Pembaca jangan ngetawain Ma, ya! Swear. Ma malu banget. Ini pengalaman paling memalukan seumur hidup Ma. Ceritanya, sudah dua tahun Ma sekeluarga tinggal di sebuah kompleks perumahan mewah di pinggiran kota kami. Sejak tinggal di sini, tiba-tiba orang-orang sering dan semakin sering bertamu ke rumah kami. Teman-teman lama dan famili-famili jauh yang lama tak berjumpa, yang bahkan namanya pun sudah tidak kami ingat, tiba-tiba nongol di depan hidung kami. Apalagi di hari lebaran. Sepertinya semua orang mengaku-aku sebagai famili atau teman lama. Tapi Ma cuma basa-basi doang menyambut mereka dengan ramah. Terus terang, Ma meragukan ketulusan persahabatan dan persaudaraan mereka. "Let's wait and see," kata Ma dalam hati, "Apakah kalian masih mengunjungi kami tahun depan?" Rencananya, tahun depan kami hendak menempati RSSSSSSS (Rumah Sangat Sederhana, Sehingga Selonjor Saja Susah Sekali). Tahun depan, pemilik rumah yang sedang kami tempati ini sudah akan kembali dari luar negeri. Selama ini kami hanya menjadi penjaga rumahnya. Eh, kok malah jadi curhat gitu, ya? Duh, maafkan Ma, para pembaca. Kalimat pendahuluan di atas terlalu panjang, ya? Padahal, kalian sudah mau menyimak pengalaman Ma yang paling memalukan, bukan? Sabar, ya! Ini 'kan masih suasana lebaran. Ma mohon maaf lahir dan batin. Sebentar lagi kita akan sampai pada klimaks cerita. Begini, kawan. Di hari ketiga lebaran, kami mendapat kunjungan dari seorang saudara sepupu sekeluarga, yang sudah empat tahun tidak berjumpa. Mereka datang dari sebuah desa di pedalaman. Mereka sepasang suami-istri muda dengan dua orang anak balita, lelaki (5 tahun) dan perempuan (2 tahun). Nah, kalau dengan anak-anak, Ma nggak pernah basa-basi. Hangatnya sambutan Ma terhadap mereka memang tumbuh dari lubuk hati. Sebab, Ma yakin mereka masih polos dan suci. Dan Ma pun menyukai anak-anak kecil. Dengan mereka, Ma bisa dengan mudah menjalin keakraban, bahkan walau baru pertama kali bertemu. Makanya, ketika Ma menyadari bahwa persediaan hidangan sudah menipis gara-gara banyaknya tamu yang melebihi dugaan, sedangkan saudara sepupu Ma beserta istrinya masih asyik ngobrol dengan Kepala Keluarga kami, Ma langsung berinisiatif mengajak si kemenakan lelaki untuk keluar sebentar. "Ton, ayo ikut Tante sebentar!" "Ke mana, Tante?" jawab si Tono, kemenakan Ma. "Deket situ, mau beliin kamu kue. Mau?" Jelas mau. Daripada bengong ndengerin orang dewasa ngobrol tak keruan di dalam rumah, tentu si anak kecil lebih suka jalan-jalan keluar, apalagi mau dibeliin kue. Kami pergi ke supermarket terdekat. Sehabis belanja, tiba-tiba Tono meringis sambil bilang, "Mau pipis, Tante!" "Apa nggak bisa ditahan sebentar? Kan nanti bisa pipis di rumah," bujuk Ma kepada si kecil. "Udah kebelet, Tante." Si kecil makin meringis. "Okelah. Kamu pipis di situ saja," tukas Ma seraya menarik tangannya dan membawanya ke toilet terdekat. Seperti toilet pada umumnya, toilet dibuat terpisah antara lelaki dan perempuan. Karena si Tono itu laki-laki, kusuruh dia masuk ke toilet pria. Ma menunggu di luar. [caption id="" align="alignright" width="400" caption="Toilet Pria di Bird's Nest, Beijing, Cina"][/caption]Baru beberapa detik, dia sudah keluar. "Sudah pipis?" tanya Ma keheranan. "Belum, Tante. Nggak tahu caranya," jawabnya dengan mimik agak bingung. "Oke deh. Tante ajarin." Lalu kami berdua masuk ke ruang toilet pria. Mungkin karena lebaran, toiletnya sepi. Namun ternyata, Ma bingung juga. Seumur hidup, baru kali ini Ma masuk ke toilet lelaki. Ma juga nggak tahu cara pakainya. Gimana mau ngajarin dia? Tapi Ma nggak kehilangan akal. Udah berulang-kali Ma berkoar-koar senang belajar. Masak masalah sekecil gini nggak bisa mberesin? Saat Ma mikir-mikir gimana cara pakai toilet pria, kebetulan masuklah seorang cowok yang tampak gagah. Dia lalu mengambil posisi berdiri di sebelah kami. Maka langsung mencuatlah ide cemerlang dari benak Ma. Ya, Ma mau belajar dari dia melalui observasi langsung. Dengan sengaja, didorong rasa ingin tahu, sepasang bola mata Ma tertuju pada tangannya yang sedang membuka ritsluiting celana panjangnya. Saat sedang berkonsentrasi lakukan observasi ini, tiba-tiba dia menoleh ke arah Ma. Dia pun bertanya, "Lihat apa, Mbak?" Huwaaa!!! Ma langsung menjerit dalam hati. Sambil menutup wajah yang memerah, Ma segera lari keluar terbirit-birit. Duuh... betapa malunya. (Pasti dia mikir, "Ngapain nih, cewek cantik kok mau mengintip kemaluan gue?") Saking malunya, Ma nggak berniat nyelesaiin cerita pengalaman Ma yang paling memalukan ini. Biarlah para pembaca yang menebak gimana kelanjutannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H