Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu... -

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi Tuna Indonesia

11 Maret 2012   23:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:12 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika pertama kali mengajar anak-anak Indonesia di sebuah sekolah ladang sawit, Sabah, Malaysia, saya betul-betul terhentak sekaligus miris mendapati mereka dalam kondisi tuna atau seakan buta terhadap wawasan ke-Indonesia-an. Mereka seolah tidak mengenal negerinya sendiri. Yang diketahui tentang Indonesia, misalnya, hanya nama suku dan kampung halaman orang tua masing-masing.

Kebetulan anak-anak Indonesia yang tumbuh di ladang sawit kebanyakan Bugis, Makassar, Timor, Jawa, Lombok dan Bima. Maka pemahaman mereka terhadap Indonesia hanya sebatas itu. Saya Bugis dari Bone, misalnya, yang kebetulan mendominasi kelompok Bugis di tempatku mengajar. Lantas daerah-daerah lain yang membentang di kawasan provinsi itu mereka tidak tahu apalagi mau menyebut beberapa daerah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Malah, pernah suatu ketika, saya bertanya pada mereka soal nama ibukota Indonesia? Dari sekian banyak anak-anak kelas satu sampai enam Sekolah Dasar (SD) – kebetulan mengajar kelas I-VI dalam satu ruangan besar - tidak ada yang bisa menjawab. Mereka hanya bisa diam. Entalah, mereka lupa atau memang tidak tahu. Yang pasti, setelah saya memberitahukan, mereka baru tergirang lalu membebek menyebut Jakarta.

Itu baru soal nama daerah di Indonesia, bagaimana dengan nama bapak bangsa (founding fathers), pahlawan perjuangan, warisan budaya seni dan alat tradisional. Sudah pasti mereka tidak tahu. Namun, anehnya saat ditanya tentang ibukota Malaysia, mereka serta merta berteriak bersama menyebut Kuala Lumpur (KL). Lebih dari itu, mereka pun mampu menyebutkan nama-nama negara bagian yang terdapat di Malaysia seperti Serawak, Selangor, Perak, Pahang, Johor, Kelantan, dan lain-lain. Mereka rupanya lebih fasih melafalkan nama-nama daerah yang ada di negeri jiran daripada daerah yang ada di Tanah Airnya sendiri.

Masalah ini barangkali dimaklumi, sebab sekolah yang mereka duduki bukanlah sekolah Indonesia yang menggunakan kurikulum nasional. Akan tetapi, sekolah bentukan LSM Internasional bernama Humana Child Aid Society yang mengadopsi kurikulum Malaysia. Sehingga nyaris tidak ada pelajaran sekolah yang berkaitan dengan wawasan ke-Indonesia-an yang bisa dipelajari anak-anak kita.

Apalagi, banyak diantara mereka lahir dan tumbuh membesar hanya di ladang. Kalaupun pulang ke Indonesia, sekali-kali dan hanya di kampung halaman orang tua saja. Orang tua pun tidak pernah menceritakan pada mereka soal Indonesia lebih jauh. Sehingga mereka betul-betul buta dengan wawasan ke-Indonesia-an.

Parahnya lagi, mayoritas pekerja ladang amat jarang menyekolahkan anak-anaknya ke kampung. Para pekerja sawit memilih menyekolahkan anaknya di sekolahHumana, setingkat SD, yang berada di ladang-ladang. Sementara, pendidikan di Humana itu sendiri sama sekali tidak menyinggung mata pelajaran ke-Indonesia-an.

Meng-Indonesia-kan

Beruntung, pemerintah Indonesia mengadakan kerjasama dengan pemerintah Malaysia dan Humana sendiri agar mata pelajaran Indonesia seperti Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Bahasa Indonesia diajarkan di Humana sebagai tambahan pelajaran. Sehingga pemerintah Indonesia, mau tidak mau, mengirimkan tenaga-tenaga pendidiknya ke sekolah-sekolah Humana, dimana penulis sendiri terlibat di dalamnya.

Program pengiriman guru Indonesia ini baru dimulai tahun 2006 lalu hingga sekarang. Hanya saja, harus diakui, efektifitasnya memang belum begitu menggreget. Mengingat, ruang yang dimiliki para guru Indonesia untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran Indonesia - yang dalam silabus disebut kajian tempatan -amat terbatas.

Penulis sendiri merasakan betapa minimnya waktu yang tersedia untuk mengajarkan anak-anak didik tentang pelajaran-pelajaran Indonesia. Penulis harus jeli menyiasati waktu dan situasi yang ada di sekolah. Sebab, tidak jarang, lantaran subjek pelajaran, para guru Indonesia harus berselisih dengan guru Humana yang ditugaskan di ladang-ladang.

Apalagi, guru Indonesia memang tidak punya kuasa atau kebebasan penuh untuk mengajarkan anak-anak murid dengan pelajaran-pelajaran nasional. Guru Indonesia tentunya harus mengikut dengan aturan yang berlaku di Humana termasuk soal pengajaran kurikulum.

Tak ayal, jika pendidikan anak-anak Indonesia oleh pemerintah mau mandiri dan berdiri sendiri, tidak menumpang ke Humana. Karena itu, dalam beberapa tahun ini, Kementerian Pendidikan Nasional bersama perwakilan diplomat Indonersia, khususnya yang berada di Sabah, amat getol mengusahakan pendirian sekolah Indonesia (Sekolah Indonesia Kota Kinabalu/SIKK) yang kini berbasis di Kota Kinabalu atau KK (Keke).

Ekpansi sekolah Indonesia ke ladang-ladang memang tidak mudah, apalagi untuk pendidikan tingkat SD yang sudah lebih dulu digelar oleh sekolah Humana. Sehingga mau tidak mau harus berhadapan dengan Humana yang juga jadi rekan untuk mensukseskan pendidikan anak-anak Indonesia di ladang sawit.

Pendirian jenjang SD yang mandiri dan terpisah dari Humana, baru bisa dilakukan oleh pemerintah bila di daerah atau ladang tersebut belum terdapat sekolah Humana. Jika ada, pemerintah, suka atau tidak, harus menumpang ke Humana, kecuali untuk pendidikan jenjang sekolah menengah (SMP) yang non formal.

Fenomena nikah dini

Lepas dari upaya pendirian sekolah Indonesia tersebut, penulis berupaya memaksimalkan ruang dan waktu yang ada di Humana untuk memperkenalkan serta mengajarkan anak-anak tentang pelajaran-pelajaran Indonesia, dan yang terpenting adalah membangun asa dan motivasi mereka untuk lanjut bersekolah ke Indonesia. Sebab, tidak sedikit juga, anak-anak ladang yang putus sekolah lalu memilih bekerja di ladang sawit, menambah daftar pekerja kasar Indonesia di Malaysia.

Dalam satu keluarga, misalnya, mulai dari bapak, ibu dan anak-anaknya hanya menjadi pekerja sawit di ladang. Anak-anak ladang amat jarang disekolahkan. Malah, fenomena nikah dini begitu marak di ladang. Perempuan yang baru berumur belasan, misalnya sudah banyak yang nikah. Begitu pun, lelaki yang barangkali baru puber, sudah cepat-cepat ingin menikah.

Penulis seringkali kaget melihat anak perempuan yang masih kelihatan belia tampangnya sudah punya anak, entah satu anak atau dua anak. Yang memprihatinkan saya, sebagai laki-laki, perempuan muda dan anaknya yang biasa dititip di tempat pengasuhan anak, sudah ditinggal oleh suami.

Perempuan muda dengan status janda banyak ditemukan di ladang. Laki-laki yang meninggalkannya biasa lari ke kampung (Indonesia). Umumnya, mereka kawin lagi dengan perempuan lain, dan membawa istri barunya ke ladang yang sama. Benar-benar memiriskan sekaligus memalukan.

Masalah tidak berhenti di situ, fenomena nikah dini rupanya menjadi salah satu penyebab kian bertumpuknya imigran dan pekerja Indonesia di ladang sawit. Sehingga fenomena pekerja kasar di ladang bak siklus. Sekali lagi, seorang bapak, ibu, dan anak dalam satu keluarga, misalnya, banyak yang hanya jadi pekerja di ladang. Malah, fenomena ini sudah berlangsung dari dulu seperti “lingkaran setan”. Utamanya, semenjak arus warga Indonesia banyak yang merantau ke Malaysia pada era tahun 80-an.

Akan tetapi, harus diakui, ada juga orang-orang Indonesia yang tadinya bekerja di ladang lalu berhasil punya usaha atau bisnis di Malaysia. Biasanya, kalau sudah berhasil demikian, mereka sudah punya IC (identitas kewarganegaraan Malaysia). Namun, fenomena itu tidak sebanding dengan banyaknya warga Indonesia yang tetap bergulat dan bekerja di ladang sebagai tenaga kasar kompeni.

Inilah sesungguhnya yang menjadi persoalan dasar bagaimana memutus mata rantai tenaga kerja kita di ladang-ladang yang kian bermetamorfosis. Besar harapan, penulis dan teman-teman akan berupaya membangun kesadaran para pekerja untuk pulang menyekolahkan anak-anaknya ke Indonesia agar kelak anak-anak mereka tidak lagi menjadi calon pekerja kasar kompeni. Semoga. Amin.

Hidayat Doe

Pendidik Anak-Anak Indonesia

Di Sekolah Humana Child Aid Society Sabah

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun