawa mencemooh anak kusir yang berani menantang ksatria.

Atas kebaikan Duryudona, Karna diangkat sebagai ksatria sahabat Kurawa. Ia bahkan langsung dinobatkan sebagai Raja Angga. Merasa dimanusiakan, Karna mengangkat sumpah akan membela Kurawa hingga akhir hayat.

Kunti, ibu para Pandawa telah mengetahui Karna semenjak pertandingan di perguruan Durna. Ketika Baratayuda benar-benar di depan mata, ia membuka semua rahasia hidup Karna. Bahwa Karna adalah anaknya. Dengan demikian, Karna adalah kaka dari para Pandawa. Dengan segenap hati, Kunti membujuk Karna agara bergabung dengan Pandawa.

Karna tetap pada pendiriannya. Sesedih dan sesakit apapun hatinya menerima perlakuan Kunti semenjak pembuangannya, ia tetap ingin berbakti kepada ibu kandungnya tersebut. Karna berjanji dalam Barayuda kelak, ia tidak akan menyakiti satupun para Pandawa adik-adiknya. Janji inilah yang dibayar kelak dengan nyawanya sendiri, tatkala Pasupati, senjata Arjuna, menembus tubuh perkasanya.

Kisah kepahitan hidup Karna, kebesaran jiwa, juga pengorbanan untuk adik-adik Pandawanya menjadikan hati Kunti tersayat sembilu di kala senja saat ia memangku tubuh Karna yang terluka sangat parah. Hati pilu seorang ibu bertambah pilu tatkala ia membeberkan kisah sesungguhnya kepada Pandawa justru ia mendapati caci-maki dan penyesalan dari Pandawa. Mereka memojokkan Kunti telah melakukan dosa besar dengan menyia-nyiakan Karna, bahkan kemudian menjadikan para Pandawa membunuh kakak kandungnya sendiri.

Meskipun tidak secara rutin menonton serial Mahabarata di salah satu stasiun tivi swasta, tetapi ndilalah semalam saya menyaksikan momentum detik-detik nafas terakhir Karna di pangkuan Ibu Kunti. Betapa kepedihan hati Kunti bagaikan guncangan gempa yang meruntuhkan semesta alam raya. Luka ibu adalah luka sembilu. Duka ibu adalah duka dunia. Anehnya, kenapa adegan mengharu-biru itu kok bertepan dengan Hari Ibu. Adakah ini sebuah tafsir bahwa ibu-ibu kita, terlebih ibu pertiwi masih tersayat sembilu di Hari Ibu ini.

Semoga hal ini tidak berlarut-larut, sehingga para ibu segera menemukan kebahagiannya yang sejati. Salam Hari Ibu.

Lor Kedhaton, 22 Desember 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun