Mohon tunggu...
Indra Setiawan
Indra Setiawan Mohon Tunggu... Sekretaris - Seorang Aktivis, Penulis, Pengusaha dan Politikus

Sekali maju, jangan pernah mundur ke belakang! Jikalau terpaksapun, itu hanya selangkah tuk gapai maju seribu langkah

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menakar Spiritualisme Ramadan di Tengah Kecamuk Wabah

2 Mei 2020   07:00 Diperbarui: 2 Mei 2020   07:26 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang berbeda dengan Ramadhan di tahun ini, bila dahulu manusia menyambutnya dengan ramai dan penuh suka cita, sibuk serta antusias mempersiapkan segala pernak-perniknya, mengkapitalisasinya dalam bentuk banjir iklan dan tagline para politisi, memeriahkannya dengan desakan manusia yang berebut takjil gratis dan serba-serbi hidangan buka puasa, menjubelinya dalam kerapatan shaf jama'ah shalat fardhu dan tarawih, mengkhidmatinya dengan tadarus al-qur'an dari suara para qori' yang memecah keheningan malam di toa-toa surau dan masjid. Maka hari ini tidaklah demikian, entah berkurang frekuensinya ataupun sudah tidak ada sama sekali.

Sejak dunia dihebohkan dengan kehadiran pandemi covid 19 atau akrab disebut corona, segala bentuk aktifitas sosial dan semua pergerakan manusia tiba-tiba terhenti ataupun dibatasi oleh kebijakan pemerintah di masing-masing negara yang tengah terpapar virus tersebut. 

Social Distancing atau Physical Distancing bahkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah inisiatif program yang dicetuskan negara guna memerangi pandemi yang sedang berkecamuk ini. Entah kapan berakhirnya, wabah ini terus mengganas menggrogoti siapapun, merusak momen kebersamaan apapun dan bahkan mengusik sendi-sendi peradaban termasuk moral dan wibawa spiritual Ramadhan.

Lantas, pudarkah aura sakral dan kharisma transendental dari Ramadhan beserta seabrek daya tariknya? Tidak fair bahkan kejam rasanya, jika bulan yang telah memiliki status quo sebagai "Sayyidus Syuhur" (Rajanya Bulan) pada almanak Hijriyah ini, mendadak divonis kehilangan taji spiritual ataupun berkurang daya magnetnya, tanpa diadili secara ilmiah. Pasalnya, Pertama; Ramadhan sudah sejak lama memiliki pesona sejarah yang menorehkan kisah pergumulan manusia dan peradabannya. Kaleidoskop peristiwa penting yang terjadi di bulan Ramadhan antara lain;

  • Turunnya Wahyu al-Qur'an, terjadi pada malam senin, 17 Ramadhan - sebagian ulama mengatakan pada malam 24 - di Gua Hira' tahun 13 sebelum Hijriyah bertepatan dengan bulan Juli 610 Masehi (al-Bidayah wa an-Nihayah -- Ibnu Katsir)
  • Perang Badar antara 313 Muslim versus 1000 Quraisy Mekkah dengan kemenangan di pihak Kaum Muslimin, terjadi pada jum'at pagi tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah atau 12 Maret 624 Masehi. (as-Sirah an-Nabawawiyyah -- Ibnu Hisyam).
  • Penaklukkan Kota Mekkah (Fathu Mekkah) oleh Nabi Muhammad SAW, terjadi pada tanggal 21 Ramadhan tahun 8 Hijriyah atau 11 Januari 630 Masehi.
  • Pembebasan al-Quds dari tangan Romawi oleh Amirul Mukminin Umar ibnu Khattab, terjadi pada 13 Ramadhan tahun 15 Hijriyah atau 18 Oktober 636 Masehi.
  • Pembebasan Mesir dari imperialisme Romawi oleh Amru bin 'Ash, terjadi pada tanggal 1 Ramadhan tahun 20 Hijriyah atau 13 Agustus 641 Masehi.
  • Pembebasan Spanyol oleh Panglima Perang Tariq bin Ziyad, terjadi pada bulan Ramadhan 92 Hijriyah atau 711 Masehi.
  • Pembebasan Palestina oleh Shalahuddin al-Ayyubi melalui perang salib, terjadi pada bulan Ramadhan 584 Hijriyah atau 1188 Masehi.
  • Perang Ain Jalut, antara pasukan Saifudin Qutuz melawan agresi militer pasukan tartar di Mesir yang dimenangkan oleh Kaum Muslimin, terjadi pada tanggal 25 Ramadhan 658 Hijriyah atau 6 September 1260 Masehi.
  • Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia, terjadi pada tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriyah atau 17 Agustus 1945 Masehi.

Kedua; Ramadhan memiliki privilege (hak istimewa) dalam melipatgandakan nilai pahala dari ritual ibadah. Keistimewaan ini memberikan porsi lebih dan padat penghargaannya, karena dalam durasi sebulan penuh segala amal kebajikan manusia yang dilipatgandakan dapat mengganti atau bahkan meluluhlantakkan pernik-pernik kebiadaban dosa manusia dari yang lampau, sekarang dan akan datang. 

Sehingga, tidak sedikit manusia yang terobsesi menambah frekuensi ibadah mereka dari amal wajib hingga yang sunnah, terutama menjelang sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, dengan harapan mendapatkan berkah "lailatul qadar" yang keutamaannya lebih dari seribu bulan atau 83 dalam hitungan tahun. 

Sebagaimana terdokumentasi dalam firman Tuhan "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam lailatul qadar. Tahukah kamu apa malam lailatul qadar itu? Yaitu malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan (Q.S. al-Qodr 1-3) ".

Setali tiga uang, fenomena di atas barangkali serupa dengan karakter sosio-kultur masyarakat industri kapitalis yang terkena syndrome gejala weekend atau budaya "akhir pekan", tentu dalam perspektif yang berbeda. Menurut Herbert Marcuse --  sosiolog marxis bermadzhab frankfurt -- pada tahun 1970-an identifikasi tingkah laku manusia ditandai dengan ketidakmampuannya menahan godaan akhir pekan atau berlibur di hari minggu. 

Para buruh kerja lembur untuk mengumpulkan uang, para pemodal dan pemilik pabrik sibuk mengumpulkan pundi-pundi laba, para birokrat menyelesaikan dinas keseharian mereka, dengan satu maksud yaitu berlibur dan demi kenikmatan sesaat di akhir pekan. Benang merah dari dua peristiwa di atas adalah, ternyata manusia seringkali tidak berdaya atau bahkan tidak mampu berdaulat di atas ruang dan waktu yang menjelma menjadi "masturbasi budaya" seperti syndrome gejala weekend atau bahkan "kapitalisme spiritual" seperti privilege Ramadhan.

Ketiga; manfaat puasa bagi manusia dan alam semesta. Puasa merupakan ibadah utama yang disyari'atkan dalam Ramadhan. Secara etimologi puasa bermakna menahan diri atau berpantang dari sesuatu. Uniknya, hal-hal yang dipantangi atau ditahan adalah hal-hal yang sebelumnya dibolehkan atau halal statusnya menjadi terlarang atau haram statusnya -- seperti makan, minum dan bersenggama (suami-istri) -- dengan durasi tertentu yaitu terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. 

Tujuannya sebagai tarbiyah (edukasi diri) agar mampu melatih diri mengendalikan hal-hal yang halal, dengan harapan esok hari diri merasa ringan menahan dari hal-hal yang haram. Seolah-olah Ramadhan semacam "kawah candradimuka" bagi orang-orang beriman, wahana menempa diri agar kuat dan perkasa setangguh Gatotkaca dalam cerita pewayangan.

Pun dalam spektrum yang lain, puasa bukan sekedar kewajiban bagi manusia, namun ia juga merupakan sunnah kehidupan bagi alam semesta. Berikut beberapa hewan dan tumbuhan yang berpuasa guna meningkatkan produktifitas dan menjaga keberlangsungan hidupnya;

  • Saat melakukan migrasi dari air tawar ke air asin, ikan salmon mampu menempuh jarak perjalanan hingga 1000 mil dalam keadaan berpuasa. Hal ini menjadikan mereka ramping dan gesit sehingga sanggup melepaskan diri dari jaring penangkap ikan dan kabur dari sergapan burung dan hewan pemburu lainnya.
  • Saat mengerami telurnya, ayam betina melakukan puasa dengan tidak minum dan tidak berhubungan dengan pejantan selama 21 hingga 23 hari sebagai bentuk tanggungjawab untuk menetaskan telur-telur menjadi anak ayam.
  • Pertapaan ulat dalam bentuk kepompong, berpuasa mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan, setelah tidak makan dan minum berhari-hari akhirnya bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah.
  • Cara survival tanaman jati yang menggugurkan daunnya saat musim kemarau panjang. Kondisi ini membuat tanaman jati berpuasa melakukan fotosintesis dan menghemat persediaan air agar tidak mati kekeringan.

Bahkan istimewanya Ramadhan di tahun ini, bumi yang terbiasa hyperaktif bekerja dengan berbagai aktifitas manusia, kini harus berpuasa karena dipengaruhi oleh pandemi virus corona, sehingga lockdown dan social distancing berdampak positif bagi perbaikan bumi ke depan, antara lain;

  • Polusi berkurang. NASA telah pamer foto bumi yang lebih bersih usai serangan virus corona. Nampak wilayah Cina, Italia dan Amerika mengalami pengurangan polusi yang signifikan.
  • Pemanasan global menurun. Peta NASA menunjukkan taraf Nitrogen Dioksida turun drastis setelah pabrik-pabrik ditutup dan laporan Jurnal Nature menginformasikan lapisan ozon yang jebol gara-gara pemanasan global sedikit demi sedikit mulai tertutup.
  • Air jadi lebih bersih. Setelah Italia menerapkan lockdown, Grand Canal di Venesia yang dulu selalu ramai dengan turis, kini memiliki kualitas air yang jauh lebih bersih.
  • Getar bumi berkurang. Royal Observatory of Belgium melaporkan turunnya getaran pada kerak bumi, setelah manusia betah di rumah. Begitu juga hasil pengamatan ahli gempa di Nepal, Paris Institute of Earth Physics dan Universitas Cal Tech di Los Angeles.
  • Udara lebih bersih. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menginformasikan dampak pembatasan pergerakan manusia dan kendaraan bermotor membuat langit Jakarta tampak biru dan udara lebih bersih.
  • Laut lebih tenang. Setelah wabah virus corona melanda sejumlah kapal pesiar, kapal-kapal lainnya memilih merapat di pelabuhan sehingga lalu-lintas laut berkurang. Laut menjadi lebih tenang, ikanpun senang bebas berenang.

Keempat, zakat sebagai instrumen filantropi islam dan perekat sosial. Zakat memiliki arti bersih, suci, subur, berkat dan berkembang. Secara filosofis zakat berfungsi tathhir (membersihkan) ataupun tazkiyah (mensucikan) secara material maupun spiritual bagi pribadi orang kaya dan jiwanya atau bagi harta dan kekayaannya. 

Zakat memiliki banyak ragamnya, namun secara spesifik bulan Ramadhan mewajibkan manusia menunaikan zakat fitrah kepada yang berhak (mustahiq zakat) paling lambat sebelum pelaksanaan shalat i'ed. Tujuannya adalah menyucikan jiwa dan sifat kikir, mendidik berinfaq dan memberi, mengobati hati dari cinta dunia,  perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT dan menarik simpati serta cinta manusia. 

Dus, implementasi zakat pada Ramadhan kali ini, bisa menjadi episentrum gerakan ketahanan pangan masyarakat dalam menghadapi pandemi, asal pemerintah, badan-badan amil zakat dan institusi masjid lebih optimal menghimpun dan mendistribusikan zakat fitrah dari tangan relawan, hartawan dan dermawan yang diintervensi dalam bentuk kebijakan maupun gerakan yang berdampak sistemik.

Lebih jauh, zakat dapat berfungsi sebagai ideologi dari sistem ekonomi melampaui kapitalisme dan sosialisme. Maxime Rodinson dalam Islam and Capitalism menyimpulkan terdapat unsur kapitalisme dalam doktrin islam, sekaligus ia menganjurkan sosialisme -- namun islam sama sekali bukanlah kapitalisme ataupun sosialisme. Karena islam melarang penumpukan harta dan penguasaan modal secara berlebihan -- sebagaimana dianut di dalam kapitalisme -- dan islam memperbolehkan kepemilikan individu serta pengembangan aset pribadi -- sebagaimana diharamkan di dalam sosialisme. 

Maka, zakat menjembatani dua kutub yang saling berlawanan ini dengan harapan terjadi harmoni di tengah kehidupan masyarakat, sebab dalam setiap moment kepemilikan harta terutama dalam jumlah yang besar, senantiasa terkandung potensi untuk menjadikan manusia rusak, kotor dan nista sebagaimana "diqiyaskan" dalam sempalan dalil Lord Acton "power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely".

Penulis adalah Pemerhati Sosial-Agama, Editor Media Global, Wirausahawan di KAHMIPreneur dan Sekretaris DPD KNPI Kabupaten Bondowoso

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun