Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu... -

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dialog Perlawanan Pekerja Sawit

12 Maret 2012   12:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:10 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa perbincangan saya dengan seorang kawan, yang juga pekerja di ladang sawit, Sabah, Malaysia, saya pernah mengutarakan untuk menuntut kenaikan gaji pada kompeni (dengan cara elegan) agar kesejahteraan dia dan pekerja lainnya bisa lebih baik. Bila hal itu ditolak, para pekerja perlu bersatu dan kompak melakukan mogok kerja sebagai salah sata cara untuk menekan kompeni mengabulkan tuntutan dasar mereka.

Belum usai saya berbicara, sang kawan lalu menanggapinya bila cara itu susah ditempuh. Ia mengatakan amat sulit menyatukan semua pekerja ladang untuk mengajukan satu tuntutan apalagi sampai melakukan mogok kerja. Resikonya cukup riskan bagi mereka. Mereka masih mau berpikir untuk bekerja serta tidak mau meninggalkan pekerjaannya di ladang.

Kata kawan itu, kalau pun bersepakat mengadakan semacam demo menuntut kenaikan gaji, tidak semua pekerja mau terlibat secara langsung. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Sebab, kata Safar, demikian ia disapa, pernah melakukan demo bersama para pekerja di sebuah ladang yang dulu ia tempati bekerja. Tetapi, hasilnya gagal dan mengecewakan.

Waktu itu, Safar dan rekan-rekan kerjanya, kira-kira puluhan, berkumpul di depan kantor menejer kompeni, kemudian menyampaikan tuntutannya ke menejer untuk menaikkan upah mereka yang dianggap tidak memberikan kesejahteraan yang lebih bagi kehidupan mereka.

Lalu, dengan tegasnya sang menejer mengatakan tuntutan itu tidak bisa serta merta dipenuhi. Ia harus mengajukannya pada bos besar yang berkedudukan di KL (Kuala Lumpur), dan menurut menejer hal itu tidak cepat. Para pekerja harus menunggu berbulan-bulan jawaban tuan besar dari KL apakah tuntutan mereka diterima atau ditolak.

Namun, kata menejer tersebut apabila pekerja tidak bisa menunggu hal itu, dirinya mempersilakan para pekerja keluar dari ladang untuk tidak bekerja lagi. Menejer menambahkan, menolak bila ada pekerja yang mogok. Menurutnya daripada mogok kerja, sebaiknya sekalian berhenti bekerja agar tidak menimbulkan masalah baru.

Mendengar penjelasan tersebut, Safar dan kawan-kawan memutuskan untuk keluar dari ladang. Kata Safar, ia dan para pekerja lain tidak mau menanggung malu menanti ketidakpastian menejer mengajukan tuntutan mereka ke pemilik perusahaan yang berada di KL. Saat itu, sambung Safar, menejer sudah mempersiapkan sejumlah lori (truk sejenis tronton) untuk mengangkut barang-barang pekerja yang ingin keluar dari ladang.

Dari pengalaman itulah, Safar lalu mengatakan ke saya, upaya menuntut kenaikan gaji pada kompeni akan percuma dilakukan. Menurutnya ia dan para pekerja ladang tidak punya power untuk melakukan hal semacam itu. Apalagi, lanjut Safar, kompeni memiliki beragam cara untuk meredam serta mengatasi tuntutan para pekerja sehingga para pekerja tidak bisa kompak, bersatu serta resisten menghadapi kompeni.

Menanggapi penjelasan Safar, saya pun mengajukan sejumlah pertanyaan, diantaranya, “memang ketika itu menejer betul-betul berani memberhentikan puluhan para pekerja? Bukankah kompeni membutuhkan para pekerja untuk tetap melancarkan bisnis industri sawitnya? Darimana kompeni mendapatkan pengganti pekerja yang keluar dari ladang? Sementara orang Malaysia, penduduk asli nyaris tidak ada satu pun yang mau bekerja sebagai penyabit, peloading, maupun sopir di ladang.”

“Berani,” tegas Safar. Bagi kompeni, tambah Safar, tidak susah mencari para pekerja Indonesia yang mau bekerja di ladang. Pihak kompeni hanya mengutus orang-orangnya menyeberang ke Nunukan untuk mendatangkan para pekerja secara legal maupun illegal sebanyak yang dibutuhkan. “Malah sebenarnya banyak orang Indonesia yang antri ingin bekerja ke ladang,” jelas Safar.

Mendengar pernyataan itu, saya pun termenung. Sedemikian gampangnya kah kompeni sawit Malaysia merekrut tenaga kerja kita. Pantas saja posisi tawar pekerja di mata kompeni sangat lemah. Kompeni tidak mau ambil peduli dengan tuntutan para pekerja tersebut.

Meski begitu, sebenarnya kalau perlawanan para pekerja (Safar dan kawan-kawan) terorganisir, bersatu dan massif, laiknya sebauh gerakan, kompeni tidak akan berkutik menghadapi tuntutan para pekerja. Namun, mengharapkan hal itu di ladang tentu tidak mudah, butuh waktu dan perjuangan sejumlah penggerak atau agitator untuk menyatukan serta menggerakkan para pekerja menuntut hak-haknya yang dianggap bisa mensejahterakan dan berkeadilan.

Peran pemerintah?

Lepas dari itu, sebenarnya pemerintah Indonesia bisa berperan membantu kepentingan pekerja kita untuk menaikkan tingkat kesejahteraan mereka di ladang. Kuantitas pekerja kita yang demikian besar di ladang, misalnya, bisa dijadikan bargaining untuk melobi serta menekan kompeni-kompeni ladang agar memperhatikan kesejahteraan pekerja.

Pemerintah Indonesia, misalnya, melalui para diplomatnya yang bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Malaysia bisa mengambil peran untuk bernegosiasi dengan pemerintah Diraja Malaysia tentang hal tersebut. Banyaknya jumlah pekerja Indonesia yang berperan dalam praktik industri sawit di Malaysia sesungguhnya bisa dijadikan instrumen diplomasi para diplomat kita untuk memperjuangkan kesejahteraan para pekerja ladang.

Kita bisa bayangkan, seluruh ladang-ladang sawit yang beroperasi Malaysia, mulai dari Sabah, Serawak, dan daerah-daerah semenanjung hanya dipenuhi oleh orang Indonesia. Meski secara statistik belum ada data valid yang saya dapatkan tentang hal itu , tetapi dari pengamatan dan pengalaman saya sendiri berbincang dengan pekerja kita, rata-rata proses pengerjaan produksi sawit (dari penyabit, peloading, pemungut biji, maintainance, dan pekerja kilang) di ladang dilakukan oleh orang-orang republik, dan beberapa persen sisanya (kira-kira lima persen) orang Filipina. Sementara orang melayu Malaysia sendiri nyaris tidak ada yang terlibat kecuali menjadi staf kantor dan mekanik ladang yang jumlahnya kira-kira 15-20 orang di setiap ladang.

Itu artinya kalau kita berandai-andai jika semua orang Indonesia yang berada di ladang berhenti bekerja maka otomatis praktik industri minyak sawit di Malaysia akan lumpuh total, dan hal itu akan berdampak buruk terhadap stabilitas dan ekonomi Malaysia.

Pengandaian inilah sebenarnya yang bisa dijadikan senjata bagi pemerintah kita untuk bernegosiasi dengan pemerintah Malaysia. Negosiasi tersebut akan efektif bila gaya diplomasi pemerintah kita tegas, berani serta pandai memainkan sumber daya yang ada.

Persoalannya, selama ini sikap pemerintah Indonesia di mata Malaysia terlalu lemah, takut, dan idealis (terlalu kooperatif). Sehingga negosiasi kita dengan Malaysia seringkali kalah. Malah, kita sebagai bangsa kerapkali direndahkan.

Anehnya, pemerintah kita masih selalu melunak di hadapan Malaysia. Akumulasi sikap politik luar negeri yang lunak tersebut kemudian menjadikan Malaysia makin di atas angin. Seakan-akan power politik Malaysia lebih dahsyat dari kita yang punya beragam sumber daya dan senjata diplomasi yang lebih dari Malaysia.

Dalam praktik diplomasi, pemerintah semestinya sesekali melakukan shock therapy atau test case untuk menunjukkan kekuatan dan keberanian kita pada Malaysia. Sehingga ketika pemerintah kita bernegosiasi dengan Malaysia, misalnya, dalam hal perjuangan peningkatan kesejahteraan pekerja ladang, kita tidak berada dalam kondisi yang lemah atau dilemahkan oleh strategi politik mereka.

Perlu diketahui strategi politik Malaysia seringkali lihai mempolitisir relasi bilateral kita dengan istilah “bangsa serumpun.” Di satu sisi, misalnya, istilah serumpun selalu dikumandangkan dalam setiap dialog atau pertemuan. Namun, di sisi lain, pemerintah Malaysia kerapkali merendahkan dan mengklaim hak milik negara kita.

Istilah bangsa serumpun sesungguhnya hanyalah “politik” belaka untuk melunakkan pemerintah kita dalam menyikapi setiap persoalan yang muncul dalam hubungan kerjasama kita dengan Malaysia.

Karena itu, dalam strategi politik luar negeri kita dengan Malaysia termasuk dengan negara tetangga lain, pemerintah sudah saatnya menanggalkan paradigma idealismenya dalam hubungan internasional. Jika tidak, setiap upaya negosiasi kita dengan Malaysia, misalnya dalam hal peningkatan kesejahteran pekerja ladang, selamanya akan kalah dan dikalahkan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun