Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu... -

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Pilu Nasib Para Pekerja Sawit

17 Februari 2012   10:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:32 5814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_171700" align="aligncenter" width="565" caption="ilustrasi/admin(tribunnews.com)"][/caption]

Empat bulan sudah saya hidup dan berbaur bersama warga Indonesia di kompleks perkebunan Kelapa Sawit, Sabah, Malaysia. Hati saya cukup memilukan. Banyak hal yang melahirkan bahan gugatan dan kritikan saya atas berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Bagaimana tidak, setelah sekian lama merdeka, warga Indonesia masih banyak yang berjuang hidup di negeri orang. Perjuangan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Sabah sungguh tidak mudah.

Mereka seperti “sapi perahan” oleh perusahaan untuk memperoleh renteh ekonomi dalam praktik industri minyak sawit di Malaysia. Para TKI kita umumnya diperkerjakan sebagai kuli (pekerja kasar) di perkebunan sawit. Mereka diantaranya bekerja menjadi penombak (penyabit) sawit, pengangkut, dan pemungut biji sawit.

Menjadi penombak, misalnya, di ladang sawit sungguh sangat berat dibayangkan. Ketinggian pohon sawit yang kira-kira tujuh sampai 14 meter harus dipetik dengan menggunakan penjolok sabit, dan untuk menyabit (menjolok dengan menggunakan alat sabit),harus dengan tenaga powerful.

Suka duka menyabit buah sawit, pernah dicoba oleh seorang kawan saya, yang juga pendidik anak-anak Indonesia di Sabah. Saat kawan tersebut menyabit, mata sabit yang telah tertancap di tangkai buah sawit, tak bisa lagi digerakkan atau ditarik keatas dan kebawah. Penjolok sawitnya stuck di atas pohon sawit. Kawan saya yang badannya besar dan gemuk lalu geleng-geleng kepala, mengherankan TKI kita yang sanggup melakoni pekerjaan itu.

Sementara gaji yang diperoleh mereka terbilang murah jika dibandingkan dengan biaya hidup, tenaga yang dikeluarkan dan ancaman resiko yang dihadapi. Para penombak hanya memperoleh upah sebesar RM 18 (setara Rp 54 000)per ton buah sawit dan untuk mendapatkan satu ton, penombak harus bisa menyabit buah antara 50-60 tandang sawit, bergantung dari besar-kecilnya buah.

Para penyabit biasanya paling maksimal bisa mendapat tiga ton sehari dari pagi hingga sore hari. Pencapaian itu sudah sangat luar biasa bagi mereka yang kuat bekerja, jika tidak hanya mendapat 1-2 ton per hari setara dengan Rp 54 ribu hingga Rp 108 ribu sehari.

Hidup di Malaysia dengan gaji sebesar itu, rasanya tak seberapa untuk hidup sejahtera. Sebab, harga kebutuhan barang-barang pokok di Malaysia agak lebih mahal dari Indonesia. Sehingga tak jarang untuk menambah penghasilan keluarga, banyak ibu rumah tangga pun ikut bekerja sebagai pemungut biji sawit di ladang.

Bagi seorang penombak, persoalannya bukan hanya gaji yang tak sesuai, tetapi resiko yang dihadapi bukan main bahayanya. Jika salah-salah menyabit, kepala atau leher sendiri taruhannya. Dalam beberapa kasus, penulis pernah mendengar ada penombak yang nyaris terputus leher kepalanya lantaran tersabit diri sendiri saat menyabit buah sawit. Peristiwa itu terjadi karena sabit yang digunakan saat menyabit lepas dari ujung tangkai penjoloknya sehingga menyabit leher sendiri.

Kejadian semacam itu memang jarang terjadi, tetapi eksiden-eksiden lainnya kerap terjadi. Seperti yang baru-baru ini terjadi di kompleks perkebunan sawit yang penulis huni. Ada seorang pekerja yang tersayat sabit di bagian pahanya karena cerobah menyandarkan penjolok sabitnya di pohon sawit sehingga jatuh mengenai dirinya. Beruntung penjolok sabit yang jatuh hanya mengenai paha, jika tidak, batok kepala yang jadi sasarannya.

Sedih rasanya kalau mendengar kisah para penombak yang terkena sabit sendiri. Sudah kerjanya berat, gajinya tak seberapa, dapat eksiden lagi yang mengancam nyawa. Karena itu, para penombak dituntut ekstra hati-hati dalam bekerja. Sabit yang diikat diujung tangkai penjoloknya harus betul-betul diperhatikan agar tidak lepas ketika menyabit buah, dan sebisa mungkin untuk tidak menyandarkan penjolok sabit di pohon saat beristirahat.

Lain lagi dengan pekerja sebagai pengangkut biji (peloading). Dari segi keamanan dan keselamatan, mereka cukup safe dari resiko eksiden. Pekerja loading ada dua macam, yang pertama peloading blok, kedua peloading rem. Peloading blok hanya bekerja mengangkut buah sawit yang sudah disodok oleh penombak untuk dimuat ke ‘parson’ (mobil pengangkut) lalu diantar ke penampungan (rem). Peloading remlah yang kemudian mengangkut serta mengaturnya kedalam bak mobil lori (mobil tronton) untuk dibawa ke kilang minyak.

Para peloading juga digaji berdasarkan besar kecilnya tenaga kasar mereka dalam mengangkat buah. Hanya saja, gaji mereka lagi-lagi dibayar sangat murah dibanding dengan energi dan beratnya pekerjaan. Setiap pengangkutan se-ton buah sawit untuk peloading blok hanya mendapat bayaran 1 ringgit 75 sen atau RM 1.75 setara dengan Rp 5250. Sementara peloading rem hanya digaji 80 sen atau Rp 2400 per ton. Duit 80 sen di Malaysia hanya cukup untuk membeli satu bungkus mie. Sementara, se-ton buah sawit bukan main banyaknya, antara 50 hingga 60 tandang buah. Berat bukan?

Para peloading rem, misalnya, yang bekerja dengan tenaga ekstra paling maksimalhanya mendapatkan 40 ton sehari. Artinya peloading ekstra tersebut dalam sehari bisa mendapatkan RM 32 setara dengan Rp 96 000. Lagi-lagi, uang sebesar itu tidak cukup untuk meraih kemakmuran di negeri rantau.

Yang juga paling mengusikkan perasaan adalah pekerja-pekerja pemungut biji yang umumnya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga. Saya sendiri prihatin melihat para ibu bekerja di ladang memungut biji. Mereka adalah perempuan-perempuan tough (tangguh) yang rela meninggalkan anak-anak dan bahkan bayinya di kandang budak (bahasa Malaysia = tempat penitipan anak) demi menambah pendapatan keluarga.

Kandang budak memang sengaja dibangun oleh perusahaan untuk para rumah tangga pekerja untuk menitip asuhkan anak-anaknya di tempat itu sehingga para ibu rumah tangga bisa ikut bekerja di ladang.

Para ibu biasanya bekerja dari pagi hingga siang hari. Biji yang dipungut dan dikumpulkan dalam karung hanya digaji satu ringgit per karung (karung beras 50 Kg). Ukuran satu karung untuk biji sawit yang kecil itu sungguh sangat banyak. Para ibu harus memungut biji satu per satu yang berceceran di halaman-halaman kebun sawit. Namun, sungguh luar biasa, mereka dalam sehari bisa mengumpulkan biji sawit antara 18 hingga 30 karung (maksimal). Artinya, para ibu tadi dalam sehari bisa mendapatkan uang sebesar RM 18 sampai RM 30.

Jika dikumpul antara pendapatan suami dan istri dalam sebuah rumah tangga memang lumayan. Penghasilan mereka tidak akan bisa diperoleh di kampung halaman. Itulah juga yang barangkali menjadi alasan mengapa mereka betah hidup dan bekerja di ladang sawit. “Cikgu, di sini ada terus kerja, yang penting rajin,” demikianlah kata-kata yang sering penulis dengar kalau bercerita dengan pekerja soal kehidupan di ladang. Alasan sederhana itu memang betul dan masuk akal. Mereka hanya butuh kepastian kerja meski kerja dan upahnya tak sebanding.

Bekerja tanpa pesangon

Para pekerja ladang umumnya digaji harian. Siapa yang bekerja sehari itu yang digaji, jika sudah absent dalam apel pagi(kira-kira jam 5.30) karena alasan sakit atau tetek bengek lain, maka jangan harap akan digaji oleh kompeni. Begitupun kalau para pekerja sudah tidak bisa atau mampu bekerja, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali siap-siap untuk angkat kaki dari kompleks ladang sawit. Sebab, rumah dan tempat tinggal kompleks hanya diperuntukkan bagi mereka yang mau dan bisa bekerja di ladang sawit tersebut.

Sungguh sangat memilukan nasib para pekerja kita di kawasan ladang sawit. Meski bertahun-tahun bekerja di ladang, mereka tidak akan mendapatkan uang pesangon, jasa atau hari tua. Nasib mereka sama persis dengan ungkapan “habis manis sepah dibuang.” Lantas, bagaimanakah sikap pemerintah melihat nasib para TKI kita di ladang-ladang?

Sejauh ini, penulis belum melihat adanya upaya riil untuk memperjuangkan tingkat kesejahteraan para pekerja ladang. Pemerintah seakan tak berdaya melihat nasib pekerja sawit. Pemerintah seolah memandang kondisi pekerja secara biasa. Sementara kehidupan mereka di ladang bukan main kerasnya. Hidup seperti tanpa punya negara dan pemerintah.

Upaya pemerintah yang riil sejauh ini baru di ranah pendidikan, yakni penyelenggaraan pendidikan 9 tahun di ladang-ladang untuk anak-anak para pekerja kita. Program ini begitu penting bagi bangsa dan negara ini untuk membangun generasi mendatang sekaligus untuk memutus siklus generasi pekerja kasar di Malaysia. Karena itu, kualitas dan fasilitas sekolah yang ada di kompleks perkebunan sawit tersebut harus terus ditingkatkan demi masa depan anak-anak bangsa kita. Semoga saja. Amin.

Hidayat Doe

Pendidik anak-anak Indonesia di Sabah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun