Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu... -

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Orang “Indon” di Malaysia

11 Maret 2012   04:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:14 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hidup sehari-hari saya di Sabah, Malaysia, setiap berjumpa dengan orang asli Malaysia atau orang sebangsa sendiri, saya selalu ditanya dengan istilah “Indon.” Pertanyaannya macam-macam, diantaranya “dari Indon? Dimana di Indo? Bila (kapan) dari Indon? ”

Pokoknya, nama Indonesia di Malaysia khususnya di Sabah, daerah dimana saya berpetualang, disebut Indon. Nama Indon betul-betul populer di Sabah. Seolah-olah nama Indonesia sudah berganti menjadi Indon.

Penggunaan kata Indon bagi kita (yang terdidik serta kritis) semacam merendahkan, atau melecehkan nama bangsa. Istilah Indon seakan menegaskan bahwa kita, bangsa Indonesia, adalah warga kelas dua.

Tak ayal, saat mengajar saya pernah “marah” (tanda kutip ya) di hadapan anak-anak murid (depan kelas) karena telah menyapa saya dengan istilah Indon. Dengan tegas, saat itu saya umumkan pada mereka agar jangan pernah menyebut nama Indon, dimana pun, kepada siapa pun, apalagi di hadapan saya. Saya katakan pada anak-anak, “saya bukan orang Indon, kamu pun demikian. Tapi kita semua adalah orang Indonesia”

Anak-anak lalu terdiam. Dalam hati kecil mereka barangkali, wah ada apa denga cikgu Hidayat ini. Kok bereaksi disebut Indon. “Emang ada apa dengan istilah Indon? Tebakku pada anak-anak. Saya pun menjelaskan pada mereka kalau penggunaan Indon kedengarannya tidak baik, tidak patut, bermakna negatif serta melecehkan nama bangsa. “Lantas, sudikah kalian nama bangsa dan tanah air kita dilecehkan? Tanyaku pada mereka.

Dengan serentak serta penuh semangat mereka berteriak “tidak!” Sejak saat itu mereka berjanji untuk tidak mengucapkan istilah Indon tetapi Indonesia, dan alhamdulillah sampai saat ini saya tidak pernah lagi mendengar mereka menggunakan kata Indon di sekolah.

Suatu waktu, hal yang sama terjadi. Ketika itu saya hendak membeli pulsa di sebuah konter pulsa di pinggir jalan. Kebetulan penjaga konter tersebut adalah dua orang cewe yang cute dan jelia. “Ada kredit (pulsa) maxis yang Hot Ticket Indonesia (pulsa paket untuk telpon)?” Tanya saya. “Ada. Yang Indon kan?” Jawabnya untuk mengkonfirmasi. Dalam hati saya, Indon lagi. Lama kelamaan saya betul-betul jadi orang Indon yang saya sendiri tidak tahu apakah ada orang Indon di jagad ini.

Karena penjaga konter itu perempuan muda yang juga tampangnya lumayan (hehehe), saya lalu mencoba untuk ngobrol sembari mencari tahu sejak kapan dan kenapa nama Indonesia disebut-sebut Indon.

Meski tidak lama ngobrol, saya pun mulai membuka percakapan dengan senyum dan nada bersahabat. Ujung-ujungnya saya pertanyakan penggunaan istilah Indon tersebut. Kesimpulannya, perempuan itu memang sudah sering dan terbiasa menyebut nama Indon daripada Indonesia. Sebab, lingkungan di sekitarnya juga selalu menyebut Indon.Ia pun merasalebih sreg dan ringan menyebut Indon.

Saya pun meluruskan penggunaan istilah itu agar selanjutnya tidak mengulangi menggunakan kata Indo tetapi Indonesia. “Macam mana kalau Malaysia disebut “Malai”? tanyaku untuk memperjelas nada serta makna sebuah bangsa yang dipersingkat. Wanita itu lalu tersenyum dan diam, seakan istilah tersebut menimbulkan rasa tawa dan penolakannya.

Yang pasti, dari pertemuan itu, ia baru tersadar bahwa penggunaan kata indon rupanya bermasalah serta menimbulkan penolakan terhadap sebagian orang Indonesia, termasuk saya yang ditemuinya. Sehingga patut dihindari dalam komunikasi atau percakapan sehari-hari.

Hanya saja, untuk saat ini mustahil dihindari. Sebab semua orang di Sabah (dan barangkali seluruh Malaysia), mulai dari, supermarket, pertokoan, pasar sentral, warung makan hingga terminal, serta ladang sawit yang 99 persen orang Indonesia sendiri sudah terlanjur marak menggunakan istilah Indo.

Mereka pun rata-rata sudah menganggap biasa penyebutan istilah itu, tanpa ada maksud mau melecehkan. Mulut mereka seakan sudah terbentuk menyebut Indon. Kebiasaan itulah yang kemudian istilah tersebut jadi merakyat di seluruh seantero Sabah ataupun Malaysia pada umumnya.

Sehingga saya pun seringkali ketika berjumpa dengan orang, baik yang dikenal atau tak dikenal, entah di pasar, terminal atau dimana pun hanya mengikhlaskan saja nama Indonesiadijadikan Indon. Namun, tetap saja, sampai kapan pun, saya serta semua orang Indonesia tentunya harus menolak penggunaan istilah itu.

Istilah yang “politis

Penyebutan nama Indon sebenarnya bukan saja soal nama bangsa dan negara yang dianggap semacam melecehkan, tetapi menjadi persoalan “politis”, yakniekspresi kekuasaan serta dominasi sebuah kelas, bangsa, atau pihak tertentu kepada pihak lain.

Karena itu, bagi saya, penggunaan istilah Indon tidak saja bersifat merendahkan tetapi juga merefleksikan adanya dominasi kuasa yang bermain. Kuasa sebagaimana kata Michel Foucault beroperasi dalam berbagai bentuk relasi, termasuk dalam relasi perkacapan sehari-hari. Malah bagi Louis Althusser, kuasa (dominasi) seolah menjadi “udara” dan “nafas” sehari-hari yang tidak disadari sama sekali (baca: ideologi).

Sehingga bagi kebanyakan orang, mengucapkan kata Indon adalah hal lumrah yang tidak punya arti kuasa. Namun, bagi kita yang berangkat dari pemikiran Foucault, lebih-lebih Althusser, hal itu adalah penegasan kuasa sebuah kelas atau bangsa bahwa mereka lebih superior, unggul dan dominan. Hanya saja hal itu tidak disadari oleh publik termasuk orang-orang Indonesia sendiri ( para pekerja) yang mengucapkan kata Indon tersebut.

Apalagi dalam kenyataannya, banyak orang-orang Indonesia yang bekerja jadi buruh kasar di ladang-ladang dan pembantu rumah tangga di Malaysia. Fakta itulah yang makin menguatkan bahwa kita, bangsa Indonesia adalah warga kelas dua yang coba dilegitimasi dengan istilah Indon.

Sebagai anak bangsa, kita tidak ingin direndahkan ataupun dilecehkan hanya karena banyak orang Indonesia yang bekerja sebagai buruh kasar di Malaysia.Maka tugas dan kewajiban pemerintahlah untuk betul-betul secara serius memikirkan persoalan tenaga kerja kita di Malaysia agar tidak selamanya hanya jadi pekerja kasar.

Karena itu, pendidikan nasional harus benar-benar dijalankan secara serius untuk melahirkan generasi-generasi unggul yang kritis dan profesional di bidangnya. Sehingga nama Indonesia di mata orang Malaysia yang terkesan rendah kembali terangkat, dan nama Indonesia pun tidak lagi diplesetkan jadi Indon atau dihubung-hubungkan maknanya dengan warga kelas dua. Semoga.

Hidayat Doe

Pendidik anak-anak Indonesia

Di Sekolah Humana Child Aid Society Sabah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun